31 Oktober 2014

Penjual Tuak Aren Ini Mampu Beli Dua Mobil

Kompas.com/Robertus BelarminusCasmuri (50) pedagang tuak aren di Musem Fatahilah, di Kota Tua, Jakarta Barat. Sabtu (25/10/2014).
Pagi hari, Casmuri sudah berjalan kaki dari kontrakannya di kawasan Grogol menuju Museum Fatahilah, di Kota, Taman Sari, Jakarta Barat. Jalan berkilo-kilo jauhnya dia lalui sambil berjalan kaki untuk menyambung hidup.

Bapak tiga anak berusia 50 tahun itu adalah seorang pedagang tuak aren, minuman manis tradisional khas asal Brebes, Jawa Tengah. Sudah tiga tahun mantan kuli bongkar muat barang ini menjadi pedagang tuak aren. Pundaknya mungkin sudah terbiasa dengan beban jualannya sekitar 20 kilogram.

Pahit kehidupan dilalui sampai akhirnya kini dia mengecap manis, semanis tuak aren yang dijualnya. Maklum, sehari ia bisa mengantongi Rp 240.000, dari menjual 80 gelas tuak aren seharga Rp 3.000 per gelasnya. Modal usahannya ini hanya Rp 30.000. Lewat tuak aren itu, dia mampu membeli dua buah mobil pikap kecil Colt disel untuk usaha anaknya.

"Lumayan, dari sini saya bisa buat modal anak. Saya punya dua mobil Colt disel buat anak saya," kata Casmuri kepadaKompas.com, di sekitar Museum Fatahilah, Kota, Taman Sari, Jakarta Barat, Sabtu (25/10/2014).

Meski demikian, Casmuri mengaku membeli kedua mobil pikap itu dengan cara mencicil. Ia membeli mobil truk Mitsubishi Colt disel seri 100 PS dan 120 PS. Untuk seri yang pertama sudah lunas dicicilnya. "Yang kedua tinggal sembilan kali lagi," ujar Casmuri.

Setiap bulan, dia bersama sang istri, Tursri (45), bahu-membahu mencicil tiap mobil yang dikredit tersebut. Tursri bekerja sebagai pedagang warung nasi di Grogol dengan pedapatan Rp 3 juta per bulan. Tiap mobil diambil dengan masa cicilan 3 tahun. "Yang sudah lunas cicilannya waktu itu Rp 2,95 juta. Yang saya ambil lagi sekarang ini Rp 2,7 per bulan," ujarnya.

Dua truk itu dipakai oleh dua anaknya untuk keperluan usaha. Ia mengaku, anaknya memiliki usaha jasa mengakut puing bekas bangunan untuk dijual kembali. Anak bungsunya masih menganggur. "Usaha ambilin puing dari proyek. Yang jalaninanak. Saya kasih modal saja. Suruh sekolah enggak mau," kata Casmuri.

Bahan dari orangtua 

Casmuri tidak meracik sendiri tuak aren jualannya. Dia bersama sang istri meracik minuman manis nan segar itu. Gula aren yang dipaket melalui travel dari Brebes menjadi bahan dasar dagangannya itu. Bahan dasarnya langsung dibuat orangtua Casmuri di Brebes.

"Dari gula merah aren. Dimasak pakai kayu bakar seharian, baru jadi begini," ujar Casmuri.

Gula aren yang telah dimasak, lanjutnya, kemudian dimasukkan ke dalam bambu petung berukuran masing-masing 1 meter. Bambu yang berada di belakang berfungsi sebagai stok cadangan. Sementara yang di depan berfungsi sebagai bambu utama tuak aren yang akan dituang kepada pembeli.

Bedanya, di bambu belakang sepelastik es ditaruh di dalamnya bersama tuak aren kental. Sedangkan di bambu depan, es batu dalam jumlah cukup banyak dibiarkan bercampur bersama tuak aren.

"Kalau habis yang di depan, ngambil dari bambu yang belakang. Soalnya yang belakang enggak bisa buat tuang ke pembeli karena ada gelasnya," ujarnya.

Adapun bambu yang dipilih yakni bambu petung, dibeli dari Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. Menurut dia, bambu itu mesti diganti setiap satu tahun sekali. Di bagian atas bambu ditutup menggunakan karet dilapis plastik.

Ketika pembeli datang, Casmuri cukup memutar balik bambu sehingga air tuak aren keluar.

Sudah jarang 

Mencari dagangan tradisional itu di Ibu Kota mungkin gampang-gampang susah. Padahal, peminatnya cukup banyak. Ketika diamati, banyak pembeli yang menghampiri sang penjual tuak aren itu, dari mulai remaja hingga orang dewasa.

"Seger ini, kalau di Bogor sudah enggak ada lagi kayak beginian. Jarang, susah mau nyarinya," kata Yanto (36), warga Bogor yang tengah berlibur bersama keluarga di Museum Fatahilah itu.

Yanto hanya suka dengan rasanya. Manisnya, menurut dia, berbeda dengan jajanan minuman lain. "Khasiatnya saya kurang tahu. Mungki buat panas dalam ya," selorohnya sambil terkekeh.

Yanto berharap pedagang-pedagang tradisional seperti mereka bisa lestari di tengah pertumbuhan kota. "Biar orang enggak lupa saja kalau kita punya makanan atau minuman khas daerah kan. Seperti Betawi ada kerak telor," ujarnya.(
http://megapolitan.kompas.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar