Bagi orang Jawa hidup sering diterjemahkan hanya singgah untuk minum. Minum-minuman keras menunjukkan falsafah hidup sekeder singgah untuk minum itu. Minum-minuman keras merupakan kebiasan buruk yang terus berkembang khususnya di kalangan bawah. Terus berjatuhan korban karena mengkonsumsi miras hanyalah menegaskan betapa kebiasaan mengkonsumsi minuman keras (miras) menjadi pembunuh secara diam-diam.
Berita mengenai jatuhnya korban akibat menenggak minuman keras terus berulang.
Para pengguna miras pun telah menjadi musuh pemerintah dalam pemberantasan. Sama halnya dengan kebiasaan mengkonsumsi miras yang samar-samar, tersembunyi perdagangan produk miras pun tetap berjalan terus meski razia dan upaya pemberantasan terus digalakkan. Yang menjadi keprihatinan adalah terus berjatuhan para korban dari kalangan bawah karena tidak mendapat penanganan memadai.
Miras berkembang menjadi gaya hidup kalangan bawah yang mencandu. Dalam perhelatan tingkat komunitas dan masyarakat bawah entah pada pesta perkawinan, sunatan, bahkan kematian tidak afdol rasanya manakala tidak disediakan miras. Maka memberantas miras menjadi setali tiga uang. Besarnya permintaan dari konsumen membuat produsen pun terus berlangsung meski illegal.
Miras terus berkembang karena telah menjelma sebagai sarana komunikasi diantara kelompok kelas dalam masyarakat. Aroma relasi simbolik melekat pada pengkonsumsi miras. Miras sering dianggap sebagai medium kartasis sosial menghadapi beratnya problem kehidupan utamanya kemiskinan. Logika ini seperti terus dibenarkan. Orang miskin harus bergaul dengan miras untuk sekedar lari dari penatnya kehidupan.
Hidup yang sulit dihadapi dengan melarikan diri sejenak dengan mengkonsumsi miras. Tak pelak korban yang terus berjatuhan pun datang dari kalangan bawah. Kalau kalangan atas punya kebiasaan minum alkohol dengan merek-merek terkenal, kalangan bawah pun sudah lama bergumul dengan miras. Maka nama seperti Congyang, Topi Miring, Oplosan selalu familier di telinga kalangan ini.
Menelisik ke belakang budaya minum minuman keras memang sudah ada sejak dulu, di berbagai kota di Indonesia. Setiap kebudayaan di Indonesia pun memiliki kebiasaan mengkonsumsi miras. Di kawasan remang-remang berbagai kota di Indonesia sudah dikenal lama dengan miras.
Di belahan Eropa terdapat berbagai jenis minuman keras yang memiliki berbagai nama tergantung dari bahan, kegunaan serta kadar alkohol dari minuman itu sendiri, seperti anggur, wiski, tequila, bourbon dan lain-lain.
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, History of Java, dan Clifford Geertz dalam bukunya, The Religion of Java, pun mengamini budaya yang dipenuhi aroma minuman keras dan erotisisme perempuan yang menari lekat dengan kebiasaan orang Jawa. Geertz bahkan dengan sinis minuman keras menjadi pengikat pergaulan kalangan masyarakat bawah.
Di kalangan masyarakat Jawa sudah sangat lama dan menjadi norma kesusilaan yang dipegang teguh, bahwa manusia hidup itu harus menjauhi "ma Iima" (lima M), yaitu main (perjudian), madon (prostitusi), maling (mencuri, korupsi, menggarong, dan sebagainya), madat (ketagihan candu atau narkoba), dan minum (minum-minuman keras). Ini membuktikan betapa sejarah miras sudah berurat berakar dalam kebudayaan masyarakat.
Namun begitu, seperti menjadi nasihat filosofis tidak banyak manfaat mengkonsumsi miras. Mengkonsumsi miras menjadi sumber pemborosan penting yang membawa pada pemiskinan. Tidak ada orang menjadi kaya karena terus mengkonsumsi miras. Yang ada justru banyak orang menjadi jahat dan kriminal karena mengkonsumsi miras. Kriminalitas, perkosaan, kecelakaan banyak terjadi karena miras. Miras tidak mendatangkan manfaat selain mudharat bagi para penggunanya. Miras seakan membawa penggunanya pada ketagihan yang tidak ada habisnya.
Razia pedagang miras sepertinya tidak menyelesaikan persoalan. Yang menjadi persoalan sampai kini belum ada resep mujarab bagaimana menghentikan kebiasaan miras dari masyarakat. Persoalan miras kian memprihatinkan karena sudah menular kepada anak-anak remaja. Anak-anak dan remaja yang tinggal di lingkungan dengan kebiasaan minum miras pasti akan tertular dengan kebiasaan buruk itu. Tentu ini sangat mengkhawatirkan karena generasi masa depan dikorbankan hanya dengan miras.
Pengawasan produksi miras sangat diperlukan. Begitu pun mengajak warga yang terbiasa mengkonsumsi miras ke dalam kegiatan positif dan bermanfaat. Meski diakui bukan proses yang mudah. Filosofi orang Jawa “urip mung mampir ngombe” tidak berarti bahwa kehidupan yang hanya sebentar ini lantas hanya diisi dengan kebiasaa minum dan tidak bekerja keras. Miras hanyalah menghasilkan kemiskinan keluarga yang memperpanjang rantai penderitaan.
(Paulus Mujiran, S.Sos, MSi – peneliti The Servatius Institute Semarang/http://aslikerinci.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar