Oleh I Nyoman Tika
Penyalahgunaan minuman keras menelan korban lagi di Bali. Arak oplosan
yang dimodifikasi oleh si pemakai dan atau pedagangnya, sungguh sangat
berbahaya. Arak semacam itu menyebar seakan tanpa kendali di Bali.
Artinya, pemasaran miras ternyata sarat dengan black market, yang tak
sempat diurus dengan benar oleh pemerintah. Kondisi ini bak penyakit
endemik, yang menyebar di tubuh birokrasi dan masyarakat luas. Parahnya
lagi, pemerintah hanya bersifat reaktif, bergerak ketika sudah jatuh
korban jiwa, dan kurang tindakan proaktif untuk mencarikan solusi.
Dalam bingkai itulah, mengatasi maraknya arak oplosan bak benang kusut
antarberbagai variabel kepentingan yaitu ekonomi, birokrasi, politik,
sosial, agama dan budaya, sehingga membutuhkan tenaga ekstra keras untuk
mengurainya.
Dari sisi generasi muda, sebagian besar telah mengalami semacam 'mutasi
pemikiran'. Performance orang Bali yang dikenal lugu, polos, jujur, dan
rendah hati, kini telah berubah masuk ke zone budaya Bali modern menurut
benak mereka, yang terbatas hanya identik dengan perilaku turis.
Generasi muda Bali tereksitasi menjadi sosok-sosok yang labil, mudah
frustrasi dan depresi, karena pengaruh budaya luar yang kian deras
mengentak kehidupannya tanpa filtrasi budaya bangsa yang jelas dan
konsisten. Kondisi ini dapat menjadi lahan subur untuk bersemainya
penggunaan minuman beralkohol (depresan), untuk memberikan efek tenang.
Dalam hal regulator minuman beralkohol, pemerintah tampaknya gagal
sebagai penetrasi budaya. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama,
pemerintah belum tegas menerapkan peredaran miras oplosan di masyarakat,
kedua, produksi arak tradisonal nyaris tanpa pembinaan, ketiga, pihak
terkait belum optimal melakukan upaya filtrasi terhadap maraknya budaya
asing yang melanda generasi muda Bali, keempat, lembaga dan tokoh Agama
Hindu tidak satu pandangan dalam penangkalan dan penyebaran minuman
keras dan infiltrasi budaya luar di Bali.
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, solusi apa yang harus dilakukan?
Pertama, akar masalah dari kenapa pemerintah tidak tegas menegakkan
atauran miras, bukan karena perdanya belum ada atau belum sempurna,
tetapi lebih disebabkan oleh sistem reward and punishment yang belum
adil diterapkan. Contoh, aparat yang berhasil menemukan kasus, diberikan
penghargaan/renumerasi yang sepadan. Jika ada oknum keamanan yang
bermain mata, maka tidak segan-segan dikenai sanksi yang berat. Komitmen
pimpinan menjadi sangat penting untuk diuji. Pengaduan masyarakat yang
menemukan penyelewengan aparat bisa dilakukan oleh siapa pun melalui SMS
atau telepon, dan yang penting adalah adanya station radio, yang
terus-menerus mengudara dan menyampaikan keluhan masyarakat, sebagai
alat kontrol publik atas kinerja birokrasi. Kondisi ini pernah dilakukan
oleh Radio Mara di Bandung. Setiap hari selalu mengudara dan
memproklamirkan diri sebagai parlemen jalanan. Siap menampung keluhan
masyarakat, seperti listrik mati, PAM macet, jalan rusak, pohon tumbang
dan lain-lain.
Tambang Emas Kekuasaan
Tak salah memang dugaan bahwa kesemrautan regulasi miras memang
disengaja, karena miras bisa menjadi salah satu dari sekian tambang emas
kekuasaan. Terbukti, diaspora kelompok peminum miras hampir merata di
desa-desa di Bali. Kehadirannya seakan dibiarkan tanpa sentuhan kontrol
aparat. Seharusnya ada razia dan aturan yang jelas batas umur orang
boleh meminum minuman beralkohol. Seperti di Amerika, usia yang
diizinkan adalah 21 tahun ke atas (Akitson, 2002). Namun di Bali, tidak
jelas, ada dugaan pembiaran itu bagian dari strategi perluasan pasar,
karena pabrik miras yang kehadirannya kerap dilindungi aparat, semacam
usaha sampingan dalam carut marutnya hukum di negara ini.
Akibatnya, generasi muda menciptakan bentuk baru akulturasi, meminjam
konsepsi Herskovits (1966) dalam Cultural Dyanamic, disebut sebagai
'pelaziman budaya' (cultural conditioning). Suatu bentuk kondisi yang
awalnya asing, kemudian menjadi suatu kebiasaan dan akhirnya menjadi
kebutuhan. Sifat mencoba-coba minum miras sedikit demi sedikit, dan
dianggap lazim, kondisi ini membentuk pola pemrograman budaya (cultural
programming) secara simultan. Ketika sampai di terminal itu, maka
keracunan miras sampai meninggal adalah kejadian yang biasa dan bisa
jadi tidak dianggap penting.
Pelaziman budaya pun terang benderang terjadi di kalangan penguasa,
pemerintah lemah dan nyaris gagal untuk menegakkan peraturan mikol (Bali
Post, 12/9) di tataran implementasi.
Kenyataan itu membuktikan bahwa Perda Mikol hanyalah pelengkap laporan
bahwa proyek dari sidang parlemen telah usai. Sesudahnya, perda itu
bertumpuk di sudut lemari yang berdebu. Akhirnya, pemerintah tinggal
melakukan aksi berlabel hand on experience (J. Stenesh, 2001), artinya
pemerintah hanya menggunakan data yang sarat manipulasi untuk
menghasilkan pemuasan publik, yang berujung pada pengambilan keputusan
yang tidak tepat sasaran.
Solusi kedua yang ditawarkan adalah melihat permasalahan bahwa produksi
arak tradisional nyaris tanpa pembinaan dari pemerintah, tampaknya benar
adanya. Setiap kali terjadi keracunan arak oplosan, maka yang kena
getahnya adalah para perajin arak tradisional. Pemerintah belum optimal
memberikan pembinaan teknis, dari segi pengembangan teknologi baik
teknologi fermentasi maupun teknologi penyulingan (destilasi)
bertingkat. Diduga, keuntungan proyek pembinaan ini teramat kecil gaung
politiknya, berbeda dengan program bedah rumah. Tanpa disadari jika
pembinaan itu berjalan baik maka miras lokal bisa menjadi produk ekspor.
Untuk sampai ke tahap itu, pemerintah dapat melibatkan akademisi, yang
hasil penelitiannya banyak mangkir di perpustakaan kampus.
Solusi ketiga, berangkat dari konstruktivistik kognitif generasi muda
dan peminum di Bali perlu mendapat pemahaman sifat kimia suatu bahan.
Sebab di benak mereka terkonstruksi bahwa miras yang bagus adalah miras
yang membuat cepat pusing (pengeng), maka target ini dikejar dengan
modifikasi arak yakni dengan penambahan aneka bahan seperti metanol,
spiritus, bensin, sampo, dan bahkan ada obat antinyamuk. Bahan terakhir
jelas membuat pusing karena sistem saraf otak dirusak yang pada akhirnya
benar-benar pusing tak tertolong dan tidak bisa diobati, kecuali siap
untuk dikremasi.
Selain pemahaman tentang sifat kimia bahan, pemahaman tentang benteng
diri harus kuat dari infiltrasi budaya asing perlu ditingkatkan. Kondisi
saat ini memang tidak ringan. Keberadaa miras identik dengan kafe, bar,
dan diskotek yang menjadi salah satu gaya tarik wisatawan datang ke
Bali, mereka berlibur tanpa minum-minum keras kurang afdol. Ketika miras
langka saja, sudah dapat berpotensi meredupkan citra Bali sebagai
destinasi pariwisata internasional, karena tidak mampu menyediakan
produk Food & Bevarage (F&B) yang menjadi kebutuhan wisatawan
asing. Minuman beralkohol merupakan kebutuhan pokok bagi wisatawan
asing, khususnya dari Eropa, Amerika, dan Australia .
Solusi keempat adalah, ketegasan tokoh Agama Hindu/adat dan PHDI di Bali
untuk memberlakukan bhisama arak haram dengan segala manisfestasinya.
Para petinggi Agama Hindu di Bali harus berani tegas untuk merumuskan
bhisama terhadap nilai-nilai tradisi dan agama yang ambivalen. Miras
misalnya, dalam label arak, kerap memiliki aspek ganda, mirip dengan
fenemona tajen dengan tabuh rah, berada dalam rentangan judi dan yadnya.
Demikian juga dengan arak (juga brem), memiliki dua sifat seperti sisi
mata uang yang sama, antara mada (mabuk) dan yadnya (tetabuhan).
Pemaknaan terhadap aspek rwabhineda (baik buruk), haruslah lebih membuka
wiweka manusia, untuk memilih yang baik dan menjauhi yang salah.
Penulis, Sekretaris Program Studi Pendidikan IPA, PPs Undiksha, alumnus Doktor ITB
(sumber: http://www.balipost.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar