3 Juni 2014

Keracunan Miras Marak karena Pelaziman Budaya

Oleh I Nyoman Tika


Penyalahgunaan minuman keras menelan korban lagi di Bali. Arak oplosan yang dimodifikasi oleh si pemakai dan atau pedagangnya, sungguh sangat berbahaya. Arak semacam itu menyebar seakan tanpa kendali di Bali. Artinya, pemasaran miras ternyata sarat dengan black market, yang tak sempat diurus dengan benar oleh pemerintah. Kondisi ini bak penyakit endemik, yang menyebar di tubuh birokrasi dan masyarakat luas. Parahnya lagi, pemerintah hanya bersifat reaktif, bergerak ketika sudah jatuh korban jiwa, dan kurang tindakan proaktif untuk mencarikan solusi.


Dalam bingkai itulah, mengatasi maraknya arak oplosan bak benang kusut antarberbagai variabel kepentingan yaitu ekonomi, birokrasi, politik, sosial, agama dan budaya, sehingga membutuhkan tenaga ekstra keras untuk mengurainya.

Dari sisi generasi muda, sebagian besar telah mengalami semacam 'mutasi pemikiran'. Performance orang Bali yang dikenal lugu, polos, jujur, dan rendah hati, kini telah berubah masuk ke zone budaya Bali modern menurut benak mereka, yang terbatas hanya identik dengan perilaku turis.

Generasi muda Bali tereksitasi menjadi sosok-sosok yang labil, mudah frustrasi dan depresi, karena pengaruh budaya luar yang kian deras mengentak kehidupannya tanpa filtrasi budaya bangsa yang jelas dan konsisten. Kondisi ini dapat menjadi lahan subur untuk bersemainya penggunaan minuman beralkohol (depresan), untuk memberikan efek tenang.

Dalam hal regulator minuman beralkohol, pemerintah tampaknya gagal sebagai penetrasi budaya. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, pemerintah belum tegas menerapkan peredaran miras oplosan di masyarakat, kedua, produksi arak tradisonal nyaris tanpa pembinaan, ketiga, pihak terkait belum optimal melakukan upaya filtrasi terhadap maraknya budaya asing yang melanda generasi muda Bali, keempat, lembaga dan tokoh Agama Hindu tidak satu pandangan dalam penangkalan dan penyebaran minuman keras dan infiltrasi budaya luar di Bali.

Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, solusi apa yang harus dilakukan? Pertama, akar masalah dari kenapa pemerintah tidak tegas menegakkan atauran miras, bukan karena perdanya belum ada atau belum sempurna, tetapi lebih disebabkan oleh sistem reward and punishment yang belum adil diterapkan. Contoh, aparat yang berhasil menemukan kasus, diberikan penghargaan/renumerasi yang sepadan. Jika ada oknum keamanan yang bermain mata, maka tidak segan-segan dikenai sanksi yang berat. Komitmen pimpinan menjadi sangat penting untuk diuji. Pengaduan masyarakat yang menemukan penyelewengan aparat bisa dilakukan oleh siapa pun melalui SMS atau telepon, dan yang penting adalah adanya station radio, yang terus-menerus mengudara dan menyampaikan keluhan masyarakat, sebagai alat kontrol publik atas kinerja birokrasi. Kondisi ini pernah dilakukan oleh Radio Mara di Bandung. Setiap hari selalu mengudara dan memproklamirkan diri sebagai parlemen jalanan. Siap menampung keluhan masyarakat, seperti listrik mati, PAM macet, jalan rusak, pohon tumbang dan lain-lain.



Tambang Emas Kekuasaan

Tak salah memang dugaan bahwa kesemrautan regulasi miras memang disengaja, karena miras bisa menjadi salah satu dari sekian tambang emas kekuasaan. Terbukti, diaspora kelompok peminum miras hampir merata di desa-desa di Bali. Kehadirannya seakan dibiarkan tanpa sentuhan kontrol aparat. Seharusnya ada razia dan aturan yang jelas batas umur orang boleh meminum minuman beralkohol. Seperti di Amerika, usia yang diizinkan adalah 21 tahun ke atas (Akitson, 2002). Namun di Bali, tidak jelas, ada dugaan pembiaran itu bagian dari strategi perluasan pasar, karena pabrik miras yang kehadirannya kerap dilindungi aparat, semacam usaha sampingan dalam carut marutnya hukum di negara ini.

Akibatnya, generasi muda menciptakan bentuk baru akulturasi, meminjam konsepsi Herskovits (1966) dalam Cultural Dyanamic, disebut sebagai 'pelaziman budaya' (cultural conditioning). Suatu bentuk kondisi yang awalnya asing, kemudian menjadi suatu kebiasaan dan akhirnya menjadi kebutuhan. Sifat mencoba-coba minum miras sedikit demi sedikit, dan dianggap lazim, kondisi ini membentuk pola pemrograman budaya (cultural programming) secara simultan. Ketika sampai di terminal itu, maka keracunan miras sampai meninggal adalah kejadian yang biasa dan bisa jadi tidak dianggap penting.

Pelaziman budaya pun terang benderang terjadi di kalangan penguasa, pemerintah lemah dan nyaris gagal untuk menegakkan peraturan mikol (Bali Post, 12/9) di tataran implementasi.

Kenyataan itu membuktikan bahwa Perda Mikol hanyalah pelengkap laporan bahwa proyek dari sidang parlemen telah usai. Sesudahnya, perda itu bertumpuk di sudut lemari yang berdebu. Akhirnya, pemerintah tinggal melakukan aksi berlabel hand on experience (J. Stenesh, 2001), artinya pemerintah hanya menggunakan data yang sarat manipulasi untuk menghasilkan pemuasan publik, yang berujung pada pengambilan keputusan yang tidak tepat sasaran.

Solusi kedua yang ditawarkan adalah melihat permasalahan bahwa produksi arak tradisional nyaris tanpa pembinaan dari pemerintah, tampaknya benar adanya. Setiap kali terjadi keracunan arak oplosan, maka yang kena getahnya adalah para perajin arak tradisional. Pemerintah belum optimal memberikan pembinaan teknis, dari segi pengembangan teknologi baik teknologi fermentasi maupun teknologi penyulingan (destilasi) bertingkat. Diduga, keuntungan proyek pembinaan ini teramat kecil gaung politiknya, berbeda dengan program bedah rumah. Tanpa disadari jika pembinaan itu berjalan baik maka miras lokal bisa menjadi produk ekspor. Untuk sampai ke tahap itu, pemerintah dapat melibatkan akademisi, yang hasil penelitiannya banyak mangkir di perpustakaan kampus.

Solusi ketiga, berangkat dari konstruktivistik kognitif generasi muda dan peminum di Bali perlu mendapat pemahaman sifat kimia suatu bahan. Sebab di benak mereka terkonstruksi bahwa miras yang bagus adalah miras yang membuat cepat pusing (pengeng), maka target ini dikejar dengan modifikasi arak yakni dengan penambahan aneka bahan seperti metanol, spiritus, bensin, sampo, dan bahkan ada obat antinyamuk. Bahan terakhir jelas membuat pusing karena sistem saraf otak dirusak yang pada akhirnya benar-benar pusing tak tertolong dan tidak bisa diobati, kecuali siap untuk dikremasi.

Selain pemahaman tentang sifat kimia bahan, pemahaman tentang benteng diri harus kuat dari infiltrasi budaya asing perlu ditingkatkan. Kondisi saat ini memang tidak ringan. Keberadaa miras identik dengan kafe, bar, dan diskotek yang menjadi salah satu gaya tarik wisatawan datang ke Bali, mereka berlibur tanpa minum-minum keras kurang afdol. Ketika miras langka saja, sudah dapat berpotensi meredupkan citra Bali sebagai destinasi pariwisata internasional, karena tidak mampu menyediakan produk Food & Bevarage (F&B) yang menjadi kebutuhan wisatawan asing. Minuman beralkohol merupakan kebutuhan pokok bagi wisatawan asing, khususnya dari Eropa, Amerika, dan Australia .

Solusi keempat adalah, ketegasan tokoh Agama Hindu/adat dan PHDI di Bali untuk memberlakukan bhisama arak haram dengan segala manisfestasinya. Para petinggi Agama Hindu di Bali harus berani tegas untuk merumuskan bhisama terhadap nilai-nilai tradisi dan agama yang ambivalen. Miras misalnya, dalam label arak, kerap memiliki aspek ganda, mirip dengan fenemona tajen dengan tabuh rah, berada dalam rentangan judi dan yadnya. Demikian juga dengan arak (juga brem), memiliki dua sifat seperti sisi mata uang yang sama, antara mada (mabuk) dan yadnya (tetabuhan). Pemaknaan terhadap aspek rwabhineda (baik buruk), haruslah lebih membuka wiweka manusia, untuk memilih yang baik dan menjauhi yang salah.



Penulis, Sekretaris Program Studi Pendidikan IPA, PPs Undiksha, alumnus Doktor ITB
(sumber: http://www.balipost.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar