Seorang istri sangat sedih, karena akhir-akhir ini suaminya sering pulang malam dalam keadaan mabuk. Suatu hari, ia marah besar kepada suaminya itu. "Seenaknya saja kamu bersenang-senang di luar, meninggalkan aku sendirian di rumah!"
Si suami yang sedang malas berdebat, memutuskan mengajak istrinya ke bar esok malam. Sang istri yang memang penasaran manut saja. Sesampai di bar, sang suami memesan minuman keras seperti biasa, dan memesankan satu gelas minuman keras juga untuk istrinya. Ketika si istri mencoba meminum, ia langsung memuntahkannya lagi. “Huhhh, minuman apa ini? Nggak enak sama sekali!” komentar si istri.
Sang suami tersenyum. “Tuh, kan… Makanya jangan kau kira selama ini aku bersenang-senang di sini.”
***
MABUK adalah teman peradaban. Di belahan bumi mana pun orang mengenal mabuk lewat beragam cara; diminum, diisap, dihirup, sampai disuntikkan. Macam-macam efek dicari, entah ketenangan jiwa atau keriangan perasaan. Meski larangan tak kurang banyak, dari hukum agama sampai aturan negara, orang-orang tetap berusaha mabuk. Fly, terbang tinggi ke alam imajinasi. Memerdekakan pikiran dari kesumpekan sehari-hari.
Mabuk selalu saja mencandukan. Tak sedikit kisah orang-orang yang terjerat lantas merusak sendiri hidupnya. Meracuni tubuh dengan zat-zat adiktif lantas melupakan apa saja; lupa keluarga, lupa masa depan, bahkan lupa kalau selain bermabuk-mabuk ria, hidup harus diisi dengan aktivitas lain juga.
Tentu saja yang dimaksud mabuk ini adalah mabuk dibuat-buat, yang disengajakan demi seolah-olah kenikmatan diri, yang untuk itu orang bahkan berani bayar mahal sekali. Bukan mabuk jenis mual-mual di pesawat udara atau bus kota, karena untuk dua contoh terakhir ini, penderitanya sungguh bukan korban ketagihan. Kalaupun ada kesamaan, para pemabuk, untuk urusan apa pun, sama-sama sulit keluar dari kebiasaan mabuknya itu.
Orang mabuk judi akan mencandui judi. Orang yang lagi mabuk asmara akan mencandui pikiran tentang kekasihnya. Mabuk harta bakal terpenjara oleh nafsu menjadi kaya. Mabuk politik bisa bikin politikus lupa segala-galanya. Mabuk kekuasaan dijamin menjerumuskan. Bahkan mabuk berbuat baik pun bisa menyeret seseorang menjadi riya, tinggi hati, atau merasa seakan-akan telah melakukan banyak hal baik sementara orang lain tidak.
Dalam batas-batas tertentu, ritual permabukan boleh jadi merupakan bentuk lain dari cara manusia melakukan refreshing jiwa. Kerap pula menjadi sesuatu yang tak terhindarkan untuk sebuah hubungan sosial. Itu ketika kehendak menjadi mabuk dilakukan dalam kesadaran terukur. Misalnya, “sekadar” minum satu dua pitcher bir dingin sembari mendengar musik, menenggak beberapa sloki wiski juga vodka di sebuah pesta, atau menikmati sececap wine atau brandy dalam jamuan makan malam.
Yang masih sulit dijelaskan adalah ketika ritual memabukkan diri itu lantas menjadi penuh variasi. Bukan lagi sekadar minuman keras, tetapi juga aneka jenis narkotika; pesta sabu-sabu, ganja, heroin, dan entah apa lagi, yang siapa pun pemakainya sebenarnya punya pengetahuan cukup untuk menyadari bahwa semua itu buruk. Buruk bagi kesehatan, buruk bagi lingkungan, buruk bagi masa depan.
Toh, ini bukan cerita hari ini. Sejak dulu selalu saja ada cara manusia berlaku zalim bahkan terhadap tubuhnya sendiri.
***
Dan korbannya bisa siapa saja. Anak-anak atau orang tua. Pria-wanita. Miskin-kaya. Orang tak bernama atau figur kesohor. Sangat bodoh atau kelewat pintar. Multiprofesi; dari pengangguran sampai profesor di sebuah perguruan tinggi. Multilatar belakang; dari yang seumur hidupnya tak pernah mengenal agama hingga kiyai pengasuh pondok pesantren. Multisebab; dari yang kecebur karena coba-coba sampai tergiur keuntungan menjadi pengedar.
Insafnya pun susah. Siapa menyangka seorang Roy Marten harus masuk bui lagi hanya beberapa jam setelah ia tampil manis memberi testimoni di sebuah acara kampanye antinarkoba, di mana testimoninya itu bahkan membuat Kapolri Sutanto terkagum-kagum. Roy seolah mewakili fakta betapa jahatnya jeratan candu: sanggup mengalahkan semangat dan usaha untuk bertobat.
Kita kemudian kerap terkaget-kaget setiap kali ada orang-orang baru yang tertangkap karena narkoba. Orang yang tak pernah kita sangka-sangka. Yang dalam kesehariannya terlihat baik-baik belaka, good boy dan nyaris tak pernah punya masalah. Betapa hebat memang, manusia menutupi kelakuan buruknya dari orang lain. Seperti juga setiap kita yang tentu punya kekurangan namun selalu berusaha tampil sempurna.
Urusannya memang menjadi semakin rumit karena narkoba, seperti juga minuman keras, adalah bisnis luar biasa laris. Sebuah jaringan usaha yang strategi marketingnya layak jadi topik khusus di seminar-seminar bisnis, karena begitu maju dengan omzet dan laba sangat besar. Padahal, produknya sangat jelas buruk sekali untuk kesehatan, berlabel haram dan terlarang, jualannya tak pakai promosi (malah kontrapromo dengan semakin banyaknya kampanye anti narkoba), dan distribusinya bukan lagi “indie” tapi benar-benar “bawah tanah”.
Begitu dahsyatnya, bahkan meski kontrapromo digeber habis-habisan, bisnis ini bertumbuh terus alih-alih mati. Maklum, orang-orang tetap perlu “barang” karena masih harus mabuk. Bahkan meski bandar-bandar dan pengedar sudah dipenjara, transaksi tetap lancar termasuk dari balik rumah tahanan. Dibui bukan berarti mabuk berhenti, sebab mengambil contoh Roy Marten, justru di tempat inilah dia menjadi semakin ahli. Bukan lagi mengerti cara memakai, tetapi juga memahami dan (diduga) melibatkan diri dalam jaringan pengedar.
Diskusi tentang pemberantasan narkoba selalu hangat. Pemerintah mencanangkan banyak sekali program, termasuk memfasilitasi terbentuknya badan-badan anti-narkoba sampai ke daerah-daerah. Menggelontor triliunan rupiah dana APBN untuk urusan ini. Penegakan hukum pun tak kurang-kurang. Pemakai dan pengedar paling sering ditangkap, disidang, lantas “disekolahkan” ke penjara-penjara – yang sebagiannya insaf, sebagian lagi malah jadi tambah hebat karena dari penjara dapat banyak kenalan baru dan itu artinya menambah jaringan baru.
Bandar-bandar besar ditangkapi, lengkap dengan barang bukti berton-ton bahan racikan narkoba, juga bangunan pabrik super gede penuh bahan kimia siap olah. Hasilnya? Orang-orang tetap harus mabuk, dan itu berarti, seperti teori ekonomi paling tua dalam peradaban manusia: demand akan memaksa supply. Bagaimana caranya? Selalu ada cara!
Seperti olok-olokan tentang sehebat-hebatnya polisi, penjahat masih tak mati akal untuk beraksi, maka mau tak mau perlu ada akal yang lebih radikal, berbeda dan tak biasa, revolusioner bila perlu, untuk menginsafkan ritual mabuk para pemabuk. Sesuatu yang benar-benar menakutkan, dan harus jauh lebih menakutkan tinimbang risiko mabuk sendiri. Kalau sekadar hukuman mati, misalnya, mungkin bukanlah ancaman menakutkan, karena para pemabuk toh sudah menantang mati dengan mabuk-mabukannya itu. Para penantang kematian kok diancam hukuman mati!
Jadi? Tentu saja ancamannya harus sesuatu yang “paling menakutkan” bagi para pemabuk, yang sudah tentu mesti lebih menakutkan dari sekadar hukuman mati. Apa itu? Hmm, karena saya sendiri bukan pemabuk, sampai tulisan ini harus ditutup, saya belum temukan jawabannya. Ada (pemabuk) yang bisa membantu?
***
Suami pemabuk yang setiap hari menghabiskan berbotol-botol minuman keras tadi, berniat insaf dan memeriksakan kesehatannya ke laboratorium. Hasil pemeriksaan dari laboratorium itu diserahkannya kepada dokter penyakit dalam.
Lama ia menunggu dokter mengamati lembar pemeriksaan itu. Ketika tak kunjung terdengar komentar, ia bertanya. “Bagaimana, Dok? Apa keadaan saya baik-baik saja?”
Dengan dingin dokter menjawab: "Ya, hanya ada sedikit darah yang mengganggu sistem cairan alkohol di tubuh Anda." (http://windede.com/)