30 November 2014

Masyarakat Kota Malang Deklarasikan Gerakan Anti Miras

Di Malang membeli miras sama mudahnya seperti membeli soft drink, termasuk oleh anak-anak.



Walau Kota Malang sudah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) untuk membatasi peredaran dan konsumsi minuman keras (miras), namun hingga kini peredaran miras di daerah itu dinilai masih sangat leluasa. Minuman tersebut bisa dibeli dengan bebas oleh siapa saja dan di mana saja. Pada April lalu misalnya, sembilan orang tewas setelah pesta miras.
Keresahan tersebut membuat masyarakat Malang mendeklarasikan Gerakan Anti Mirias untuk mengampanyekan bahaya miras, yang bukan hanya berdampak bagi kesehatan tapi juga bagi nilai-nilai kemanusiaan.
Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) Fahira Idris mengatakan, Malang adalah salah satu dari ratusan kota di Indonesia yang warganya resah terhadap maraknya peredaran dan konsumsi miras.
“Saya sering menerima aduan dari warga Malang, kalau mereka masih sering melihat orang mabuk-mabukan di sembarang tempat, dari pinggir jalan hingga di gang-gang sempit kampung, apalagi jika ada pesta seperti kawinan,” ujar Fahira, dalam siaran pers yang diterima ATJEHPOST.co hari ini, Selasa 18 November 2014.
Menurut senator Indonesia ini, sebenarnya Malang sudah mempunyai Perda Nomor 5 Tahun 2006 tentang pengawasan, pengendalian dan pelarangan penjualan minuman beralkohol, tetapi selama hampir delapan tahun, tidak ada penegakan hukum yang berarti jika ada warga maupun badan usaha yang melanggar perda ini.
Perda tersebut secara tegas menyatakan miras semua jenis hanya bisa dijual dan dikonsumsi di hotel berbintang minimal bintang 3, restoran dengan tanda talam kencana dan talam selaka, bar, pub dan klab malam. Sanksi bagi yang melanggar juga cukup tegas yaitu berupa denda sampai Rp50 juta atau kurungan penjara.
Fahira menyakini, jika disurvei, sebagian besar masyarakat Kota Malang tidak tahu bahwa sebenarnya ada aturan yang melarang menjual dan mengonsumsi miras sembarangan.
“Ini (menyosialisasikan Perda Miras) sebenarnya tugas pemerintah kota. Tetapi saya banyak dapat laporan, perda ini seperti diabaikan. Jangankan penegakan hukum, upaya pencegahan peredaran miras seperti razia sangat minim,” ujarnya.
Padahal, gesekan antarwarga yang berujung ke tawuran, salah satu penyebab utamanya adalah miras. “Seharusnya, Pemerintah Kota Malang sadar kalau miras itu penyakit sosial. Tidak hanya merusak kesehatan, miras juga biang masalah sosial. Saya berharap kejadian kemarin (sembilan orang tewas) jadi yang terakhir. Ini tidak akan terjadi jika perda miras dijalankan,” desak Fahira.
Sementara itu, koordinator warga Malang untuk gerakan antimiras Alvanul Maghfur mendesak Pemerintah Kota Malang untuk konsisten menjalankan perda miras, salah satunya menegakkan aaturan bahwa siapa saja yang membeli miras harus menunjukkan KTP atau tanda pengenal lain yang membuktikan usianya 21 tahun ke atas.
“Aturan ini hampir tak pernah diterapkan. Di lapangan anak-anak sekolah dengan mudahnya membeli miras, sama beli seperti beli soft drink. Kami minta pemerintah kota tegas. Ini persoalan serius, miras sudah merusak pelajar kita,” katanya.
Menurut Alvanul, walau baru dideklarasikan pada Minggu 16 November 2014 lalu, GeNAM Chapter Malang sejak 2013 sudah melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan diskusi tentang bahaya miras. Terakhir bersama DPRD Kota Malang, GeNAM Chapter Malang menggelar diskusi bahaya miras.
“Saat penegakan hukum tidak bisa diharapkan, warga harus bergerak. Tidak ada jalan lain, selain melakukan gerakan penyadaran tentang bahaya miras. Jangan sampai miras merusak citra Malang sebagai Kota Pelajar,” ujarnya. [ajehpost.co]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar