16 September 2015

MIRAS LOKAL ANCAMAN NASIONAL

(Investigasi Pembuatan dan Penyebaran Miras Tradisional)

Jika pemerintah atau masyarakat umum mengira bahaya miras yang mengancam remaja hanya berasal dari miras yang dijual di toko atau minimarket, sesungguhnya itu hanya sebagian dari permasalahan penyebaran miras.
Yang sebagian lagi adalah minuman keras tradisional atau yang di Jawa biasa disebut arak. Saya tergerak untuk menelusuri pembuatan dan penyebaran minuman keras lokal ini. Bertempat di sebuah desa kecil di Jawa Timur (nama desa sengaja saya rahasiakan karena beberapa alasan, salah satunya permintaan narasumber), Sabtu (13/04/2013) saya mengunjungi sebuah ‘pabrik’ minuman keras lokal.
Dari tempat saya tinggal, saya butuh waktu kurang lebih 45 menit untuk mencapai desa yang tergolong strategis karena berada di jalan utama penghubung dua kabupaten itu. Saya harus menempuh perjalanan dengan medan lumayan sulit. Jalanan berkelok-kelok, berbatu dan naik turun. Semakin lengkap karena jalan itu ada di hutan jati yang masih lumayan lebat, jujur saya lumayan ‘ngeri’, belum lagi menebak-nebak bagaimana reaksi para pengusaha miras lokal yang akan saya wawancarai. Hii..
Tapi karena sudah setengah jalan, saya lanjut. Sampai di kompleks pengusaha miras lokal (arak), saya sempat berbincang sebentar dengan ibu pembuat arak itu langsung. Tapi karena beliau sibuk, anak beliau lah yang bisa ngobrol dengan saya. Dan nyali saya untuk foto-foto kegiatan mereka langsung ciut ketika melihat reaksi yang kurang welcome dari warga sekitar. Tidak seperti kebanyakan orang desa yang menyambut orang-orang baru dengan ramah, orang-orang disana terkesan lebih ‘pendiam’. Saya hanya bisa ‘memotret’ semua yang saya lihat dengan otak dan hati saya. Mudah-mudahan bisa saya ceritakan lengkap melalui tulisan singkat ini.
Singkat cerita, arak diproduksi oleh warga dengan keahlian yang sudah turun menurun. Bahan utamanya pun dipasok dari perusahaan besar, sepertinya. Bahan utama berupa gula merah/gula aren cair (entah dicampur apa lagi, mereka tidak mau bercerita lebih lanjut) yang biasa datang ber drum-drum ke masing-masing rumah (tidak hanya satu warga yang memiliki usaha pembuatan arak ini) kemudian diproses selama beberapa hari untuk menghasilkan minuman beralkohol mulai yang kadar alkoholnya rendah sampai tinggi. Untuk menghasilkan arak, mereka harus melakukan proses fermentasi bahan tersebut selama kurang lebih 4 hari, kemudian berlanjut ke proses pemasakan dan penyulingan.
Yang membuat saya terbelalak dari kenyataan di tempat tersebut selain betapa ahlinya warga membuat miras adalah hasil akhir penyulingan miras berupa arak yang bisa dijual dengan harga sangat murah. Arak kualitas terbaik (kadar alkohol tertinggi) hanya dijual Rp. 7.000/liter! sementara yang kualitasnya sedang atau lebih rendah tentu lebih murah dari harga itu. Inilah ternyata misteri besar kenapa arak alias miras tradisional ini menjadi sangat mudah didapat dan dibeli oleh masyarakat umum, karena harganya sangat murah!
Lebih lanjut, masyarakat bisa dengan mudah memesan arak kepada produsen rumahan seperti yang saya datangi itu. Bahkan seringkali para produsen tersebut memang membuat arak sesuai pesanan. Bisa dibayangkan betapa mudah dan ‘biasa’ nya transaksi jual beli minuman memabukkan ini di desa yang notabene justru tidak ada minimarket yang selama ini dikhawatirkan sebagai ‘pintu utama’ penyebaran miras untuk masyarakat umum khususnya remaja…
Lantas bagaimana peran masyarakat sekitar termasuk perangkat desa dan pihak terkait dalam upaya pemberantasan minuman keras tradisional? Sayangnya hanya retorika semata. Tepat ketika saya hendak pulang dari tempat pembuat miras yang saya wawancarai, satu unit mobil polisi melintas tepat di depan rumah tersebut. Ternyata kedatangan mereka ke desa tersebut bukan untuk menggerebek atau menghentikan kegiatan produksi miras disana, sebaliknya, mereka justru hendak membeli miras disana. Heran? Tidak percaya? Sama, saya juga geleng-geleng kepala. Tapi itulah yang terjadi. Apakah di tempat lain ada juga praktek seperti itu atau tidak, saya kurang tahu. Yang jelas fakta yang saya temukan di tempat pengamatan saya memang seperti itu. Miris.
Bahwa miras tradisional adalah hal yang mudah didapat oleh siapapun dan masih terus tersedia di desa-desa, bukanlah hal tabu. Tak hanya orang tua, remaja juga tak luput dari fenomena ini. Mereka sudah terkondisikan dalam lingkungan yang melihat miras sebagai hal biasa. Apa yang bisa diharapkan ketika praktek ini terus berlanjut dan pihak yang seharusnya memberantas justru menjadi pro?
Kalau ditelusuri lebih lanjut, faktor utama yang membuat praktek pembuatan miras lokal ini terus berlajut adalah faktor ekonomi. Pemerintah harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan atau peluang wirausaha dengan membantu permodalan jika ingin mereka berhenti melakukan produksi. Jika produsen miras lokal dapat ‘dialihkan’ ke pekerjaan lain, otomatis satu rantai penyebaran miras akan terputus.
sumber: https://winwinfaizah.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar