25 Oktober 2015

Kisah Tragis Perempuan Terpidana Mati Penyelundup Narkotika


Terbuai impian dan tergoda rayuan, enam perempuan jatuh dalam pelukan jaringan mafia narkotika. Bukannya kekayaan yang digaet, para perempuan ini malah hidup nestapa. Kini, mereka hidup sengsara di bui dan telah divonis hukuman mati!
Hati-hatilah berkenalan dengan orang yang baru dikenal. Tipu rayu dan bujukan maut bisa meluluhkan hati seorang perempuan. Merri Utami (Mut), seorang WNI, agaknya terpikat dengan keramahan pria berinisial J yang baru dikenalnya di sebuah mal di Jakarta. Keramahan J telah membius Mut, sehingga pertemanan itu berlanjut ke hubungan asmara.
Apalagi, J berjanji akan menikahi Mut---yang bernama asli Cahyawanti Julianto--dan memberi nafkah Rp1 juta per minggu. Karena itu,  wanita lajang asal Sukoharjo ini oke-oke saja ketika diajak J 'jalan-jalan' ke Nepal. Ternyata, Mut malah ditinggal di Nepal karena ada teman J yang mau menitip barang. Sementara, J pulang lebih dulu ke Indonesia karena ada urusan bisnis. 
B dan M, teman J, menitipkan tas kepada Mut dengan alasan tas Mut sudah jelek. Mut memang sempat menanyakan mengapa tas baru itu berat. Namun, akhirnya ia diam saja ketika dijawab tas baru itu terbuat dari kulit. Ketika sampai di bandara Soekarno-Hatta, Mut langsung diciduk petugas Kantor Pelayanan Bea Cukai (KPBC) karena dalam tasnya terdapat 1.1 kilogram heroin.
Lemaslah Mut karena ia tertipu dan telah diperalat untuk membawa heroin. Ia tidak menikmati apa-apa, tapi malah divonis hukuman mati oleh PN Tangerang pada 20 Mei 2002. Majelis hakim yang dipimpin Ade Komarudin menyatakan tidak menemukan hal-hal yang meringankan Mut.
Karena perkenalan dengn orang asing juga, akhirnya  Edith Yunita Sianturi (EYS) bernasib sama dengan Merri Utami. Laki-laki asing berinisial W mendekati EYS (26 tahun) sampai akhirnya mau jadi pacarnya. Pada April 2000, W yang mengaku memiliki toko di Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini meminta EYS mengantarkan uang ke temannya yang berinisial B di Bangkok.
Bukannya  diajak pelesiran, selama seminggu EYS diam saja di hotel dan tiketnya pun ditahan B. Sebelum pulang ke Indonesia, B memberikan tas baru  untuk EYS sebagai contoh di toko W di Jakarta. Karena terbukti membawa heroin 1 kilogram dalam tasnya, EYS pun akhirnya diamankan petugas.
Dalam dakwaan primernya, JPU Siti Zahara menyebutkan EYS yang ditangkap pada 4 Juni 2001 telah melanggar Pasal 82 Ayat 1 (a) UU No. 22/1997 tentang Narkotika. Ancaman hukuman terberat pasal itu adalah hukuman mati. Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memvonis hukuman mati bagi EYS pada November 2001.
Namun berkat pembelaan dari pengacaranya, hukuman untuk EYS di Pengadilan Tinggi diperingan menjadi pidana seumur hidup. Pertimbangan yang meringankan atas dasar terdakwa menjadi korban karena diperalat oleh jaringan narkotika, termasuk kekasihnya sendiri.
Kegembiraan EYS ternyata tidak berlangsung lama karena Mahkamah Agung (MA) telah menolak kasasi dari EYS dan memperkuat putusan PN. Kini, EYS menempuh upaya hukum peninjauan kembali (PK).
Korban kekerasan rumah tangga
Perempuan lain yang jadi korban perdagangan perempuan yang dijebak dengan hubungan asmara dan pernikahan adalah Meirika Pranola (Prn) alias Ola. Bahkan, Prn mengalami nasib yang lebih tragis. Ia dilarang ke mana-mana dan kerap dipukuli suaminya. Sudah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Prn pun tak bisa menolak ketika disuruh membawa heroin.
Prn tertangkap ketika akan menyelundupkan 6,5 kilogram heroin dan kokain ke London. Ia menyimpan benda haram itu di rumah kontrakannya di Bogor. Akhirnya, Prn divonis hukuman mati oleh PN Tangerang pada Agustus 2000. Prn mengaku pengiriman kokain dan heroin itu atas suruhan suaminya Tajudin (Tjd), warga negara Nigeria yang tewas tertembak dalam penggerebekan oleh petugas. Hukuman untuk Prn telah dikukuhkan di Mahkamah Agung.
Menurut majelis hakim, alasan Prn bahwa ia mengalami KDRT bukanlah alasan yuridis untuk melepas Prn dari tindak pidana yang dilakukannya. Hakim berpendapat, seharusnya Prn melaporkan tindakan suaminya kepada aparat yang berwenang.
Seperti ibu yang lain, Prn tentu ingin membesarkan anak semata wayangnya, Bode yang berusia 3 tahun. Kabarnya, Prn kini dilanda depresi. Setelah upaya PK yang diajukannya gagal, ia mengajukan grasi dari presiden. Rupanya, Prn dilanda kengerian setelah mendengar Presiden Megawati menolak permohonan grasi enam terpidana mati.
Prn tidak sendiri menunggu permohonan grasi dari presiden. Walaupun tertekan, rupanya Prn malah merekrut sepupunya, Rani Andriani (Rni) alias Melisa Aprilia. Awalnya, Rni menolak, tapi akhirnya ia menerima juga 'pekerjaan berisiko tinggi'. Rupanya, Rni takut Prn dipukuli suaminya.
Rni yang akan menyelundupkan 3,5 kilogram heroin tertangkap di bandara Soekarno-Hatta. Majelis hakim PN Tangerang memvonis hukuman mati terhadap Rni. Vonis pidana mati ini tidak mempertimbangkan latar belakang ekonomi Rni yang tertekan secara ekonomi dan psikhologi, serta terjebak dalam jaringan mafia narkotika karena tertipu.
Entahlah, apakah Rni memang benar-benar terjebak atau memang jadi bagian sindikat mafia internasional. "Terdakwa merupakan bagian dari salah satu mata rantai sindikat peredaran narkotika," ujar Mursidi, jaksa yang menuntut hukuman mati, pada saat itu. Alasannya, beberapa kali Rni disuruh membawa heroin dan kokain dari Thailand dan Pakistan ke Indonesia. Saat tertangkap di bandara, Rni menggunakan paspor Singapura.
Tidak tahu narkotika
Itu nasib tragis yang dialami empat perempuan WNI. Nasib tragis juga dialami dua WNA, Nonthanam M. Saichon  (NMS) dan Bunyong Khaosa Aral (BKA). Seperti nasib perempuan penyelundup narkotika, NMS--yang terpaksa bekerja di sebuah panti pijat di Bangkok--terbujuk oleh pacar temannya untuk membawa barang ke luar negeri.
Terdorong upah AS$1.200, gadis belia (22 tahun) ini menerima pekerjaan berat, tanpa mengetahui resikonya. Ia dipaksa menggunakan pakaian dalam berisi bubuk putih sebelum berangkat ke Jakarta. NMS tidak boleh bertanya, kenapa harus membawa barang di pakaian dalamnya. Ia juga tidak mengetahui, apa sebenarnya bubuk putih tersebut.
NMS yang dibekali tiket Bangkok-Jakarta pp plus uang tunai AS$200 tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta. Warga negara Thailand ini ketahuan menyembunyikan 600 gram heroin di bagian pinggang, di balik BH, di paha, di perut yang dibalut dengan korset, dan di selangkangan.
Pengacara NMS mengajukan alasan yang meringankan bahwa NMS melakukannya karena desakan ekonomi dan masih mempunyai anak balita. Namun, Majelis hakim PN Tangerang yang diketuai Prim Haryadi menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap NMDS pada 13 Mei 2002. Putusan hakim itu lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa, yang sebelumnya menuntut agar NMS dihukum penjara seumur hidup.
Latar belakang keterpaksaan juga menjadi motif dari Bunyong Kaosa Aral (BKA). Warga negara Thailand (43 tahun) ini sebenarnya tahu menyelundupkan narkoba tergolong tindakan kriminal, meskipun tidak mengetahui bakal diancam hukuman mati. Namun, BKA yang bekerja sebagai penjaja makanan gerobak sedang membutuhkan uang untuk membayar sekolah anaknya.
Hanya karena imbalan uang AS$500, BKA menelan 45 kapsul seberat 400 gram dalam perutnya. Aksi janda beranak dua yang terlihat gelisah dan mencurigakan ini mudah diketahui petugas di bandara. Majelis hakim PN Tangerang yang diketuai Zainal Arifin menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap BKA pada 22 Oktober 2002.
Terhadap 'orang kampung' yang terlihat sangat tabah dan sopan selama persidangan ini, hakim telah memberikan dua pertimbangan yang meringankan. Yaitu, karena imbalan hanya AS$500 dan membantu aparat untuk menangkap pengedar narkotika lainnya. Namun, hakim tetap menjatuhkan vonis hukuman mati, lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa yang hanya menuntut hukuman seumur hidup.
Dua orang WNA lagi yang telah menjadi korban perdagangan perempuan untuk sindikat narkotika adalah Ma Saw Khin alias Sakinah (Skn) dari Myanmar dan Khancana Thiangtum (Khn) dari Thailand. Lagi-lagi keduanya menjadi kurir oleh temannya karena desakan ekonomi. Keduanya ditangkap di bandara Soekarno-Hatta. Skn dipidana 20 tahun penjara, sedangkan Khn 15 tahun penjara.
Perempuan Tersangka Kasus Narkotika
Nama Terpidana
Warga Negara
Heroin/
kokain
Vonis
Upaya Hukum Terakhir
Merri Utami (Mut)
Indonesia
1,1 kg.
hukuman mati
banding
Edith Yunita Sianturi (EYS)
Indonesia
1,1 kg.
hukuman mati
PK
Meirika Pranola (Prn)
Indonesia
6,5 kg.
hukuman mati
minta grasi
Rani Andriani (Rni)
Indonesia
3,5 kg.
hukuman mati
minta grasi
Nonthanam M. Saichan (NMS)
Thailand
0,6 kg.
hukuman mati
kasasi
Bunyong Kaosa Aral (BKA)
Thailand
0,4 kg.
hukuman mati
banding
Khancana Thiangtum (Khn)
Thailand
1,75 kg.
15 tahun penjara
inkracht
Ma Saw Khin (Skn)
Myanmar
NA
20 tahun penjara
inkracht
Sumber: Pusat data hukumonline, 2003
Rekrutmen dengan manipulasi
Nasib tragis 8 wanita yang kini meringkuk di PN Tangerang ini mendapat perhatian dari Pusat Kajian Wanita dan Jender (PKWJ) Universitas Indonesia. Lembaga ini telah mengadakan penelitian untuk mengungkapkan perdagangan perempuan dalam pengedaran narkotika. Perempuan itu dijadikan sebagai kurir oleh pelaku bandar narkotika melalui proses perekrutan yang sarat tekanan dan penipuan, serta hubungan personal dengan dijadikan pacar atau istri. 
Dr. Sulistyowati Irianto, Ketua PKWJ, melihat keberadaan 8 perempuan dan beberapa korban lainnya itu sebagai fenomena perdagangan perempuan. "Keberadaan mereka dalam aktivitas ini tidak terlalu mudah untuk dapat dikategorikan sebagai perdagangan perempuan, tapi tetap menunjukkan adanya eksploitasi dan kejahatan yang sangat merugikan perempuan," katanya.
Sebagai landasan perdagangan wanita itu adalah Protokol PBB untuk mencegah, menangulangi, dan menghukum perdagangan manusia, terutama wanita dan anak-anak. Selain itu, Kepres No.88/2002 tentang rencana aksi nasional penghapusan perdagangan perempuan dan anak-anak.
Nah, fenomena perdagangan perempuan terlihat dalam kisah tragis para perempuan yang berpeluang menjadi terpidana mati itu. Pertama, perekrutan perempuan dalam jaringan narkotika itu diawali dengan tipu daya dalam berbagai bentuk. Terutama, diciptakannya hubungan personal--pacaran, perkawinan, hidup bersama--antara perempuan sebagai korban dengan pemilik sesungguhnya.
Kedua, para perempuan itu diperintahkan untuk melakukan jenis pekerjaan yang berbahaya dan beresiko, tanpa diberitahu apa bahaya dan resiko pekerjaan itu. Mereka yang masuk perangkap pacaran atau perkawinan tidak mengetahui bahwa mereka bakal dijadikan pengedar narkotika oleh pasangannya, seperti dialami  oleh EYS dan Mut.
Ketiga, adanya unsur migrasi. Buktinya, semua terpidana mati kasus narkotika tertangkap di bandara. Keberadaan para perempuan itu menjadi salah satu mata rantai dari perdagangan perempuan. Keempat, adanya unsur eksploitasi berupa kekerasan, termasuk penyekapan dan ditiadakannya hak korban untuk bertanya.
Kelima, ada orang-orang yang mendapat keuntungan dari bisnis ini, yaitu pengedar lapis atas dan bandar narkotika sesungguhnya.  Mereka dapat keuntungan besar, sedangkan para perempuan itu malah mendekam di penjara dan menunggu hukuman mati.
Tampaknya, perempuan yang menjadi terpidana kasus narkotika itu diumpankan sebagai perisai. Salah satu strategi jebakan adalah mendekati perempuan-permpuan muda, yang kemudian bergantung secara finansial. Sebagai kompensasi diajak jalan-jalan ke luar negeri, perempuan itu dikirim sebagai pembawa narkotika. Lalu, perempuan itu membawa narkotika dengan  barang khas perempuan, disempunyikan di balik BH, atau malah ditelan dalam perut.
Tidak berpihak pada perempuan
Menurut PKWJ, vonis terhadap terpidana kasus narkotika tidak berpihak kepada perempuan. "Padahal, pengalaman perempuan ini seharusnya dapat menjadi bahan pertimbangan berkaitan dengan posisi perempuan dalam kasus tersebut," cetus Sulistyowati. Karena pengabaian pengalaman perempuan dalam proses persidangan, para perempuan itu tidak mendapatkan akses pada keadilan.
PKWJ juga melihat bahwa dalam proses persidangan, hukum positif tidak dijalankan secara konsekuen. Pasal 51 huruf (a) KUHAP menyatakan, tersangka harus diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti atau diketahui tentang yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
Namun, pada prakteknya NMS--yang cuma bisa berbahasa Thailand lokal--hanya didampingi penerjemah yang hanya bisa berbahasa Indonesia-Ingris. Ia mengaku tidak pernah bertemu dengan pengacaranya, kecuali dalam persidangan. Sementara BKA--yang juga tidak paham bahasa Indonesia--hanya diam ketika hakim menjatuhkan vonis mati. Setelah orang Kedutaan menerjemahkan, barulah BKA menangis.
Perempuan tersangka penyelundup narkotika dari WNA itu mengaku para pengacaranya tidak banyak menolongnya. Hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-Cuma disebutkan dalam Pasal 56 (2) KUHAP. Khususnya, tersangka yang disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lebih dari 15 tahun.
Namun, BKA mengaku penasehat hukum yang diberikan Mabes Polri tidak datang pada persidangan karena ia tidak mempunyai uang. Bahkan, Shn tidak didampingi penasehat hukum, dan hanya didampingi seorang penerjemah selama masa pemeriksaan. Rni malah membayar Rp10 juta utuk jasa pembela hukumnya, tapi pertemuan dengan pembela hukum tidak intensif.
Posisi perempuan tersangka pengedaran narkotika memang lemah. Bagi aparat penegak hukum, kiranya perlu direnungkan, apakah hukuman mati bagi perempuan yang sesungguhnya korban dan bukan penjahat sebenarnya, akan efektif sebagai hukuman penjera. "Kami akan mengirimkan hasil penelitian kami ke instansi terkait, termasuk ke presiden, untuk dijadikan pertimbangan," ujar Firliana Purwanti, peneliti PKWJ.
Tampaknya,  perlu dikaji apakah para perempuan itu memang menjadi bagian dari perdagangan perempuan. Masalahnya, apakah perempuan itu melakukan perintah atas dasar sukarela atau karena tekanan? Tidak mudah memang, karena ada kasus yang di daerah abu-abu (grey area). Dari penelitian PKWJ sendiri, ternyata ada perempuan yang menjadi bagian dari mafia narkotika secara sukarela.
Namun, yang patut menjadi perhatian adalah modus operandi penggunaan perempuan dalam jaringan narkotika internasional. Perempuan mulai direkrut sebagai pembawa narkotika karena adanya stereotipe di masyarakat bahwa terkait dengan seksualitasnya, perempuan cenderung tidak dicurigai ketika membawa barang-barang illegal.
Jika tidak ingin ada perempuan lain yang dihukum mati gara-gara menjadi pengedar narkotika, kiranya perlu ada kampanye agar perempuan muda tidak mudah terjebak dalam jaringan narkotika. Tidak mustahil, perempuan yang tertangkap itu justru korban dan menjadi bagian dari mata rantai mafia narkotika internasional.
Selain itu, perlu ada kesadaran dari perempuan untuk tidak mudah begitu saja percaya kepada orang yang baru dikenalnya. Apalagi mimpi jadi kaya raya dengan menjadi penyelundup narkotika. Mau kaya ternyata cuma khayalan, eh akhirnya hidup di 'hotel prodeo'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar