11 Mei 2016

Buah Naga Afkiran Bisa Menjadi “Minaga”


WARJIMIN  menunjukkan salah satu hasil produksi UKM yang diberi nama "Minaga".*
TOK SUWARTO/PRLM
WARJIMIN menunjukkan salah satu hasil produksi UKM yang diberi nama "Minaga".*
Buah hasil panen para petani, tidak selamanya bisa terjual habis. Begitu pula dengan buah naga hasil panen para petani di wilayah Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang sebagian besar juga tidak laku dengan berbagai sebab.
Warjimin, seorang karyawan Dinas Pertanian Kab. Sragen, yang tinggal di Desa Prampalan, Kec.Masaran, Sragen, merasa prihatin menyaksikan banyak buah naga akhirnya membusuk karena tidak terjual. Sehingga pada 2006 lalu dia berpikir, dapatkah buah naga afkiran itu dimanfaatkan untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi.
"Saya dan para petani prihatin, karena setiap musim panen buah naga antara bulan November-Desember, banyak buah terpaksa dibuang karena tidak laku dijual. Padahal buah naga jenis super red yang warnanya merah menyala dan dagingnya juga merah, mengandung banyak zat yang bermanfaat untuk kesehatan," ujar Warjimin.
Buah naga yang ditolak para pedagang, menurut Warjimin, adalah buah yang beratnya per biji kurang dari dua ons dan yang lebih dari dua ons. Itu berarti banyak sekali buah yang akhirnya hanya dibiarkan membusuk dan nyaris mematahkan semangat para petani yang sedang demam budidaya buah naga yang sudah berhasil baik.
Dalam situasi itulah, Warjimin didukung kelompok tani buah naga mencoba mengolah buah naga menjadi minuman segar, sirop, selai, manisan dan lain-lain. Upaya terus-menerus tak mengenal putus asa itu akhirnya berhasil, walaupun masih jauh dari sempurna.
Hasil olahan buah naga afkiran itupun akhirnya diterima konsumen. Buah naga yang awalnya hanya membusuk di pekarangan rumah, sedikit demi sedikit mulai memberi nilai tambah.
Melalui proses cukup panjang, hasil olahan para petani itu pun semakin baik dengan kemasan menarik. Itu terjadi setelah seorang pakar gizi dari Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (FP-UNS) Solo, Prof. Dr. Sri Handayani memberikan bimbingan teknis langsung kepada petani. Bimbingan itu juga didukung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS berupa teknis pengemasan, pemberian bantuan peralatan untuk tutup botol ulir dan lain-lain.
"Awalnya buah naga yang kami olah hanya buah sisa yang tidak laku, sehari hanya mengolah 5 - 6 Kg. Daging buahnya kami buat sirop segar atau sirop fermentasi dengan kadar alkohol rendah layak konsumsi.Ampasnya dibuat selai, kulit buahnya untuk manisan dan airnya diolah menjadi minuman segar. Pokoknya tidak ada bagian buah naga yang
terbuang," kata Warjimin menandaskan.
Setelah hasil produksinya semakin baik, setahun kemudian sejak rintisan mengolah buah naga, atau tepatnya tahun 2007, Warjimin mendirikan badan usaha Koperasi Wana Bekti Handayani dan CV Wahana Bekti Handayani. Badan usaha tersebut sebagai penampung dan pengolah buah naga, serta memasarkan hasil produksinya, terutama pemanfaatan buah naga super red yang nilai ekonomis dan khasiatnya untuk kesehatan sangat tinggi.
Saat ini hasil produksi CV Wahana Bekti Handayani di antaranya berupa minuman segar buah naga dalam kemasan gelas, sirop segar, sirop fermentasi, selai dan manisan, dengan nama “Minaga”. Warjimin mengakui, harga jual minuman segar buah naga masih relatif mahal, yakni Rp 700,00 per gelas. Hal itu karena usaha kecil menengah tersebut belum mampu memproduksi secara masal.
"Kalau sudah diproduksi massal paling harganya Rp 300,00 per gelas sehingga dapat bersaing. Tapi kalau sirop fermentasi harganya tetap tinggi, yaitu Rp 150.000,00 per botol karena memerlukam proses lama," jelasnya lagi.
Namun dia menyatakan, sirop buah naga yang segar maupun fermentasi memiliki khasiat tinggi bagi kesehatan, karena mengandung zat antioksidan. Dia berani menjamin khasiat itu, karena katanya sudah melalui uji laboratorium.
Dewasa ini Koperasi Wana Bekti Handayani mengembangkan budidaya dan pengolahan tiga varietas buah naga, yaitu buah “Naga Warna”, “Handayani” dan “Mahardika”. Buah naga tersebut ditanam di lahan seluas 3 Ha milik Koperasi Wana Bekti Handayani dan 4 Ha milik para petani anggota koperasi. Pada tahun pertama masa panen yang biasanya
panen setahun sekali, setiap batang tanaman buah naga dari empat batang tiap pancang, dapat menghasilkan buah minimal satu kilogram.
“Harga buah naga segar jenis super red mencapai Rp 8.000,00 per Kg, Harga jualnya memang cukup tinggi, tetapi investasi untuk budidaya buah naga juga relative besar, per hektar bisa sampai Rp 250 juta. Investasi itu selain untuk biaya bibit, pupuk, ongkos tenaga kerja, biaya pembuatan pancang Rp 40.000,00 per buah dan yang paling besar
untuk lahan,” tutur Warjimin lagi.
Kendati demikian, Warjimin optimis masa depan budidaya buah naga dengan pengolahannya cukup cerah. Bahkan, petani daerah lain terutama luar Jawa, memesan banyak bibit. Bengkulu, misalnya, memesan 10.000 batang bibit yang sudah siap kirim untuk dibudidayakan di sana (PRLM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar