11 Mei 2014

Ciu Made in Bekonang

Mendengar kata Bekonang beberapa orang selalu mengidentikkan dengan keberadaan ciu yang sudah terkenal seantero Indonesia dan diburu oleh anak muda gahul tak terarah #halah. Bekonang merupakan sebuah kecamatan yang terletak di kabupaten Sukoharjo, dimana banyak terdapat sentra industri kecil seperti gamelan, kain toletan, karak ( kerupuk beras ), genteng tanah liat dan tentu saja ciu. Ada kalangan tertentu yang menyalahgunakan keberadaan ciu, sehingga tak jarang sosok ciu dianggap sebagai hal yang tabu dan negatif. Pencitraan yang dilakukan ciu tidak mungkin membuahkan hasil yang lebih baik, hanya ada kesan negatif dan negatif.

Saya pribadi sudah mengenal ciu semenjak masih kecil, bukan sebagai peminum melainkan mengenalnya sebagai salah satu bagian dari tradisi. Ciu digunakan sebagai salah satu sesaji untuk sembahyang para leluhur. Selain memberikan sesaji berupa buah-buahan dan makanan kecil, keluarga saya juga menyajikan ciu di beberapa cangkir kecil untuk diletakkan di meja altar sembahyang. Pernah suatu hari saya iseng mencoba rasa dari ciu, hanya ada rasa sangat panas di tenggorokan saat meneguknya, perut langsung terasa panas dan bengah.
salah satu rumah produksi ciu
salah satu rumah produksi ciu
Beberapa waktu lalu saya dan beberapa teman berkesempatan melihat langsung salah satu sentra industri ciu di Bekonang. Drum-drum plastik berukuran besar tertata rapi di pabrik sederhana binaan Bu Sutinah. Beliau bercerita bahwa pada awalnya ciu digunakan sebagai penghangat tubuh saja. Campuran tetes tebu, air dan limbah atau yeast ( bakteri fermentasi ) menghasilkan sebuah cairan terfermentasi yang kemudian disebut ciu. Ciu Bekonang merupakan sejenis minuman keras yang konon sudah ada sejak zaman kerajaan. Bahan dasar tebu tak lepas dari keberadaan perkebunan tebu milik Mangkunegaran yang menjadi bahan pokok pabrik gula Tasik Madu. Dulu perkebunan tebu banyak dijumpai di daerah Palur, Karanganyar, sekarang perkebunan itu sudah tertutup oleh kompleks perumahan dan persawahan seiring dengan tutupnya pabrik Tasik Madu dan Colo Madu.
Bu Sutinah, salah satu pemilik sentra industri ciu
Bu Sutinah, salah satu pemilik sentra industri ciu
Bu Sutinah mengisahkan bahwa ciu sudah menjadi barang terlarang sejak zaman Belanda berkuasa, dimana kondisi ini dipicu oleh turunnya omset penjualan minuman alkohol buatan barat. Petinggi kerajaan dan rakyat menengah lebih memilih ciu yang lebih murah harganya untuk dikonsumsi. Rumah produksi ciu harus diam-diam mengolahnya agar tidak tertangkap. Tetes tebu disuling dengan kuali terbuat dari tanah liat yang dimodifikasi ala kadarnya, kemudian disembunyikan di dalam tanah sampai proses fermentasi selesai. Kuali berisi cairan yang sudah siap dikonsumsi, dibawa ke kota dan dijual per slot atau satu cangkir kecil. Berbeda dengan pemuda gahul zaman sekarang yang menegak ciu langsung dari botol atau bahkan dicampur minuman berenergi yang akhirnya mengakibatkan kematian dan muncul di headline media cetak “Ditemukan seorang pemuda tewas setelah minum oplosan.” Hadehh…
Limbah yang digunakan oleh beberapa rumah produksi di Dukuh Sentul tidak pernah diketahui dari mana asalnya. Mereka menggunakan materi yeast yang sama selama ratusan tahun, mengolah dengan cara yang sudah diajarkan turun-temurun. Jika salah satu rumah mengalami gagal produksi dan kehilangan seluruh yeast-nya, mereka akan meminta rumah sebelah, begitu pula sebaliknya. Cara sederhana yang justru membuat yeast bertahan selama ratusan tahun dan seharusnya digolongkan sebagai cagar budaya, right? :-D
drum berisi adonan terfermentasi
drum berisi adonan terfermentasi
alat penyulingan sederhana
alat penyulingan sederhana
Proses fermentasi yang dilakukan selama tujuh hari menghasilkan ciu beralkohol 12% yang kemudian digunakan untuk konsumsi. Selama tujuh hari, adonan akan sedikit bereaksi dengan mengeluarkan suara bergemuruh disertai letupan kecil mencuat di permukaan. Mendengar langsung gemuruh adonan di dalam drum-drum membuat saya semakin kagum dengan kegigihan hidup si bakteri.
Adonan yang didiamkan selama sembilan hari dan kemudian disuling kembali menghasilkan kadar alkohol yang lebih tinggi, yaitu 85% yang kemudian dijual sebagai alkohol ( obat ) seharga 20.000/ liter di apotik. Efek panas dari ciu juga dimanfaatkan sebagai campuran obat gosok seperti bisa dijumpai di beberapa toko obat Sinsei ( pengobatan tradisional ). Bahkan ada pabrik rokok yang membutuhkan olahan ciu dari Bekonang. Olesan alkohol konon membuat daun tembakau tidak terlalu lepek selama proses pengeringan untuk kemudian diolah jadi bahan baku rokok. Tentu saja tidak pernah ada tulisan komposisi alkohol sekian persen tertera di kemasan rokok kan? #ups
kayu bakar
kayu bakar
Perjalanan produksi ciu sampai sekarang tidak pernah berjalan mulus, banyak pertentangan dari pihak tertentu yang membuat mereka harus merogoh kocek untuk membayar sekian rupiah setiap bulannya. Ada narasumber yang mengatakan banyak pemilik rumah produksi rutin ditodong oleh badan keamanan setempat. Pembuangan limbah produksi yang tak terpakai dan pembuangan berliter-liter produksi gagal di area tertentu harus mendapat izin dari pihak kepolisian dan tentu saja setelah proses pembuangan selesai mereka meminta amplop ( baca : uang tutup mulut ). Di lain waktu mereka juga meminta uang yang lain sebagai bentuk ucapan terima kasih atas upaya penyelamatan razia minuman keras di Sukoharjo. Padahal rumah-rumah produksi ini sudah diakui pemerintah daerah Sukoharjo sebagai salah satu sumber utama pendapatan daerah. Mereka ditarik biaya sekian juta terkait dengan SIUP yang sudah mereka miliki. Ada yang masih bertahan dengan warisan turun-temurun tersebut, ada pula yang memutuskan menutup usahanya karena tidak mampu lagi membayar biaya yang melebihi keuntungannya. Siapa yang harus disalahkan?
Lepas dari efek memabukkan, sentra industri ciu justru banyak diminati oleh wisatawan asing yang hendak menuju Tawangmangu. Mereka menganggap proses penyulingan ciu ini keren ibarat turis Indonesia yang bertandang ke negeri barat yang mengagumi proses pembuatan wine. Sayangnya pandangan beberapa masyarakat lokal sendiri hanya memandang segi negatif ciu tanpa melihat sejarah, potensi wisata dan manfaat lain di bidang kedokteran. (jejak-bocahilang.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar