Dari Kapten James Cook sampai Shaggy Dog memuji tradisi minuman memabukkan di Nusantara.
17 September 1770. Awak kapal “Endeavour” girang sumringah. Di ujung
pandangan menyembul sosok pulau kecil permai. Sudah lama mereka menanam
harap bersua pulau semacam Tahiti, daratan indah dan subur yang mereka
tinggalkan setahun sebelumnya.
Letnan Satu James Cook, sang kapten, jauh lebih girang. Tak tercantum
Pulau Sawu dalam peta pelayaran kapal Endeavour. Kalau benar itu pulau
baru, akan menambah panjang daftar daratan temuan Cook. Sejak melepas
sauh dari Pantai Britania 27 Mei 1768, mereka telah menemukan Tahiti
serta Selandia Baru. Temuan terbesarnya adalah Australia pada April
1970.
Raja George III yang mengirim Endeavour. Misinya sampai di Tahiti
sebelum bulan Juni 1969 untuk meneliti fenomena astronomi Transit of
Venus. Mencari ukuran tata surya adalah kepingan puzzle yang paling
membuat penasaran dunia pengetahuan abad ke-18. Ketika itu baru
diketahui ada enam planet yang mengitari matahari -Uranus, Neptunus dan
Pluto belum ditemukan.
Para astronom sudah bisa memperkirakan berapa jarak masing-masing
planet. Jupiter, misalnya, lima kali lebih jauh dari matahari kalau
dibandingkan dengan Bumi. Tapi berapa mil jarak persisnya, jawaban
absolutnya masih misteri.
Venus adalah kunci. Itu kesimpulan Edmun Halley di tahun 1716. Pada
waktu tertentu, dari Bumi terlihat Venus melewati wajah matahari. Planet
itu terlihat seperti cakram hitam pekat yang gemulai melewati bintik
sang surya. Halley menduga dengan mencatat interval persinggahan Venus
di wajah matahari dari sebuah titik di Bumi, dapat dihitung jarak Bumi
dengan Venus. Alat hitungnya prinsip paralaks. Bila angkanya didapat,
maka sisa teka-teki jarak dalam tata surya menyusul terjawab.
Masalahmya, Transit of Venus sangat jarang. Terjadi setiap 120 tahun.
Halley sendiri pasti tidak sempat melihatnya. Sempat sejumlah astronom
mencatat gerakan Venus di tahun 1761, tapi cuaca merampas sebagian besar
data perolehan mereka. Kalau Cook gagal di tahun 1769, maka semua
astronom ketika itu tidak akan bisa menunggu kesempatan selanjutnya
yakni tahun 1874.
Ekspedisi Cook seolah misi luar angkasa. Tak hanya itu. Di kapal itu
membonceng sejumlah orang sipil yang dipimpin Joseph Banks. Pria 25
tahun ini kaya raya, kegemarannya menyelidiki alam. Dengan antusiasme
Abad Pencerahan, Banks dan anak buahnya mengumpulkan dan mendokumentasi
temuan tumbuhan baru serta binatang selama pelayaran. Mereka juga
mencatat situasi antropologis dan budaya yang mereka temui.
Setelah mengitari Australia, Endeavour melanjutkan muhibah ke arah
barat. Di bulan Juni, Endeavour sempat mengurangi 50 ton muatan untuk
menambal bocor lambung kapal yang mencium karang. Papua Nugini sudah
mereka singgahi, tapi mereka belum mendapat cadangan makanan baru.
Awak kapal mulai terserang penyakit. Tubuh manusia hanya mampu
menyimpan kebutuhan vitamin C selama enam minggu. Awak Endeavour menjadi
kelinci percobaan Angkatan Laut Inggris dalam melawan momok hidup lama
di laut: kudis, sariawan dan pendarahan – yang membuat kapal-kapal di
abad ke-18 kehilangan separuh awaknya. Cook membawa sejumlah makanan
percobaan seperti acar kubis dan rendaman kecambah gandum. Bila ada awak
kapal yang menolak, dicambuk.
Selama empat bulan di laut, awak Endeavour merindu makanan segar.
Savu, begitu Cook menyebut gugusan di Nusa Tenggara Timur itu terlihat
dipenuhi pohon lontar dan kelapa. Endeavour melempar sauh di pantai
utara Pulau Sawu. Tak lama kapal itu disergap perahu berisi sekitar 20
lelaki bersenjata parang. Cook diajak menghadap Ama Doko Lomi Djara,
penguasa Seba, salah satu dari lima kerajaan di Sawu.
Bukan perlakukan kasar yang mereka terima di daratan. Cook dan
sejumlah awak penting Endeavour justru dijamu makan Ama Doko. Sajiannya
daging kambing bakar dan minuman keras berasa manis yang mengalir tiada
henti. Minuman itu dideres dari pohon jangkung yang memenuhi daratan
awu. Cook mulai doyan rasa tuak lontar.
“Air itu manis, segar dan rasanya aneh,” tulis Cook dalam catatan perjalanannya.
Ternyata kerajaan di Sawu sudah mengikat perdagangan dengan VOC. Ada
Christian Joseph Lange, wakil perdagangan VOC yang sudah tinggal di Sawu
sejak tahun 1956. Keberadaan Lange akan menghambat usaha Cook untuk
membeli kebutuhan kapalnya di Sawu.
Cook seorang petualang sekaligus diplomat ulung. Dia paham membalas
penyambutan yang meriah itu dengan elegan, sekaligus mengurangi
intervensi Lange dalam urusan jual beli dengan orang Sawu. Cook
menghadiahkan Raja Ama seekor biri-biri Inggris, satu-satunya sisa
cadangan hewan potong di Endeavour. Awak Endeavour pun bisa membeli
sejumlah kambing, babi, kerbau dan unggas dari penduduk. Cook memimpin
pembelian ini dengan gaya diplomat dan amat mengesankan penduduk
setempat.
Dimana-mana, awak Endavour mendapat suguhan tuak. Minuman nikmat yang
mudah diambil dari alam Pulau Sawu. “Dengan memotong ujung dahan
berbunga, lalu menempatkan wadah daun lontar kecil untuk menampung
tetesan yang akan dikumpulkan oleh pemanjat setiap pagi dan sore,” tulis
Cook tentang cara orang Sawu mengambil tuak.
Hari berikutnya lagi-lagi Cook dijamu masyarakat Sawu. Rombongan
duduk bersila di atas tikar, menghadap 36 sajian lezat yang
sampai-sampai tak sanggup mereka habiskan.
Selama tiga hari berinteraksi, Cook menyadari peran penting pohon
lontar dalam kehidupan masyarakat Sawu. Sydney Parkinson merasakan hal
sama. Dia pelukis yang mendokumentasikan muhibah Cook dari tahun
1768-1771. Selama di Sawu, Parkinson menggoreskan sketsa sebuah rumah
kepala desa. Di belakang rumah, seorang pria bertelanjang dada memanjat
pohon lontar, menyandang dua wadah bundar untuk menampung hasil deresan
nira.
Di bawah sketsanya, Parkinson menulis: “A chief house in Savu, near Timor”.
Diplomasi yang diwarnai nikmatnya menenggak tuak membuat Cook
berhasil membeli bahan pangan dan ternak yang dibutuhkannya. Meski tidak
bisa mengklaim diri sebagai penemu pulau Sawu, Endeavour sukses
bermuhibah ke arah barat, menepi di Batavia pada 11 Oktober. Untung saja
di Sawu Cook mampir minum.
***
“Urip mung mampir ngombe, karena itu kita suka minum,” kata Heru.
Heru anak Jogjakarta. Bisa banyak interpretasi dari idiom yang
diucapkan vokalis band Shaggy Dog itu. Idiom itu menggambarkan
kesederhanaan cara pandang orang Jawa terhadap hidup yang laksana
singgah di warung minum. Karenanya persinggahan itu harus dijalani
dengan kepasrahan, sebelum melanjut ke perjalanan berikut.
Shaggy Dog memainkan musik ska yang berfusi dengan reggae, rock and
roll, dan jazz. Sempat banyak band ska yang mencuat sejak aliran ini
trend di tahun 1997. Tapi tak banyak yang ‘mampir’ di blantika musik
nasional selama Shaggy Dog. Mereka sudah menelurkan tiga album, dan
beberapa kali masuk dalam album kompilasi. Hampir selalu Shaggy Dog
menjadi band di penghujung gig ska atau reggae. Itu menandakan peringkat
daya tarik mereka. Belum lama, anak-anak Shaggy Dog menggelar tur ke
Belanda untuk kedua kalinya.
Bila hidup adalah mampir minum, lewat lagu Di Sayidan, Shaggy Dog mengajak mampir ke sebuah kawasan di Jogjakarta.
Bila kau datang dari selatan
Langsung saja menuju Gondomanan
Belok kanan sebelum perempatan
Teman-teman riang menunggu di Sayidan
Begitu petunjuk Shaggy Dog dalam Di Sayidan, lagu pamungkas mereka
dari album “Shaggy Dog” yang dirilis tahun 2000. Lagu itu telah menjadi
anthem, yang wajib mereka mainkan di panggung. “Dari Aceh sampai Papua
tahu lagu itu,” kata Heru.
Relasi awal mereka adalah “teman minum”, bersama mereka banyak
membunuh waktu di Sayidan. Tak ada yang istimewa dengan kampung di
bantaran Kali Code itu. Gangnya sempit, mayoritas penghuninya bekerja di
sektor informal. Sayidan jadi tersohor berkat Shaggy Dog. Kampung itu
pun sering kebanjiran musafir dari lain kota. Kalau tidak bisa bertemu
dengan anak-anak Shaggy Dog, para pendatang cukup puas bisa mencicipi
air kedamaian yang disebut dalam Di Sayidan.
Mari… Sini… berkumpul kawan
Dansa… Dansa… sambil tertawa
Di Sayidan, di jalanan
Angkat sekali lagi gelasmu kawan
Di Sayidan, di jalanan
Tuangkan air perdamaian
Air perdamaian yang mereka maksud adalah lapen, minuman beralkohol
khas Jogja. Lirik awal Di Sayidan yang ditulis Bandizt, sang pembetot
bass, sebenarnya menceritakan kandungan lapen. “Lirik awalnya itu,
‘Diramu dari buah-buahan, dijadikan minuman, untuk mabuk-mabukan.’
Hardcore banget,” kata Heru tertawa.
“Kenapa diubah?” tanya saya.
“Aku edit, diperhalus untuk tujuan yang sama, supaya bisa menembus mainstream,” balas Heru.
Bagi saya Di Sayidan punya semangat yang sama dengan Gaudeaumus, lagu
civitas academica atau Lisoi milik masyarakat Batak Toba. Gaudeaumus
adalah drinking song, mengajak menikmati hidup, selagi muda.
Jangan kau takut pada gelap malam
Bulan dan bintang semuanya teman
Tembok tua tikus-tikus liar
Iringi langkah kita menembus malam
Shaggy Dog punya peran membuat lapen tersohor sampai ke luar Jogja.
Di kalangan tertentu, lapen jadi oleh-oleh yang wajib dibawa dari kota
gudeg, bukan bakpia pathok.
Tak sulit mencari lapen, penjualnya menyebar di penjuru Jogja.
Rasanya beragam, ada strawberry, mocca dan mint. Di daerah terban ada
angkringan lapen “melon chaos.” Dari namanya sudah jelas rasanya. Di
Sosrowijayan ada lapen rasa kopi, persis kahlua. Kahlua brand ternama
untuk likor yang dibuat dari kopi Meksiko terbaik, alkohol tebu dan
vanila. Ada juga lapen yang dicampur telur dan jamu penambah tenaga.
“Bisa bikin ereksi sampai pagi.” Heru tertawa.
Karena berasa buah, lapen mudah dinikmati. “Rasanya nggak begitu
keras, sesuai dengan makanan Jogja yang manis, pas buat sambil ngobrol,”
kata Heru.
“Dan murah,” timpal saya.
“Ya murah. Tapi ngantem dari belakang,” kata Heru.
‘Belakang’ maksud Heru adalah tengkuk, bagian tubuh yang akan terasa terjotos kalau tak mawas diri menenggak lapen.
Efek lapen memang menjotos. Tapi jotosan itu menjadi berkah bagi
Sakti Darwinto, penjual lapen di Sayidan yang menjadi tongkrongan
anak-anak Shaggy Dog. “Sekarang Pak Seti jadi lebih kaya dari kita,”
canda Heru.
Seti panggilan akrab Sakti. Dia mulai menjaja lapen sejak tahun 2000.
“Awalnya saya cuma ikut-ikutan, diajak teman. Tapi setelah pikir-pikir,
saya ingin buka sendiri,” terang Seti.
Lokasi warung Seti di Jl. Brigjen Katamso, di depan SMP Maria
Immaculata. Lalu lintas Brigjen Katamso cukup padat, arah selatan menuju
pantai Parangtritis, ke utara pusat kota.
Awalnya Seti menjual paling banter 10-20 liter per malam. “Dalam
waktu setahun lagu Shaggy Dog terkenal, teman-teman mereka pindah
nongkrong ke tempat saya. Dari luar kota juga banyak yang datang,” kata
Seti.
“Sejak lagu Di Sayidan ngetop, sehari berapa liter terjual?” tanya saya.
“Bisa 30 liter, kalau malam minggu 60 liter,” jawab Seti.
Seti menjual lapen Rp 10.000 per liter. “Kalau teman lama Rp 8.000,” kata dia.
Seti menganggap semua pelanggannya sebagai teman, bedanya pada teman
lama atau teman baru. Usianya 47 tahun, tapi lancar bersenda gurau
dengan pengunjung yang rata-rata bersebaya dengan anaknya. Tubuhnya
tegap, rambutnya cepak. Di siang hari Seti berprofesi sebagai petugas
keamanan di pertokoan.
“Lapen dibuat sendiri? Apa bahannya?”
“Alkohol 96 persen dengan CMC. Semuanya yang kualitas nomor satu,” kata pria 47 tahun itu.
“CMC?” Saya menimpali.
“Itu bahan untuk bikin roti, untuk mengentalkan adonan. Semua bahan
direbus sampai mendidih, dibiarkan dingin sampai seharian, terus
dicampur dengan esens,” terang Sakti.
Dulu Seti memakai beragam esens, rasa mocca, melon, strawberry dan
menthol. Dia juga menjual lapen jamu yang menurut Heru bisa membuat
ereksi sampai pagi. “Saya pakai jamu produksi Cilacap, namanya serbuk
super. Tapi sekarang cuma jual yang rasa mocca,” kata Seti.
“Kenapa cuma mocca?” tanya saya.
“Tahu suasana lah, istilahnya sekarang ini sedang gerobyok. Tempat
saya bisa digaruk, kadang-kadang yang minum kena juga. Sekarang nggak
ada yang nongkrong, saya larang.”
“Kalau mau beli lapen?”
“Beli di rumah saya, tapi nggak minum di warung,” kata Seti.
Sejak awal tahun 2005, Pemerintah Kota Jogjakarta memberlakukan Perda
anti penyakit masyarakat (pekat). Akibat perda itu warung lapen kerap
dirazia. Kini di warungnya Seti menjajakan menu tongseng, ayam bakar,
pecel lele dan mie goreng.
Penjual lapen lain berdagang sembunyi-sembunyi. Tapi warung lapen di
Pajeksan, jalan yang bersiku dengan Jl Malioboro, seperti tak
terpengaruh. Sebuah plang tripleks menerangkan jam operasinya: “Buka
18.00-23.00.” Saya datang sekira pukul 23.00, masih ramai anak muda
nongkrong di sana.
Sesekali membuncah tawa meriah. Mereka duduk berkelompok, sebagian di
atas tikar yang digelar di emperan toko. Sebagian lagi di kursi kayu
panjang yang disusun di mulut sebuah gang. Di mulut gang itu ada sebuah
meja kecil untuk kasir, lebih ke dalam lagi ada dua lemari. Tak terlalu
besar ukurannya, di raknya tersusun sejumlah sloki, ceret dan bungkusan
plastik menampung cairan berwarna coklat serupa teh dan merah jambu.
Masing-masing bervolume 1 liter. Untuk pembeli yang tak ingin minum di
tempat. Inilah warung lapen paling legendaris di Jogja.
Dasmadi yang biasa disapa Jas memulai sejarah lapen 12 tahun silam.
Pada masa itu, dia termasuk punggawa Komunitas Pemusik Jalanan Malioboro
(KPJM). Menjelang dini hari, para pengamen Malioboro biasa nongkrong di
emperan toko.
“Dulu Malioboro nggak tidur, Mas. Sekarang padat karena mobil.
Pengamen yang menjaga Malioboro tetap aman, jalan kaki jam tiga pagi
juga aman,” kata Jas.
Sembari ngobrol, para penjaga Malioboro menenggak aneka minuman, dari jamu pelepas lelah sampai yang beralkohol.
“Lama-lama kepikiran gawe ndiri wae. Coba-coba nyampur minuman, dan teman-teman bilang enak. Coba didol wae,” kata Jas.
Menurut Jas, pada prinsipnya lapen adalah jamu. Bahan-bahan seperti
daun ketela, adas kulowaras (sejenis akar-akaran), dan beberapa
rempah-rempah lain ditumbuk dan dicampur. Lalu difermentasi dengan rasa.
“Jadi sebenarnya ini jamu anak muda, tapi ada penghangatnya,” kata Jas.
“Alkoholnya jadi berapa persen?”
“Di sini alkoholnya biasa-biasa saja, 12-15 persen. Tapi kalau diminum lebih dari target pasti mabuk,” kata dia.
Jas berkongsi dengan lima kawannya. Tujuan awalnya untuk membiayai
komunitas, kalau ada untung sedikit baru dibagi. Air kedamaian itu
dijual dari tangan ke tangan. Permintaan semakin banyak, Jas dan
teman-temannya perlu tempat tetap. Sebuah mulut gang di Pajeksan
dipilih. Pelan tapi pasti, warung lapen Jas kian tersohor. Warung-warung
lapen lain bermunculan di Jogja.
“Tapi massanya beda-beda,” kata Jas. “Kalau di sini kebanyakan anak muda, terutama yang bergerak di kesenian.”
Kata Jas, kalau pun tak minum, banyak yang datang ke Pajeksan untuk
bertemu komunitas seni di Jogja. Tidak hanya para pemusik, tapi juga
penari, pelukis dan pemain teater. “Biasanya kalau mau ada acara,
menyebarkan undangan dari sini. Kalau mau lihat akan ada apa acara
kesenian di Jogja, poster dan pamflet selalu penuh di sini. Banyak
seniman dari luar kota selalu mampir ke sini kalau ke Jogja,” kata Jas.
“Siapa saja?” tanya saya.
“Sawung Jabo, Oppie Andaresta. Mereka kalau ke Jogja pasti main ke
sini, silaturami. Sudah ada empat generasi seniman yang suka nongkrong
di sini,” kata Jas.
“Empat generasi?”
“Yang pertama itu generasinya Umbu. Lalu Jabo, Sapto Raharjo, Djaduk
(Ferianto) dan Butet (Kertaredjasa), lalu generasi Oppie. Berikutnya
generasi Duta (Sheila on 7) dan Heru (Shaggy Dog),” kata Jas.
Umbu Landu Paranggi dijuluki “Presiden Malioboro.” Lewat Persada
Studi Klub (PSK) yang dia dirikan tahun 1969, penyair yang kini
‘menyepi’ di Bali ini menjadi pengasah bakat sejumlah penyair Jogja
seperti Emha Ainun Najib dan Linus Suryadi AG. Di Bali, Umbu menjadi
guru bagi Oka Rusmini, Raudal Tanjung Banua, dan Tan Lioe Ie. Djaduk
Ferianto dan Butet Kertaredjasa adalah anak maestro tari Bagong
Kussudiardjo. Yang pertama menggeluti teater, sementara yang kedua
bergerak di musik alternatif. Sapto dikenal sebagai pemusik kontemporer
yang memadukan gamelan dengan elektronika. Pengasuh radio Geronimo Jogja
ini penggagas proyek Yogayakarta Gamelan Festival yang mempertemukan
seniman gamelan sedunia.
“Sekarang di Jogja penjual lapen sembunyi-sembunyi karena banyak
razia,” kata saya. “Tapi kenapa di sini aman-aman saja?”“Saya bisa
menjamin jangan sampai menimbulkan keresahan di lokasi. Kami bisa
bertahan di sini karena bisa menjaga tidak pernah ada keributan,” kata
Jas.
Pak Bejo membentak bininya
“hari ini sepi!
Mbok Bejo tak mau kalah
“anak-anak minta baju seragam!
Pak bejo juga:
“aku sudah keliling kota
aku sudah kerja keras
tapi kalah dengan bis kota
hari ini aku cuma dapat uang setoran
Mbok Bejo tak mau mendengar
Mbok Bejo tetap marah
Mbok Bejo terus ngomel!
Pak Bejo kesal
nyaut sarung kabur ke warung
nenggak ciu bekonang
minum segelas
malu segelas lagi
kemudian hanyut bersama gending sarung jagung
bersama Pak Kromo
bersama Pak Wiryo
bersama Pak Kerto
njoget tertawa mabuk
benak yang sumpek dikibaskan
lepas bebas
lupa anak
lupa utang
lupa sewa rumah
lupa bayaran sekolah
lepas bebas
lenggak-lenggok gumpalan awan
bersama bintang-bintang
ketika bulan miring
Pak Bejo mendengkur di depan pintu
sampai terang pagi
lalu istrinya melotot lagi
Wiji menulis puisi “Balada Pak Bejo” 10 tahun sebelum dia raib tak
tentu rimbanya. Pada kaki puisi itu, Wiji menulis: Solo, Juli 1988.
Hilangnya Wiji berkaitan dengan meningkatnya operasi pembersihan politik
aktivis antirezim orde baru pada tahun 1998.
Puisi Wiji tentang kemelut hidup Pak Bejo, yang perolehan rezekinya
dari menarik becak tak memuaskan istrinya. Pak Bejo lari dari lara,
melupakan penat hidup dengan bergelas-gelas ciu. Sejenak Pak Bejo ria.
Tapi begitu hari terang, kenyataan hidup kembali membangunkannya.
Jauh sebelum lapen dikenal, masyarakat Jawa Tengah punya ciu sebagai
tradisi minuman memabukkan. Wiji mengandengkan kata ciu dengan
“Bekonang,” yang merupakan sentra penghasil ciu di Kabupaten Sukoharjo.
Desa Bekonang tak jauh dari kota Solo. Jalanannya aspal mulus, sawah
masih menghampar luas. Di mulut sebuah jalan ada plang kayu. Pada baris
pertamanya tertulis: “Sentra Perusahaan Alkohol Desa Bekonang”. Hampir
semua pekarangan rumah di jalan itu dijemur tumpukan kayu kering.
Saya berhenti di sebuah bangunan berdinding bata tak berlapis semen.
Dari dalam bangunan yang penuh tong plastik setinggi satu meter, Andi
Sujadi menghampiri saya. Benar dugaan saya, bangunan itu pabrik ciu. Di
Minggu siang itu Andi tetap bekerja. Pemilik pabrik itu Sunaryo, tinggal
di bangunan berlantai dua di mulut jalan.
Andi mengajak saya masuk ke bagian terdalam pabrik, menunjukkan
tungku penyulingan yang diatasnya diletakkan dua tong penampung bahan
dasar ciu. Tong itu dihubungkan dengan tong lain dengan dua bambu
sepanjang tiga meter yang dilengkungkan. Bambu berdiameter 4 centimeter
itu menyalurkan ciu yang merupakan uap hasil pemanasan bahan dasar.
Ciu disuling dari tetes tebu ditambah badek dan air. Komposisinya,
kata Andi, untuk satu gentong bervolume 200 liter adalah tetes tebu 5
ember, badek 6 ember dan sisanya air.
Tetes atau ampas tebu adalah cairan kental sisa kristalisasi dari
pabrik gula. Badek adalah bibit fermentasi ciu yang diambil dari sisa
penyulingan ciu sebelumnya. Setelah diaduk, pada permukaan campuran
bahan dasar ciu akan keluar buih. “Campuran bahan dibiarkan sampai tujuh
hari sampai buih menghilang, baru siap dimasak,” kata Andi.
Buih ditimbulkan oleh badek. Bagi pembuat ciu, kalau badek habis atau
tak sanggup menghasilkan buih pada campuran bahan ciu, berarti produksi
mandek.
“Kalau habis?”
”Harus minta ke tetangga,” kata Andi.
Hasil sulingan tetes tebu biasanya mengandung alkohol 30-45 persen.
Produsen ciu di Bekonang umumnya juga memproduksi alkohol 90 persen.
“Alkohol itu campuran tetes tebu yang disuling dua kali. Setelah jadi
ciu, dimasak lagi, ditambah zat kimia kostik. Jadinya alkohol 90
persen,” kata Andi.
Dari 200 liter campuran bahan akan menghasilkan 30 liter ciu setelah
melewati tiga jam penyulingan. “Kalau tetesnya bagus uapnya keluar
cepat. Kalau jelek bisa empat jam baru selesai,” kata Andi.
Ciu paling jelek kandungan alkoholnya berkisar 25 persen. Hasil
sulingan ciu berwarna agak keruh. Setelah melewati saringan berlapis
pasir, kain, dan kapas, ciu menjadi bening. Setiap hari pabrik milik
Sunaryo menghasilkan rata-rata lima jerigen, sekitar 150 liter ciu.
Tradisi membuat ciu telah berlangsung ratusan tahun di Bekonang.
“Usaha ciu di sini turun temurun. Caranya masih sama, bedanya sekarang
tungku lebih besar dan pakai pompa untuk menyedot bahan dari tong ke
tungku. Jadi hasilnya bisa lebih banyak,” kata Andi.
“Tidak pernah dirazia polisi?” tanya saya.
“Polisi nggak berani ke sini. Pernah ada ciu yang diambil polisi.
Tapi orang-orang sini marah. Kalau mau ngambil jangan satu, tapi semua.”
***
Hampir dua setengah abad sejak persinggahan Cook, tuak masih menjadi
bagian penting dalam hidup sebagian penghuni Nusantara. Tak jauh dari
pulau Sawu, masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat, punya tradisi
cepung, seni membaca syair pantun yang didahului dengan minum tuak.
Dr Tilman Saebas dalam buku “The Music of Lombok” menyebut cepung
bentuk seni yang kompleks sebagai suatu ansamble musik atau nyanyian.
Cepung diperkirakan sublimasi dari upacara magis masyarakat Lombok
sebelum masuknya unsur kebudayaan Islam seperti India, Arab dan Persia.
Ada dugaan, cepung berakar dari Wayang Gemblung di Jawa Tengah yang
telah menyesuaikan diri dengan situasi setempat. Akulturasi terhadap
cepung sama seperti yang dialami tari Kecak dan Janger di Bali.
Cepung dimainkan enam orang. Ada pemakaian instrumen pengiring. Tapi
terbatas seperti redep (rebab) dan suling. Pemain menggunakan mulut
untuk menirutkan bunyi gong, gendang, kenceng dan rencik.
Pemain juga bertindak sebagai pembawa syair secara bersahutan yang
terdiri dari tiga orang. Dua orang memainkan alat musik, dan seorang
lagi melafalkan cerita monyen. Pemain musik vokal juga membaca syair
yang tidak terdapat dalam cerita monyen dengan gaya kocak dan mengundang
tawa penonton.
Monyen adalah cerita klasik berisi filsafat Islam, dikarang oleh Jero
Mehram pada 1859 untuk tujuan missi. Melalui cerita, Jero merasa ajaran
Islam lebih mudah merasuk ke hati masyarakat. Cepung dianggap sebagai
perkembangan dari pepaosan, pembacaan cerita lontar Monyen tapi hanya
dengan tembang.
Cepung pernah berkembang begitu pesat, tapi kini tidak banyak desa
yang masih menjalankan tradisi cepung. Pelaku setia cepung di antaranya
orang Desa Jagaraga, Kecamatan Kediri, Lombok Barat.
Sebagian besar pendukung seni cepung adalah mereka yang menganut
paham waktu telu. Paham ini berseberangan dengan golongan Islam yang
bertekad mendirikan perintah Islam yang murni yakni sholat lima waktu.
Paham waktu telu diperkirakan muncul sebagai bentuk kompromi para
pembawa Islam awal ke Lombok dengan budaya asli.
Kini gencar usaha melestarikan cepung tanpa mengaitkan seni itu
dengan minuman tuak. Argumentasinya, tuak tidak selalu menimbulkan
inspirasi atau perangsang penampilan seni karena seni bisa dibangun
dengan keterampilan teknis individu. Tanpa minum tuak pelaku tetap bisa
menampilkan cepung. Meskipun kini unsur minum tuak sudah berkurang, tapi
citra lama cepung sulit dihapuskan.
***
Putri si boru Sorbajati gundah gulana. Orang tuanya bersikeras
mengawinkan dia dengan dengan seorang lelaki cacat yang tidak dia sukai.
Sia-sia usaha si boru Sorbajati menolak. Dia meminta agar dibunyikan
gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap.
Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga
terbenam ke dalam tanah. Si boru Sorbajati menjelma tumbuh sebagai pohon
bagot atau pohon aren. Mitologi itu yang menjelaskan tuak dalam bahasa
Batak Toba disebut aek (air) Sorbajati.
Bunuh diri dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak
dimasukkan pada sajian untuk Dewata. Tuak hanya menjadi sajian untuk
roh-roh nenek moyang atau orang yang sudah meninggal. Pada masyarakat
Batak Toba, tuak menjadi minuman adat pada upacara manuan ompu dan
manulangi.
Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis
tumbuhan di atas tambak atau kuburan. Menurut aturan adat, air dan tuak
harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Inilah upacara manuan
ompu. Kebiasaan ini sudah tidak terlalu dijalankan saat ini, biasanya
yang dituangkan ke tambak hanya air.
Dalam upacara manulangi, para cucu memberikan makanan kepada
neneknya. Para penerus meminta restu, nasehat dan petunjuk pembagian
harta, disaksikan oleh pengetua adat. Makanan disajikan dengan air minum
serta tuak.
Tuak yang digunakan untuk adat adalah tuak manis atau tangkasan.
Dalam bahasa Batak Toba disebut tuak na tonggi. Dibandingkan dengan
penggunaan dalam adat, tuak lebih banyak menjadi minuman sehari-hari
kaum pria di pakter atau lapo tuak. Di Tanah Toba, biasanya kaum pria
mendatangi pakter selepas bekerja di ladang. Sambil menikmati tuak
mereka membaca koran, bermain catur atau menyanyi.
Tuak di pakter biasanya sudah dibenamkan raru, sejenis kulit kayu
yang mengakibatkan peragian. Raru akan meningkatkan kadar alkohol dan
mengurangi rasa manis tuak.
Penderes tuak disebut paragat yang berasal dari kata agat, pisau
khusus untuk menyadap tuak. Resep membuat tuak berbeda-beda pada setiap
paragat, dan bisa dikatakan ‘rahasia perusahaan’ yang diwariskan dari
orang tua. Maka tidak siapa sembarang bisa menjadi paragat.
***
Di Indonesia, tanaman aren (Arenga pinnata) dapat berproduksi baik di
daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 meter di atas
permukaan laut. Pada daerah yang ketinggiannya kurang dari 500 m dan
lebih dari 800 m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya
kurang memuaskan.
Dengan karakter itu, sangat wajar tuak menjadi minuman sehari-hari
orang dataran tinggi, seperti di tanah Minahasa. Mereka menyebut hasil
sadapan pohon enau sebagai saguer. Sigar Mandey, seorang petani di desa
Tinoor, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Tomohon sejak remaja hidup dari
pohon saguer. Kini usianya 54 tahun. Sigar menjual saguer di warung
istrinya di pinggir jalan raya Pineleng. Warung-warung makan Minahasa
pada umumnya menjual saguer. Banyak yang percaya minum saguer sebelum
makan, dapat mendongkrak selera.
Tapi di Minahasa, lima persen kandungan alkohol pada saguer tidak
cukup. Cairan ini disuling lagi menjadi cap tikus. Sejak lima tahun lalu
Sigar mengolah saguer menjadi cap tikus.
Satu seloki cap tikus tambah darah.
Minum dua seloki masuk penjara.
Tiga seloki bakal ke neraka.
Kalimat itu kerap diucapkan petani di Minahasa. Petani biasa meminum
satu seloki cap tikus sebelum berangkat ke ladang untuk memompa semangat
kerja. Bertambahnya seloki cap tikus yang ditenggak berarti
bertambahnya tanda bahaya. Mereka tidak bercanda. Kadar alkohol cap
tikus berkisar 40 sampai 75 persen. Makin bagus sistem penyulingannya,
serta semakin lama disimpan, kadar alkohol cap tikus semakin tinggi.
“Cap tikus yang bagus kalau dibakar (nyala) apinya biru,” kata Sigar.
Sigar membuat cap tikus di sebuah kebun aren milik kerabatnya. Kebun
itu di sebuah lembah terjal, karakter kontur tanah yang mendukung
pertumbuhan pohon aren. Sigar juga punya beberapa pohon aren di
kebunnya. Tapi dia harus mencari pohon lain untuk dideres. Karena pohon
aren tidak mengeluarkan saguer sepanjang tahun, tapi hanya yang sedang
membuahkan mayang muda.
Untuk menders saguer, Sigar memanjat pohon enau dengan bantuan
tangga. Secara hati hati dia kupas seludang pembungkus tongkol mayang.
Bagian tongkol itu selanjutnya dia pukul-pukul dan elus dengan penuh
perasaan. “Pohon ini harus disayang, kalau tidak saguer tidak lancar
keluar,” kata Sigar.
Ketika buah mayang mulai matang dalam proses penyadapan, ujung
tongkol bagian bawah ditakik atau dilubangi sedikit dengan pisau dan
kemudian dibungkus daun. Bila setelah 3-4 hari kemudian terlihat
rembesan cairan putih dari takikan tersebut, berarti proses penyadapan
berhasil. Sebaliknya, berarti gagal kalau lubang takikan terus
mengering.
Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol.
Kadar alkohol yang dikandung saguer tergantung pada cara menuai dan
penggunaan penampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau.
Semakin asam saguer, kata dia, berarti kadar alkoholnya makin tinggi. Di
sejumlah daerah di Minahasa, petani tidak hanya mengambil saguer yang
asam, tapi juga yang manis untuk dimasak menjadi gula aren.
Setiap hari dua kali Sigar memanjat pohon aren yang sama. Di pagi
hari antara pukul 08.00 hingga 10.00, dia memanjat untuk mengambil nira
yang tertampung. Panjatan di sore hari untuk melubangi tongkol mayang
agar nira tetap menetes.
Sebelum melakukan penyulingan, Sigar menyaring saguer yang berwarna
putih seperti susu hingga benar-benar bersih. Saguer dia masukkan ke
tong yang diletakkan ke di atas lubang kayu api. Sepotong bambu
sepanjang empat meter dipasang tegak lurus, ujungnya dimasukkan ke
lubang di tengah tong. Ujung atas bambu berdiameter 10 centimeter ini
dihubungkan dengan bambu lain yang mengarah menjauhi tong. Panjangnya
sekitar 8 meter. Ujung bambu kedua pun disambung lagi dengan bambu lain
yang mengarah mendekati tong. Total, Sigar menggunakan 25 meter bambu
untuk membentuk pipa penyulingan yang membentuk segitiga. Ujung bambu
terakhir didekatkan dengan jerigen, sebagai muara uap hasil penyulingan.
“Kenapa sangat panjang bambu yang dipakai?” tanya saya.
“Makin panjang bambunya, alkohol makin tinggi. Lima meter saja sudah bisa, tapi alkholnya bisa hanya 35 persen,” kata Sigar.
Untuk memasak saguer 50 liter saguer yang akan menghasilkan 15 liter
saguer, Sigar membutuhkan waktu tiga jam. “Kayu harus terus terbakar,”
kata dia.
Sigar menjual cap tikus Rp 6.000 per liter. Sementara saguer hanya Rp
2.000 per liter. Selain untuk langsung dikonsumsi, cap tikus menjadi
bahan baku untuk produk minuman kemasan dalam botol yang banyak beredar
di Minahasa. Merek yang terkenal adalah Anggur Kesegaran dan CO.
Diperkirakan produksi cap tikus Minahasa per bulan mencapai sekitar
800.000 liter. Sudah lama ada usulan agar pemerintah daerah menarik
retribusi dari cap tikus. Ini usulan dilematis. Sebab
mengundang-undangkan retribusi produksi ataupun pemasaran cap tikus
berarti melegalisasi produksinya. Sementara itu, aparat kepolisian kerap
menuding cap tikus menyumbang tingginya angka kriminalitas di Minahasa.
Di Minahasa saguer dan cap tikus digunakan dalam upacara kampetan
atau memanggil ruh dotu-dotu atau nenek moyang. Upacara ini biasanya
digelar saat bulan baru atau bulan purnama. Lokasinya di tempat khusus
yang dihormati penduduk desa karena biasa dipakai generasi silam untuk
berdoa atau bersemadi.
Kampetan digelar untuk mencari tahu adanya ketidakwajaran di sebuah
desa. “Dotu akan kasih tahu kalau ada hal yang salah, atau sesuatu yang
akan terjadi. Misalnya akan ada gempa, orang yang rumah tangga
berantakan, atau ada anak muda yang hamil di luar nikah,” kata Turambih
Moningka.
Turambih seorang petani saguer dan pembuat gula aren di Desa Kayawu,
Kecamatan Tomohon Utara, Kabupaten Tomohon. Persis di depan rumahnya
terdapat tempat berdoa yang dipakai orang Kayawu menggelar upacara
kampetan. Sepintas, tempat itu seperti kompleks pemakaman, berpagar, dan
dari luar terlihat dapat menampung orang cukup banyak.
Untuk upacara kampetan disiapkan sejumlah sesaji, yakni nasi beserta
lauk pauk 9 bungkus, telur ayam 9 butir dan satu mentah, pinang 9 biji
dibelah, tabaku (rokok linting), sirih tiga lembar, dan cap tikus atau
saguer. “Cap tikus dimasukkan di kower atau seloki dari bambu. Semua
diletakkan di atas daun pisang. Kalau perlu dibakar dupa,” kata
Turambih.
Pemimpin upacara harus seorang tonaas, gelar yang diemban seseorang
sebagai penunjukan arwah nenek moyang. Seorang tonaas tidak harus sepuh,
bisa juga berusia muda, asalkan dia dianggap ‘berbakat’.
Ketika semerbak bau dupa menyergap udara, doa-doa dipanjatkan. Dotu
akan datang merasuk ke tubuh salah satu peserta upacara. “Dotu yang
datang bisa dari mana saja, bisa dari Minahasa, dari Sangihe atau yang
dari pulau Jawa. Kalau yang datang lebih dari satu dotu, mereka akan
saling baku tamang (saling bicara dan bertanya) dalam bahasa lama,” kata
Turambih.
Selama singgah di tubuh orang lain, arwah dotu menyantap sajian yang
telah disiapkan. “Kadang ada dotu yang minum cap tikus sampai enam
botol. Tapi setelah sadar, orang yang kerasukan tidak mabuk,” kata dia.
Kampetan juga bisa digelar untuk tujuan khusus, atas permintaan orang
yang ingin kepentingan bisnisnya dilindungi atau ingin mendapat
perlindungan supranatural sebelum ke tempat berbahaya. Menurut Turambih
pernah beberapa pengusaha dan anggota DPR jauh-jauh datang ke Kayawu
untuk tujuan khusus tadi. “Pernah ada 11 orang datang dari Jawa minta
‘pegangan’ karena mau ke Aceh,” kata Turambih.
“Tentara?” tanya saya.
“Mungkin. Mereka datang malam-malam minta dibikin itu upacara,” kata dia.
“Jadi upacara itu juga bisa untuk orang luar?”
“Siapa saja bisa, orang dari luar Minahasa juga boleh,” kata Turambih.
“Dari mana mereka tahu di tempat ini bisa mendapat ‘pegangan’?” tanya saya.
“Mungkin ada yang beri tahu mereka supaya ke sini,” kata dia.
Dalam upacara untuk memperoleh ‘pegangan’ tidak perlu mengundang ruh
dotu datang. “Kita tunggu ada burung munguni datang. Kalau datang
berbunyi tiga kali, dia direstui,” kata Turambih.
Munguni sejenis burung jalak.
“Waktu itu burung munguni datang?” tanya saya.
“Datang, bunyi tiga kali.”
***
Selain Minahasa, orang Bali juga dekat hidupnya dengan arak. Namun
penghasil arak sudah tak banyak di Pulau Dewata. Tak banyak desa di
Balui seperti Merita, yang mata pencaharian utama masyarakatnya
menyuling arak. Arak Bali nomor satu biasanya berasal dari desa di
Kecamatan Budakeling, Kabupaten Karangasem ini.
Hanya sekitar 50 dari total 350 kepala keluarga di Merita yang tidak
memproduksi arak. Tidak hanya kaum pria, banyak ibu di Merita lihai
membuat arak. Ni Made Catri salah satunya. Catri belajar menyuling arak
dari ayahnya, semasa dia masih remaja. Dia tidak tahu berapa usia
persisnya. Dia hanya ingat ketika Gunung Agung meletus untuk kedua
kalinya di tahun 1963, usianya sekitar 8 tahun.
Catri menyuling arak di dapur yang terpisah dengan banguna utama
rumahnya, seperti rumah desa di Bali umumnya. Catri hanya memakai tiga
peralatan sederhana, kaleng bekas minyak goreng untuk memasak tuak yang
disebut belek, jerigen penampung uap arak, dan pengantang yakni bamboo
sepanjang 1,5 meter untuk menyalurkan uap arak.
Biasanya satu kali penyulingan, Catri memasak sekitar 10 liter tuak dalam belek.
Pada jerigen penampung uap, Catri memberi tanda batas untuk hasil
penyulingan terbaik. Volume arak yang mencapai batas itu hanya sekitar
1,5 botol bir atau sekitar 1,5 liter. “Semakin lama, air yang menetes
dari bambu semakin banyak. Tapi arak yang bagus hanya sampai 1,5 liter
pertama,” kata Catri.
Kalau 1,5 liter pertama tercapai, Catri membuang isi belek dan
mengisinya kembali dengan tuak baru untuk disuling lagi. Kalau musim
sedang baik, dalam sehari Catri bisa membuat 5 botol arak nomor satu dan
10 botol arak nomor dua. Di musim penghujan hasil semakin sedikit
karena kualitas air nira kurang baik. Kalau musim tuak sedang baik,
menyuling arak bisa dilakukan 24 jam. Di rumah desa di Bali, lumrah ada
anggota keluarga yang menunggui dapur, tidur dan makan di sana.
Dengan metode tradisional, tentu saja kapasitas produksi arak Desa
Merita sangat kecil. Karena itu sejak lima tahun terakhir marak
peredaran arak methanol asal daerah Sediman yang pembuatannya dengan
bahan kimia dan alkohol. Bila dikonsumsi sedikit berlebih, arak methanol
bisa mengakibatkan kebutaan. Karena itu aparat keamanan kerap merazia
perdagangan arak methanol. Arak methanol biasanya dijual cuma sekitar Rp
4.000 per liter, sementara arak tradisional nomor satu dan nomor dua
masing-masing Rp 8.000 dan Rp 5.000 per liter.
Meski terkadang takut-takut berdagang arak, orang Merita masih
menggantungkan hidupnya pada produksi arak. Pasalnya orang Bali tetap
akan membutuhkan arak sebagai elemen penting dalam acara pesta minum
atau genjek.
Genjek hampir serupa cepung, dimainkan enam lelaki duduk yang duduk
melingkar. Sebagian melantuknkan tembang, sbagian lagi menirukan
bebunyian alat musik. Dan yang pasti selama genjek, aliran arak tak
boleh berhenti. Genjek biasanya menjadi bagian dalam upacara adat
seperti pernikahan, kelahiran anak, dan pelebon atau ngaben.
Masyarakat Bali dilingkupi banyak ritual dalam menjalani keseharian
hidup. Pembuat arak juga melakoni ritual untuk menyeimbangkan kosmologi
setelah mengambil sesuatu dari alam. Pada hari tertentu dalam sebulan,
mereka harus membuat sesaji tipat kelan. Dalam satu kelan ada enam
ketupat sebutir telur rebus. Hari untuk menyampaikan sesaji ditentukan
dalam anggar kasih, penanggalan hari-hari baik ritual agama. “Setelah
melakukan sesaji, kelan harus dimakan oleh keluarga. Tidak boleh
dibuang,” kata Catri.
Meski melakoni sederet proses menyuling arak, Catri merasa dirinya
tidak punya kuasa membuat arak yang bagus. Orang Merita percaya dalam
proses menyuling yang bekerja adalah Ida Batara Arak Api, dewa pembuat
arak. Sebagai manusia mereka hanya medium. Kalau Batara Arak Api
berkenan, kata Catri, bikin arak sebotol saja pasti akan bagus hasilnya.
“Kalau Dewa tidak merestui, masak tuak sebanyak apapun tidak akan jadi arak bagus. Sumber: Playboy Indonesia Magazine
(http://fordiletante.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar