15 Mei 2014

Generasi Penenggak Arak

Dari Kapten James Cook sampai Shaggy Dog memuji tradisi minuman memabukkan di Nusantara. 17 September 1770. Awak kapal “Endeavour” girang sumringah. Di ujung pandangan menyembul sosok pulau kecil permai. Sudah lama mereka menanam harap bersua pulau semacam Tahiti, daratan indah dan subur yang mereka tinggalkan setahun sebelumnya.
Letnan Satu James Cook, sang kapten, jauh lebih girang. Tak tercantum Pulau Sawu dalam peta pelayaran kapal Endeavour. Kalau benar itu pulau baru, akan menambah panjang daftar daratan temuan Cook. Sejak melepas sauh dari Pantai Britania 27 Mei 1768, mereka telah menemukan Tahiti serta Selandia Baru. Temuan terbesarnya adalah Australia pada April 1970.
Raja George III yang mengirim Endeavour. Misinya sampai di Tahiti sebelum bulan Juni 1969 untuk meneliti fenomena astronomi Transit of Venus. Mencari ukuran tata surya adalah kepingan puzzle yang paling membuat penasaran dunia pengetahuan abad ke-18. Ketika itu baru diketahui ada enam planet yang mengitari matahari -Uranus, Neptunus dan Pluto belum ditemukan.
Para astronom sudah bisa memperkirakan berapa jarak masing-masing planet. Jupiter, misalnya, lima kali lebih jauh dari matahari kalau dibandingkan dengan Bumi. Tapi berapa mil jarak persisnya, jawaban absolutnya masih misteri.
Venus adalah kunci. Itu kesimpulan Edmun Halley di tahun 1716. Pada waktu tertentu, dari Bumi terlihat Venus melewati wajah matahari. Planet itu terlihat seperti cakram hitam pekat yang gemulai melewati bintik sang surya. Halley menduga dengan mencatat interval persinggahan Venus di wajah matahari dari sebuah titik di Bumi, dapat dihitung jarak Bumi dengan Venus. Alat hitungnya prinsip paralaks. Bila angkanya didapat, maka sisa teka-teki jarak dalam tata surya menyusul terjawab.
Masalahmya, Transit of Venus sangat jarang. Terjadi setiap 120 tahun. Halley sendiri pasti tidak sempat melihatnya. Sempat sejumlah astronom mencatat gerakan Venus di tahun 1761, tapi cuaca merampas sebagian besar data perolehan mereka. Kalau Cook gagal di tahun 1769, maka semua astronom ketika itu tidak akan bisa menunggu kesempatan selanjutnya yakni tahun 1874.
Ekspedisi Cook seolah misi luar angkasa. Tak hanya itu. Di kapal itu membonceng sejumlah orang sipil yang dipimpin Joseph Banks. Pria 25 tahun ini kaya raya, kegemarannya menyelidiki alam. Dengan antusiasme Abad Pencerahan, Banks dan anak buahnya mengumpulkan dan mendokumentasi temuan tumbuhan baru serta binatang selama pelayaran. Mereka juga mencatat situasi antropologis dan budaya yang mereka temui.
Setelah mengitari Australia, Endeavour melanjutkan muhibah ke arah barat. Di bulan Juni, Endeavour sempat mengurangi 50 ton muatan untuk menambal bocor lambung kapal yang mencium karang. Papua Nugini sudah mereka singgahi, tapi mereka belum mendapat cadangan makanan baru.
Awak kapal mulai terserang penyakit. Tubuh manusia hanya mampu menyimpan kebutuhan vitamin C selama enam minggu. Awak Endeavour menjadi kelinci percobaan Angkatan Laut Inggris dalam melawan momok hidup lama di laut: kudis, sariawan dan pendarahan – yang membuat kapal-kapal di abad ke-18 kehilangan separuh awaknya. Cook membawa sejumlah makanan percobaan seperti acar kubis dan rendaman kecambah gandum. Bila ada awak kapal yang menolak, dicambuk.
Selama empat bulan di laut, awak Endeavour merindu makanan segar. Savu, begitu Cook menyebut gugusan di Nusa Tenggara Timur itu terlihat dipenuhi pohon lontar dan kelapa. Endeavour melempar sauh di pantai utara Pulau Sawu. Tak lama kapal itu disergap perahu berisi sekitar 20 lelaki bersenjata parang. Cook diajak menghadap Ama Doko Lomi Djara, penguasa Seba, salah satu dari lima kerajaan di Sawu.
Bukan perlakukan kasar yang mereka terima di daratan. Cook dan sejumlah awak penting Endeavour justru dijamu makan Ama Doko. Sajiannya daging kambing bakar dan minuman keras berasa manis yang mengalir tiada henti. Minuman itu dideres dari pohon jangkung yang memenuhi daratan awu. Cook mulai doyan rasa tuak lontar.
“Air itu manis, segar dan rasanya aneh,” tulis Cook dalam catatan perjalanannya.
Ternyata kerajaan di Sawu sudah mengikat perdagangan dengan VOC. Ada Christian Joseph Lange, wakil perdagangan VOC yang sudah tinggal di Sawu sejak tahun 1956. Keberadaan Lange akan menghambat usaha Cook untuk membeli kebutuhan kapalnya di Sawu.
Cook seorang petualang sekaligus diplomat ulung. Dia paham membalas penyambutan yang meriah itu dengan elegan, sekaligus mengurangi intervensi Lange dalam urusan jual beli dengan orang Sawu. Cook menghadiahkan Raja Ama seekor biri-biri Inggris, satu-satunya sisa cadangan hewan potong di Endeavour. Awak Endeavour pun bisa membeli sejumlah kambing, babi, kerbau dan unggas dari penduduk. Cook memimpin pembelian ini dengan gaya diplomat dan amat mengesankan penduduk setempat.
Dimana-mana, awak Endavour mendapat suguhan tuak. Minuman nikmat yang mudah diambil dari alam Pulau Sawu. “Dengan memotong ujung dahan berbunga, lalu menempatkan wadah daun lontar kecil untuk menampung tetesan yang akan dikumpulkan oleh pemanjat setiap pagi dan sore,” tulis Cook tentang cara orang Sawu mengambil tuak.
Hari berikutnya lagi-lagi Cook dijamu masyarakat Sawu. Rombongan duduk bersila di atas tikar, menghadap 36 sajian lezat yang sampai-sampai tak sanggup mereka habiskan.
Selama tiga hari berinteraksi, Cook menyadari peran penting pohon lontar dalam kehidupan masyarakat Sawu. Sydney Parkinson merasakan hal sama. Dia pelukis yang mendokumentasikan muhibah Cook dari tahun 1768-1771. Selama di Sawu, Parkinson menggoreskan sketsa sebuah rumah kepala desa. Di belakang rumah, seorang pria bertelanjang dada memanjat pohon lontar, menyandang dua wadah bundar untuk menampung hasil deresan nira.
Di bawah sketsanya, Parkinson menulis: “A chief house in Savu, near Timor”.
Diplomasi yang diwarnai nikmatnya menenggak tuak membuat Cook berhasil membeli bahan pangan dan ternak yang dibutuhkannya. Meski tidak bisa mengklaim diri sebagai penemu pulau Sawu, Endeavour sukses bermuhibah ke arah barat, menepi di Batavia pada 11 Oktober. Untung saja di Sawu Cook mampir minum.
***
“Urip mung mampir ngombe, karena itu kita suka minum,” kata Heru.
Heru anak Jogjakarta. Bisa banyak interpretasi dari idiom yang diucapkan vokalis band Shaggy Dog itu. Idiom itu menggambarkan kesederhanaan cara pandang orang Jawa terhadap hidup yang laksana singgah di warung minum. Karenanya persinggahan itu harus dijalani dengan kepasrahan, sebelum melanjut ke perjalanan berikut.
Shaggy Dog memainkan musik ska yang berfusi dengan reggae, rock and roll, dan jazz. Sempat banyak band ska yang mencuat sejak aliran ini trend di tahun 1997. Tapi tak banyak yang ‘mampir’ di blantika musik nasional selama Shaggy Dog. Mereka sudah menelurkan tiga album, dan beberapa kali masuk dalam album kompilasi. Hampir selalu Shaggy Dog menjadi band di penghujung gig ska atau reggae. Itu menandakan peringkat daya tarik mereka. Belum lama, anak-anak Shaggy Dog menggelar tur ke Belanda untuk kedua kalinya.

Bila hidup adalah mampir minum, lewat lagu Di Sayidan, Shaggy Dog mengajak mampir ke sebuah kawasan di Jogjakarta.
Bila kau datang dari selatan
Langsung saja menuju Gondomanan
Belok kanan sebelum perempatan
Teman-teman riang menunggu di Sayidan

Begitu petunjuk Shaggy Dog dalam Di Sayidan, lagu pamungkas mereka dari album “Shaggy Dog” yang dirilis tahun 2000. Lagu itu telah menjadi anthem, yang wajib mereka mainkan di panggung. “Dari Aceh sampai Papua tahu lagu itu,” kata Heru.
Relasi awal mereka adalah “teman minum”, bersama mereka banyak membunuh waktu di Sayidan. Tak ada yang istimewa dengan kampung di bantaran Kali Code itu. Gangnya sempit, mayoritas penghuninya bekerja di sektor informal. Sayidan jadi tersohor berkat Shaggy Dog. Kampung itu pun sering kebanjiran musafir dari lain kota. Kalau tidak bisa bertemu dengan anak-anak Shaggy Dog, para pendatang cukup puas bisa mencicipi air kedamaian yang disebut dalam Di Sayidan.

Mari… Sini… berkumpul kawan
Dansa… Dansa… sambil tertawa
Di Sayidan, di jalanan
Angkat sekali lagi gelasmu kawan
Di Sayidan, di jalanan
Tuangkan air perdamaian

Air perdamaian yang mereka maksud adalah lapen, minuman beralkohol khas Jogja. Lirik awal Di Sayidan yang ditulis Bandizt, sang pembetot bass, sebenarnya menceritakan kandungan lapen. “Lirik awalnya itu, ‘Diramu dari buah-buahan, dijadikan minuman, untuk mabuk-mabukan.’ Hardcore banget,” kata Heru tertawa.
“Kenapa diubah?” tanya saya.
“Aku edit, diperhalus untuk tujuan yang sama, supaya bisa menembus mainstream,” balas Heru.
Bagi saya Di Sayidan punya semangat yang sama dengan Gaudeaumus, lagu civitas academica atau Lisoi milik masyarakat Batak Toba. Gaudeaumus adalah drinking song, mengajak menikmati hidup, selagi muda.

Jangan kau takut pada gelap malam
Bulan dan bintang semuanya teman
Tembok tua tikus-tikus liar
Iringi langkah kita menembus malam

Shaggy Dog punya peran membuat lapen tersohor sampai ke luar Jogja. Di kalangan tertentu, lapen jadi oleh-oleh yang wajib dibawa dari kota gudeg, bukan bakpia pathok.
Tak sulit mencari lapen, penjualnya menyebar di penjuru Jogja. Rasanya beragam, ada strawberry, mocca dan mint. Di daerah terban ada angkringan lapen “melon chaos.” Dari namanya sudah jelas rasanya. Di Sosrowijayan ada lapen rasa kopi, persis kahlua. Kahlua brand ternama untuk likor yang dibuat dari kopi Meksiko terbaik, alkohol tebu dan vanila. Ada juga lapen yang dicampur telur dan jamu penambah tenaga.
“Bisa bikin ereksi sampai pagi.” Heru tertawa.
Karena berasa buah, lapen mudah dinikmati. “Rasanya nggak begitu keras, sesuai dengan makanan Jogja yang manis, pas buat sambil ngobrol,” kata Heru.
“Dan murah,” timpal saya.
“Ya murah. Tapi ngantem dari belakang,” kata Heru.
‘Belakang’ maksud Heru adalah tengkuk, bagian tubuh yang akan terasa terjotos kalau tak mawas diri menenggak lapen.
Efek lapen memang menjotos. Tapi jotosan itu menjadi berkah bagi Sakti Darwinto, penjual lapen di Sayidan yang menjadi tongkrongan anak-anak Shaggy Dog. “Sekarang Pak Seti jadi lebih kaya dari kita,” canda Heru.
Seti panggilan akrab Sakti. Dia mulai menjaja lapen sejak tahun 2000. “Awalnya saya cuma ikut-ikutan, diajak teman. Tapi setelah pikir-pikir, saya ingin buka sendiri,” terang Seti.
Lokasi warung Seti di Jl. Brigjen Katamso, di depan SMP Maria Immaculata. Lalu lintas Brigjen Katamso cukup padat, arah selatan menuju pantai Parangtritis, ke utara pusat kota.
Awalnya Seti menjual paling banter 10-20 liter per malam. “Dalam waktu setahun lagu Shaggy Dog terkenal, teman-teman mereka pindah nongkrong ke tempat saya. Dari luar kota juga banyak yang datang,” kata Seti.
“Sejak lagu Di Sayidan ngetop, sehari berapa liter terjual?” tanya saya.
“Bisa 30 liter, kalau malam minggu 60 liter,” jawab Seti.
Seti menjual lapen Rp 10.000 per liter. “Kalau teman lama Rp 8.000,” kata dia.
Seti menganggap semua pelanggannya sebagai teman, bedanya pada teman lama atau teman baru. Usianya 47 tahun, tapi lancar bersenda gurau dengan pengunjung yang rata-rata bersebaya dengan anaknya. Tubuhnya tegap, rambutnya cepak. Di siang hari Seti berprofesi sebagai petugas keamanan di pertokoan.
“Lapen dibuat sendiri? Apa bahannya?”
“Alkohol 96 persen dengan CMC. Semuanya yang kualitas nomor satu,” kata pria 47 tahun itu.
“CMC?” Saya menimpali.
“Itu bahan untuk bikin roti, untuk mengentalkan adonan. Semua bahan direbus sampai mendidih, dibiarkan dingin sampai seharian, terus dicampur dengan esens,” terang Sakti.
Dulu Seti memakai beragam esens, rasa mocca, melon, strawberry dan menthol. Dia juga menjual lapen jamu yang menurut Heru bisa membuat ereksi sampai pagi. “Saya pakai jamu produksi Cilacap, namanya serbuk super. Tapi sekarang cuma jual yang rasa mocca,” kata Seti.
“Kenapa cuma mocca?” tanya saya.
“Tahu suasana lah, istilahnya sekarang ini sedang gerobyok. Tempat saya bisa digaruk, kadang-kadang yang minum kena juga. Sekarang nggak ada yang nongkrong, saya larang.”
“Kalau mau beli lapen?”
“Beli di rumah saya, tapi nggak minum di warung,” kata Seti.
Sejak awal tahun 2005, Pemerintah Kota Jogjakarta memberlakukan Perda anti penyakit masyarakat (pekat). Akibat perda itu warung lapen kerap dirazia. Kini di warungnya Seti menjajakan menu tongseng, ayam bakar, pecel lele dan mie goreng.
Penjual lapen lain berdagang sembunyi-sembunyi. Tapi warung lapen di Pajeksan, jalan yang bersiku dengan Jl Malioboro, seperti tak terpengaruh. Sebuah plang tripleks menerangkan jam operasinya: “Buka 18.00-23.00.” Saya datang sekira pukul 23.00, masih ramai anak muda nongkrong di sana.
Sesekali membuncah tawa meriah. Mereka duduk berkelompok, sebagian di atas tikar yang digelar di emperan toko. Sebagian lagi di kursi kayu panjang yang disusun di mulut sebuah gang. Di mulut gang itu ada sebuah meja kecil untuk kasir, lebih ke dalam lagi ada dua lemari. Tak terlalu besar ukurannya, di raknya tersusun sejumlah sloki, ceret dan bungkusan plastik menampung cairan berwarna coklat serupa teh dan merah jambu. Masing-masing bervolume 1 liter. Untuk pembeli yang tak ingin minum di tempat. Inilah warung lapen paling legendaris di Jogja.
Dasmadi yang biasa disapa Jas memulai sejarah lapen 12 tahun silam. Pada masa itu, dia termasuk punggawa Komunitas Pemusik Jalanan Malioboro (KPJM). Menjelang dini hari, para pengamen Malioboro biasa nongkrong di emperan toko.
“Dulu Malioboro nggak tidur, Mas. Sekarang padat karena mobil. Pengamen yang menjaga Malioboro tetap aman, jalan kaki jam tiga pagi juga aman,” kata Jas.
Sembari ngobrol, para penjaga Malioboro menenggak aneka minuman, dari jamu pelepas lelah sampai yang beralkohol.
“Lama-lama kepikiran gawe ndiri wae. Coba-coba nyampur minuman, dan teman-teman bilang enak. Coba didol wae,” kata Jas.
Menurut Jas, pada prinsipnya lapen adalah jamu. Bahan-bahan seperti daun ketela, adas kulowaras (sejenis akar-akaran), dan beberapa rempah-rempah lain ditumbuk dan dicampur. Lalu difermentasi dengan rasa. “Jadi sebenarnya ini jamu anak muda, tapi ada penghangatnya,” kata Jas.
“Alkoholnya jadi berapa persen?”
“Di sini alkoholnya biasa-biasa saja, 12-15 persen. Tapi kalau diminum lebih dari target pasti mabuk,” kata dia.
Jas berkongsi dengan lima kawannya. Tujuan awalnya untuk membiayai komunitas, kalau ada untung sedikit baru dibagi. Air kedamaian itu dijual dari tangan ke tangan. Permintaan semakin banyak, Jas dan teman-temannya perlu tempat tetap. Sebuah mulut gang di Pajeksan dipilih. Pelan tapi pasti, warung lapen Jas kian tersohor. Warung-warung lapen lain bermunculan di Jogja.
“Tapi massanya beda-beda,” kata Jas. “Kalau di sini kebanyakan anak muda, terutama yang bergerak di kesenian.”
Kata Jas, kalau pun tak minum, banyak yang datang ke Pajeksan untuk bertemu komunitas seni di Jogja. Tidak hanya para pemusik, tapi juga penari, pelukis dan pemain teater. “Biasanya kalau mau ada acara, menyebarkan undangan dari sini. Kalau mau lihat akan ada apa acara kesenian di Jogja, poster dan pamflet selalu penuh di sini. Banyak seniman dari luar kota selalu mampir ke sini kalau ke Jogja,” kata Jas.
“Siapa saja?” tanya saya.
“Sawung Jabo, Oppie Andaresta. Mereka kalau ke Jogja pasti main ke sini, silaturami. Sudah ada empat generasi seniman yang suka nongkrong di sini,” kata Jas.
“Empat generasi?”
“Yang pertama itu generasinya Umbu. Lalu Jabo, Sapto Raharjo, Djaduk (Ferianto) dan Butet (Kertaredjasa), lalu generasi Oppie. Berikutnya generasi Duta (Sheila on 7) dan Heru (Shaggy Dog),” kata Jas.
Umbu Landu Paranggi dijuluki “Presiden Malioboro.” Lewat Persada Studi Klub (PSK) yang dia dirikan tahun 1969, penyair yang kini ‘menyepi’ di Bali ini menjadi pengasah bakat sejumlah penyair Jogja seperti Emha Ainun Najib dan Linus Suryadi AG. Di Bali, Umbu menjadi guru bagi Oka Rusmini, Raudal Tanjung Banua, dan Tan Lioe Ie. Djaduk Ferianto dan Butet Kertaredjasa adalah anak maestro tari Bagong Kussudiardjo. Yang pertama menggeluti teater, sementara yang kedua bergerak di musik alternatif. Sapto dikenal sebagai pemusik kontemporer yang memadukan gamelan dengan elektronika. Pengasuh radio Geronimo Jogja ini penggagas proyek Yogayakarta Gamelan Festival yang mempertemukan seniman gamelan sedunia.
“Sekarang di Jogja penjual lapen sembunyi-sembunyi karena banyak razia,” kata saya. “Tapi kenapa di sini aman-aman saja?”“Saya bisa menjamin jangan sampai menimbulkan keresahan di lokasi. Kami bisa bertahan di sini karena bisa menjaga tidak pernah ada keributan,” kata Jas.

Pak Bejo membentak bininya
“hari ini sepi!
Mbok Bejo tak mau kalah
“anak-anak minta baju seragam!
Pak bejo juga:
“aku sudah keliling kota
aku sudah kerja keras
tapi kalah dengan bis kota
hari ini aku cuma dapat uang setoran

Mbok Bejo tak mau mendengar
Mbok Bejo tetap marah
Mbok Bejo terus ngomel!

Pak Bejo kesal
nyaut sarung kabur ke warung
nenggak ciu bekonang
minum segelas
malu segelas lagi
kemudian hanyut bersama gending sarung jagung
bersama Pak Kromo
bersama Pak Wiryo
bersama Pak Kerto
njoget tertawa mabuk
benak yang sumpek dikibaskan
lepas bebas
lupa anak
lupa utang
lupa sewa rumah
lupa bayaran sekolah
lepas bebas
lenggak-lenggok gumpalan awan
bersama bintang-bintang

ketika bulan miring
Pak Bejo mendengkur di depan pintu
sampai terang pagi
lalu istrinya melotot lagi

Wiji menulis puisi “Balada Pak Bejo” 10 tahun sebelum dia raib tak tentu rimbanya. Pada kaki puisi itu, Wiji menulis: Solo, Juli 1988. Hilangnya Wiji berkaitan dengan meningkatnya operasi pembersihan politik aktivis antirezim orde baru pada tahun 1998.
Puisi Wiji tentang kemelut hidup Pak Bejo, yang perolehan rezekinya dari menarik becak tak memuaskan istrinya. Pak Bejo lari dari lara, melupakan penat hidup dengan bergelas-gelas ciu. Sejenak Pak Bejo ria. Tapi begitu hari terang, kenyataan hidup kembali membangunkannya.
Jauh sebelum lapen dikenal, masyarakat Jawa Tengah punya ciu sebagai tradisi minuman memabukkan. Wiji mengandengkan kata ciu dengan “Bekonang,” yang merupakan sentra penghasil ciu di Kabupaten Sukoharjo.
Desa Bekonang tak jauh dari kota Solo. Jalanannya aspal mulus, sawah masih menghampar luas. Di mulut sebuah jalan ada plang kayu. Pada baris pertamanya tertulis: “Sentra Perusahaan Alkohol Desa Bekonang”. Hampir semua pekarangan rumah di jalan itu dijemur tumpukan kayu kering.
Saya berhenti di sebuah bangunan berdinding bata tak berlapis semen. Dari dalam bangunan yang penuh tong plastik setinggi satu meter, Andi Sujadi menghampiri saya. Benar dugaan saya, bangunan itu pabrik ciu. Di Minggu siang itu Andi tetap bekerja. Pemilik pabrik itu Sunaryo, tinggal di bangunan berlantai dua di mulut jalan.
Andi mengajak saya masuk ke bagian terdalam pabrik, menunjukkan tungku penyulingan yang diatasnya diletakkan dua tong penampung bahan dasar ciu. Tong itu dihubungkan dengan tong lain dengan dua bambu sepanjang tiga meter yang dilengkungkan. Bambu berdiameter 4 centimeter itu menyalurkan ciu yang merupakan uap hasil pemanasan bahan dasar.
Ciu disuling dari tetes tebu ditambah badek dan air. Komposisinya, kata Andi, untuk satu gentong bervolume 200 liter adalah tetes tebu 5 ember, badek 6 ember dan sisanya air.
Tetes atau ampas tebu adalah cairan kental sisa kristalisasi dari pabrik gula. Badek adalah bibit fermentasi ciu yang diambil dari sisa penyulingan ciu sebelumnya. Setelah diaduk, pada permukaan campuran bahan dasar ciu akan keluar buih. “Campuran bahan dibiarkan sampai tujuh hari sampai buih menghilang, baru siap dimasak,” kata Andi.
Buih ditimbulkan oleh badek. Bagi pembuat ciu, kalau badek habis atau tak sanggup menghasilkan buih pada campuran bahan ciu, berarti produksi mandek.
“Kalau habis?”
”Harus minta ke tetangga,” kata Andi.
Hasil sulingan tetes tebu biasanya mengandung alkohol 30-45 persen. Produsen ciu di Bekonang umumnya juga memproduksi alkohol 90 persen. “Alkohol itu campuran tetes tebu yang disuling dua kali. Setelah jadi ciu, dimasak lagi, ditambah zat kimia kostik. Jadinya alkohol 90 persen,” kata Andi.
Dari 200 liter campuran bahan akan menghasilkan 30 liter ciu setelah melewati tiga jam penyulingan. “Kalau tetesnya bagus uapnya keluar cepat. Kalau jelek bisa empat jam baru selesai,” kata Andi.
Ciu paling jelek kandungan alkoholnya berkisar 25 persen. Hasil sulingan ciu berwarna agak keruh. Setelah melewati saringan berlapis pasir, kain, dan kapas, ciu menjadi bening. Setiap hari pabrik milik Sunaryo menghasilkan rata-rata lima jerigen, sekitar 150 liter ciu.
Tradisi membuat ciu telah berlangsung ratusan tahun di Bekonang. “Usaha ciu di sini turun temurun. Caranya masih sama, bedanya sekarang tungku lebih besar dan pakai pompa untuk menyedot bahan dari tong ke tungku. Jadi hasilnya bisa lebih banyak,” kata Andi.
“Tidak pernah dirazia polisi?” tanya saya.
“Polisi nggak berani ke sini. Pernah ada ciu yang diambil polisi. Tapi orang-orang sini marah. Kalau mau ngambil jangan satu, tapi semua.”
***
Hampir dua setengah abad sejak persinggahan Cook, tuak masih menjadi bagian penting dalam hidup sebagian penghuni Nusantara. Tak jauh dari pulau Sawu, masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat, punya tradisi cepung, seni membaca syair pantun yang didahului dengan minum tuak.
Dr Tilman Saebas dalam buku “The Music of Lombok” menyebut cepung bentuk seni yang kompleks sebagai suatu ansamble musik atau nyanyian. Cepung diperkirakan sublimasi dari upacara magis masyarakat Lombok sebelum masuknya unsur kebudayaan Islam seperti India, Arab dan Persia.
Ada dugaan, cepung berakar dari Wayang Gemblung di Jawa Tengah yang telah menyesuaikan diri dengan situasi setempat. Akulturasi terhadap cepung sama seperti yang dialami tari Kecak dan Janger di Bali.
Cepung dimainkan enam orang. Ada pemakaian instrumen pengiring. Tapi terbatas seperti redep (rebab) dan suling. Pemain menggunakan mulut untuk menirutkan bunyi gong, gendang, kenceng dan rencik.
Pemain juga bertindak sebagai pembawa syair secara bersahutan yang terdiri dari tiga orang. Dua orang memainkan alat musik, dan seorang lagi melafalkan cerita monyen. Pemain musik vokal juga membaca syair yang tidak terdapat dalam cerita monyen dengan gaya kocak dan mengundang tawa penonton.
Monyen adalah cerita klasik berisi filsafat Islam, dikarang oleh Jero Mehram pada 1859 untuk tujuan missi. Melalui cerita, Jero merasa ajaran Islam lebih mudah merasuk ke hati masyarakat. Cepung dianggap sebagai perkembangan dari pepaosan, pembacaan cerita lontar Monyen tapi hanya dengan tembang.
Cepung pernah berkembang begitu pesat, tapi kini tidak banyak desa yang masih menjalankan tradisi cepung. Pelaku setia cepung di antaranya orang Desa Jagaraga, Kecamatan Kediri, Lombok Barat.
Sebagian besar pendukung seni cepung adalah mereka yang menganut paham waktu telu. Paham ini berseberangan dengan golongan Islam yang bertekad mendirikan perintah Islam yang murni yakni sholat lima waktu. Paham waktu telu diperkirakan muncul sebagai bentuk kompromi para pembawa Islam awal ke Lombok dengan budaya asli.
Kini gencar usaha melestarikan cepung tanpa mengaitkan seni itu dengan minuman tuak. Argumentasinya, tuak tidak selalu menimbulkan inspirasi atau perangsang penampilan seni karena seni bisa dibangun dengan keterampilan teknis individu. Tanpa minum tuak pelaku tetap bisa menampilkan cepung. Meskipun kini unsur minum tuak sudah berkurang, tapi citra lama cepung sulit dihapuskan.
***
Putri si boru Sorbajati gundah gulana. Orang tuanya bersikeras mengawinkan dia dengan dengan seorang lelaki cacat yang tidak dia sukai. Sia-sia usaha si boru Sorbajati menolak. Dia meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap.
Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Si boru Sorbajati menjelma tumbuh sebagai pohon bagot atau pohon aren. Mitologi itu yang menjelaskan tuak dalam bahasa Batak Toba disebut aek (air) Sorbajati.
Bunuh diri dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata. Tuak hanya menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang atau orang yang sudah meninggal. Pada masyarakat Batak Toba, tuak menjadi minuman adat pada upacara manuan ompu dan manulangi.
Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tumbuhan di atas tambak atau kuburan. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Inilah upacara manuan ompu. Kebiasaan ini sudah tidak terlalu dijalankan saat ini, biasanya yang dituangkan ke tambak hanya air.
Dalam upacara manulangi, para cucu memberikan makanan kepada neneknya. Para penerus meminta restu, nasehat dan petunjuk pembagian harta, disaksikan oleh pengetua adat. Makanan disajikan dengan air minum serta tuak.
Tuak yang digunakan untuk adat adalah tuak manis atau tangkasan. Dalam bahasa Batak Toba disebut tuak na tonggi. Dibandingkan dengan penggunaan dalam adat, tuak lebih banyak menjadi minuman sehari-hari kaum pria di pakter atau lapo tuak. Di Tanah Toba, biasanya kaum pria mendatangi pakter selepas bekerja di ladang. Sambil menikmati tuak mereka membaca koran, bermain catur atau menyanyi.
Tuak di pakter biasanya sudah dibenamkan raru, sejenis kulit kayu yang mengakibatkan peragian. Raru akan meningkatkan kadar alkohol dan mengurangi rasa manis tuak.
Penderes tuak disebut paragat yang berasal dari kata agat, pisau khusus untuk menyadap tuak. Resep membuat tuak berbeda-beda pada setiap paragat, dan bisa dikatakan ‘rahasia perusahaan’ yang diwariskan dari orang tua. Maka tidak siapa sembarang bisa menjadi paragat.
***
Di Indonesia, tanaman aren (Arenga pinnata) dapat berproduksi baik di daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut. Pada daerah yang ketinggiannya kurang dari 500 m dan lebih dari 800 m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan.
Dengan karakter itu, sangat wajar tuak menjadi minuman sehari-hari orang dataran tinggi, seperti di tanah Minahasa. Mereka menyebut hasil sadapan pohon enau sebagai saguer. Sigar Mandey, seorang petani di desa Tinoor, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Tomohon sejak remaja hidup dari pohon saguer. Kini usianya 54 tahun. Sigar menjual saguer di warung istrinya di pinggir jalan raya Pineleng. Warung-warung makan Minahasa pada umumnya menjual saguer. Banyak yang percaya minum saguer sebelum makan, dapat mendongkrak selera.
Tapi di Minahasa, lima persen kandungan alkohol pada saguer tidak cukup. Cairan ini disuling lagi menjadi cap tikus. Sejak lima tahun lalu Sigar mengolah saguer menjadi cap tikus.

Satu seloki cap tikus tambah darah.
Minum dua seloki masuk penjara.
Tiga seloki bakal ke neraka.

Kalimat itu kerap diucapkan petani di Minahasa. Petani biasa meminum satu seloki cap tikus sebelum berangkat ke ladang untuk memompa semangat kerja. Bertambahnya seloki cap tikus yang ditenggak berarti bertambahnya tanda bahaya. Mereka tidak bercanda. Kadar alkohol cap tikus berkisar 40 sampai 75 persen. Makin bagus sistem penyulingannya, serta semakin lama disimpan, kadar alkohol cap tikus semakin tinggi. “Cap tikus yang bagus kalau dibakar (nyala) apinya biru,” kata Sigar.
Sigar membuat cap tikus di sebuah kebun aren milik kerabatnya. Kebun itu di sebuah lembah terjal, karakter kontur tanah yang mendukung pertumbuhan pohon aren. Sigar juga punya beberapa pohon aren di kebunnya. Tapi dia harus mencari pohon lain untuk dideres. Karena pohon aren tidak mengeluarkan saguer sepanjang tahun, tapi hanya yang sedang membuahkan mayang muda.
Untuk menders saguer, Sigar memanjat pohon enau dengan bantuan tangga. Secara hati hati dia kupas seludang pembungkus tongkol mayang. Bagian tongkol itu selanjutnya dia pukul-pukul dan elus dengan penuh perasaan. “Pohon ini harus disayang, kalau tidak saguer tidak lancar keluar,” kata Sigar.
Ketika buah mayang mulai matang dalam proses penyadapan, ujung tongkol bagian bawah ditakik atau dilubangi sedikit dengan pisau dan kemudian dibungkus daun. Bila setelah 3-4 hari kemudian terlihat rembesan cairan putih dari takikan tersebut, berarti proses penyadapan berhasil. Sebaliknya, berarti gagal kalau lubang takikan terus mengering.
Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Kadar alkohol yang dikandung saguer tergantung pada cara menuai dan penggunaan penampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau. Semakin asam saguer, kata dia, berarti kadar alkoholnya makin tinggi. Di sejumlah daerah di Minahasa, petani tidak hanya mengambil saguer yang asam, tapi juga yang manis untuk dimasak menjadi gula aren.
Setiap hari dua kali Sigar memanjat pohon aren yang sama. Di pagi hari antara pukul 08.00 hingga 10.00, dia memanjat untuk mengambil nira yang tertampung. Panjatan di sore hari untuk melubangi tongkol mayang agar nira tetap menetes.
Sebelum melakukan penyulingan, Sigar menyaring saguer yang berwarna putih seperti susu hingga benar-benar bersih. Saguer dia masukkan ke tong yang diletakkan ke di atas lubang kayu api. Sepotong bambu sepanjang empat meter dipasang tegak lurus, ujungnya dimasukkan ke lubang di tengah tong. Ujung atas bambu berdiameter 10 centimeter ini dihubungkan dengan bambu lain yang mengarah menjauhi tong. Panjangnya sekitar 8 meter. Ujung bambu kedua pun disambung lagi dengan bambu lain yang mengarah mendekati tong. Total, Sigar menggunakan 25 meter bambu untuk membentuk pipa penyulingan yang membentuk segitiga. Ujung bambu terakhir didekatkan dengan jerigen, sebagai muara uap hasil penyulingan.
“Kenapa sangat panjang bambu yang dipakai?” tanya saya.
“Makin panjang bambunya, alkohol makin tinggi. Lima meter saja sudah bisa, tapi alkholnya bisa hanya 35 persen,” kata Sigar.
Untuk memasak saguer 50 liter saguer yang akan menghasilkan 15 liter saguer, Sigar membutuhkan waktu tiga jam. “Kayu harus terus terbakar,” kata dia.
Sigar menjual cap tikus Rp 6.000 per liter. Sementara saguer hanya Rp 2.000 per liter. Selain untuk langsung dikonsumsi, cap tikus menjadi bahan baku untuk produk minuman kemasan dalam botol yang banyak beredar di Minahasa. Merek yang terkenal adalah Anggur Kesegaran dan CO.
Diperkirakan produksi cap tikus Minahasa per bulan mencapai sekitar 800.000 liter. Sudah lama ada usulan agar pemerintah daerah menarik retribusi dari cap tikus. Ini usulan dilematis. Sebab mengundang-undangkan retribusi produksi ataupun pemasaran cap tikus berarti melegalisasi produksinya. Sementara itu, aparat kepolisian kerap menuding cap tikus menyumbang tingginya angka kriminalitas di Minahasa.
Di Minahasa saguer dan cap tikus digunakan dalam upacara kampetan atau memanggil ruh dotu-dotu atau nenek moyang. Upacara ini biasanya digelar saat bulan baru atau bulan purnama. Lokasinya di tempat khusus yang dihormati penduduk desa karena biasa dipakai generasi silam untuk berdoa atau bersemadi.
Kampetan digelar untuk mencari tahu adanya ketidakwajaran di sebuah desa. “Dotu akan kasih tahu kalau ada hal yang salah, atau sesuatu yang akan terjadi. Misalnya akan ada gempa, orang yang rumah tangga berantakan, atau ada anak muda yang hamil di luar nikah,” kata Turambih Moningka.
Turambih seorang petani saguer dan pembuat gula aren di Desa Kayawu, Kecamatan Tomohon Utara, Kabupaten Tomohon. Persis di depan rumahnya terdapat tempat berdoa yang dipakai orang Kayawu menggelar upacara kampetan. Sepintas, tempat itu seperti kompleks pemakaman, berpagar, dan dari luar terlihat dapat menampung orang cukup banyak.
Untuk upacara kampetan disiapkan sejumlah sesaji, yakni nasi beserta lauk pauk 9 bungkus, telur ayam 9 butir dan satu mentah, pinang 9 biji dibelah, tabaku (rokok linting), sirih tiga lembar, dan cap tikus atau saguer. “Cap tikus dimasukkan di kower atau seloki dari bambu. Semua diletakkan di atas daun pisang. Kalau perlu dibakar dupa,” kata Turambih.
Pemimpin upacara harus seorang tonaas, gelar yang diemban seseorang sebagai penunjukan arwah nenek moyang. Seorang tonaas tidak harus sepuh, bisa juga berusia muda, asalkan dia dianggap ‘berbakat’.
Ketika semerbak bau dupa menyergap udara, doa-doa dipanjatkan. Dotu akan datang merasuk ke tubuh salah satu peserta upacara. “Dotu yang datang bisa dari mana saja, bisa dari Minahasa, dari Sangihe atau yang dari pulau Jawa. Kalau yang datang lebih dari satu dotu, mereka akan saling baku tamang (saling bicara dan bertanya) dalam bahasa lama,” kata Turambih.
Selama singgah di tubuh orang lain, arwah dotu menyantap sajian yang telah disiapkan. “Kadang ada dotu yang minum cap tikus sampai enam botol. Tapi setelah sadar, orang yang kerasukan tidak mabuk,” kata dia.
Kampetan juga bisa digelar untuk tujuan khusus, atas permintaan orang yang ingin kepentingan bisnisnya dilindungi atau ingin mendapat perlindungan supranatural sebelum ke tempat berbahaya. Menurut Turambih pernah beberapa pengusaha dan anggota DPR jauh-jauh datang ke Kayawu untuk tujuan khusus tadi. “Pernah ada 11 orang datang dari Jawa minta ‘pegangan’ karena mau ke Aceh,” kata Turambih.
“Tentara?” tanya saya.
“Mungkin. Mereka datang malam-malam minta dibikin itu upacara,” kata dia.
“Jadi upacara itu juga bisa untuk orang luar?”
“Siapa saja bisa, orang dari luar Minahasa juga boleh,” kata Turambih.
“Dari mana mereka tahu di tempat ini bisa mendapat ‘pegangan’?” tanya saya.
“Mungkin ada yang beri tahu mereka supaya ke sini,” kata dia.
Dalam upacara untuk memperoleh ‘pegangan’ tidak perlu mengundang ruh dotu datang. “Kita tunggu ada burung munguni datang. Kalau datang berbunyi tiga kali, dia direstui,” kata Turambih.
Munguni sejenis burung jalak.
“Waktu itu burung munguni datang?” tanya saya.
“Datang, bunyi tiga kali.”
***
Selain Minahasa, orang Bali juga dekat hidupnya dengan arak. Namun penghasil arak sudah tak banyak di Pulau Dewata. Tak banyak desa di Balui seperti Merita, yang mata pencaharian utama masyarakatnya menyuling arak. Arak Bali nomor satu biasanya berasal dari desa di Kecamatan Budakeling, Kabupaten Karangasem ini.
Hanya sekitar 50 dari total 350 kepala keluarga di Merita yang tidak memproduksi arak. Tidak hanya kaum pria, banyak ibu di Merita lihai membuat arak. Ni Made Catri salah satunya. Catri belajar menyuling arak dari ayahnya, semasa dia masih remaja. Dia tidak tahu berapa usia persisnya. Dia hanya ingat ketika Gunung Agung meletus untuk kedua kalinya di tahun 1963, usianya sekitar 8 tahun.
Catri menyuling arak di dapur yang terpisah dengan banguna utama rumahnya, seperti rumah desa di Bali umumnya. Catri hanya memakai tiga peralatan sederhana, kaleng bekas minyak goreng untuk memasak tuak yang disebut belek, jerigen penampung uap arak, dan pengantang yakni bamboo sepanjang 1,5 meter untuk menyalurkan uap arak.
Biasanya satu kali penyulingan, Catri memasak sekitar 10 liter tuak dalam belek.
Pada jerigen penampung uap, Catri memberi tanda batas untuk hasil penyulingan terbaik. Volume arak yang mencapai batas itu hanya sekitar 1,5 botol bir atau sekitar 1,5 liter. “Semakin lama, air yang menetes dari bambu semakin banyak. Tapi arak yang bagus hanya sampai 1,5 liter pertama,” kata Catri.
Kalau 1,5 liter pertama tercapai, Catri membuang isi belek dan mengisinya kembali dengan tuak baru untuk disuling lagi. Kalau musim sedang baik, dalam sehari Catri bisa membuat 5 botol arak nomor satu dan 10 botol arak nomor dua. Di musim penghujan hasil semakin sedikit karena kualitas air nira kurang baik. Kalau musim tuak sedang baik, menyuling arak bisa dilakukan 24 jam. Di rumah desa di Bali, lumrah ada anggota keluarga yang menunggui dapur, tidur dan makan di sana.
Dengan metode tradisional, tentu saja kapasitas produksi arak Desa Merita sangat kecil. Karena itu sejak lima tahun terakhir marak peredaran arak methanol asal daerah Sediman yang pembuatannya dengan bahan kimia dan alkohol. Bila dikonsumsi sedikit berlebih, arak methanol bisa mengakibatkan kebutaan. Karena itu aparat keamanan kerap merazia perdagangan arak methanol. Arak methanol biasanya dijual cuma sekitar Rp 4.000 per liter, sementara arak tradisional nomor satu dan nomor dua masing-masing Rp 8.000 dan Rp 5.000 per liter.
Meski terkadang takut-takut berdagang arak, orang Merita masih menggantungkan hidupnya pada produksi arak. Pasalnya orang Bali tetap akan membutuhkan arak sebagai elemen penting dalam acara pesta minum atau genjek.
Genjek hampir serupa cepung, dimainkan enam lelaki duduk yang duduk melingkar. Sebagian melantuknkan tembang, sbagian lagi menirukan bebunyian alat musik. Dan yang pasti selama genjek, aliran arak tak boleh berhenti. Genjek biasanya menjadi bagian dalam upacara adat seperti pernikahan, kelahiran anak, dan pelebon atau ngaben.
Masyarakat Bali dilingkupi banyak ritual dalam menjalani keseharian hidup. Pembuat arak juga melakoni ritual untuk menyeimbangkan kosmologi setelah mengambil sesuatu dari alam. Pada hari tertentu dalam sebulan, mereka harus membuat sesaji tipat kelan. Dalam satu kelan ada enam ketupat sebutir telur rebus. Hari untuk menyampaikan sesaji ditentukan dalam anggar kasih, penanggalan hari-hari baik ritual agama. “Setelah melakukan sesaji, kelan harus dimakan oleh keluarga. Tidak boleh dibuang,” kata Catri.
Meski melakoni sederet proses menyuling arak, Catri merasa dirinya tidak punya kuasa membuat arak yang bagus. Orang Merita percaya dalam proses menyuling yang bekerja adalah Ida Batara Arak Api, dewa pembuat arak. Sebagai manusia mereka hanya medium. Kalau Batara Arak Api berkenan, kata Catri, bikin arak sebotol saja pasti akan bagus hasilnya.
“Kalau Dewa tidak merestui, masak tuak sebanyak apapun tidak akan jadi arak bagus. Sumber: Playboy Indonesia Magazine

(http://fordiletante.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar