Oleh: Ust. Ahmad Labib al-Mustanier
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang
haramnya khamr. Kesimpulan ini diperoleh dari firman Allah SWT dalam
surat Al Maidah:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi dengan anak
panah itu adalah perbuatan najis termasuk perbuatan syetan, maka
jauhilah agar kamu mendapatkan keberuntungan. Sesungguhnya syetan
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu
lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat kepada Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu)" (Al Maidah 90-91).
Dalam ayat ini ada beberapa bentuk ta’kid (penegasan) yang menunjukkan haramnya khamr. Pertama, diawali dengan kata “Innama”. Kedua,
disejajarkan dengan praktek menyembah berhala dan mengundi nasib.
Padahal keduanya merupakan aktivitas kemaksiatan yang berkaitan dengan
masalah aqidah yang bisa menyebabkan kekufuran. Ini sejalan dengan apa
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW:
"Membiasakan diri (minum) khamr seperti menyembah berhala" (HR Ibnu Majah).
Ketiga, diberi sifat najis. Benda najis tentu tidak layak sama sekali untuk diminum, diproduksi, didistribusikan, dsb. Keempat, disebutkan termasuk perbuatan syetan. Sedangkan syetan tidak pernah mengerjakan perbuatan kecuali kejahatan dan kemungkaran. Kelima, diperintahkan untuk dijauhi. Perintah untuk menjauhi ini lebih tegas daripada dilarang untuk meminumnya. Jika dekat saja tidak boleh, tentu meminumnya dan memanfaatkannya lebih tidak boleh. Keenam, dikaitkannya orang yang mau meninggalkan perbuatan tersebut dengan keberuntungan. Itu artinya, mendekatinya merupakan sebuah kerugian. Sedangkan, parameter untung dan rugi dalam pandangan Islam adalah ridla Allah. Disebut sebagai sebuah keuntungan manakala mendapatkan ridla Allah dan masuk surga. Sementara apabila mendapatkan murka Allah dan masuk neraka adalah sebuah kerugian. Dengan demikian, tidak menjauhinya bisa mengantarkan seseorang kepada neraka. Ketujuh, adanya akibat yang akan terjadi ketika orang yang melakukannya adalah munculnya permusuhan dan kebencian di kalangan peminum khamr dan pelaku perjudian. Juga menghalangi pelakunya untuk mengingat Allah SWT dan mengerjakan shalat. Padahal, keempat perbuatan tersebut merupakan perbuatan dosa. Berarti, kedua perbuatan tersebut (khamr dan berjudi) tidak hanya perbuatan dosa, tetapi juga perbuatan yang bisa menjadi penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Ini sejalan dengan hadits Nabi SAW:
Ketiga, diberi sifat najis. Benda najis tentu tidak layak sama sekali untuk diminum, diproduksi, didistribusikan, dsb. Keempat, disebutkan termasuk perbuatan syetan. Sedangkan syetan tidak pernah mengerjakan perbuatan kecuali kejahatan dan kemungkaran. Kelima, diperintahkan untuk dijauhi. Perintah untuk menjauhi ini lebih tegas daripada dilarang untuk meminumnya. Jika dekat saja tidak boleh, tentu meminumnya dan memanfaatkannya lebih tidak boleh. Keenam, dikaitkannya orang yang mau meninggalkan perbuatan tersebut dengan keberuntungan. Itu artinya, mendekatinya merupakan sebuah kerugian. Sedangkan, parameter untung dan rugi dalam pandangan Islam adalah ridla Allah. Disebut sebagai sebuah keuntungan manakala mendapatkan ridla Allah dan masuk surga. Sementara apabila mendapatkan murka Allah dan masuk neraka adalah sebuah kerugian. Dengan demikian, tidak menjauhinya bisa mengantarkan seseorang kepada neraka. Ketujuh, adanya akibat yang akan terjadi ketika orang yang melakukannya adalah munculnya permusuhan dan kebencian di kalangan peminum khamr dan pelaku perjudian. Juga menghalangi pelakunya untuk mengingat Allah SWT dan mengerjakan shalat. Padahal, keempat perbuatan tersebut merupakan perbuatan dosa. Berarti, kedua perbuatan tersebut (khamr dan berjudi) tidak hanya perbuatan dosa, tetapi juga perbuatan yang bisa menjadi penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Ini sejalan dengan hadits Nabi SAW:
”Jauhilah khamr, karena sesungguhnya khamr itu adalah pembuka bagi setiap kejahatan” (HR Al Hakim, lihat dalam Al Mustadrak III hal 145).
Sedangkan Ibnu Abbas meriwayatkan hadits yang artinya:
“Barang siapa yang meminumnya (khamr), (sangat mungkin) ia menzinai ibunya”
Kedelapan, adanya larangan yang amat tegas
dengan bentuk istifham inkary (Apakah kalian mau berhenti), yang
berarti, berhentilah kalian. Seolah-olah setelah dijelaskan berbagai
bentuk larangan dalam ayat itu, apakah kalian masih saja tidak mau
berhenti? Bentuk seperti ini merupakan sebuah bentuk perintah yang
paling tegas
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan ketika ayat tersebut turun, Rasulullah SAW berkata:
“Telah diharamkan khamr”,
yang berarti mempertegas haramnya khamr.
Masih banyak hadits Nabi SAW yang menunjukkan haramnya khamr. Seperti:
“Setiap yang memabukkan itu adalah khamr, dan setiap khamr itu haram.” (HR Muslim dan Daruquthni).
”
Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr” (HR Muslim).
Semua nash tersebut, secara jelas dan tegas menunjukkan haramnya khamr.
Yang perlu diketahui, bahwa diharamkannya khamr itu,
bukan karena ada suatu illat tertentu. Tetapi ia diharamkan karena
semata-mata zatnya itu sendiri. Yakni, karena zat itu adalah khamr, maka
ia diharamkan. Berarti itu sama dengan haramnya bangkai, darah, dan
daging babi. Dalam masalah bangkai, darah, dan daging babi, Allah SWT
berfirman:
”Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan atas nama selain Allah” (Al Maidah 3).
Sedangkan berkaitan dengan khamr, Allah SWT berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi dengan anak panah itu
adalah perbuatan najis termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah agar
kamu mendapatkan keberuntungan” (Al Maidah 90).
Dalam ayat ini, kita diperintah untuk menjauhi khamr.
Perintah tersebut sama sekali tidak dapat dipahami dan dijumpai adanya
illat di dalamnya. Berarti, diharamkannya khamr karena ia adalah khamr.
Kesimpulan ini lebih dipertegas oleh penjelasan Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau bersabda:
”Diharamkannya khamr karena bendanya, banyak maupun sedikit. Juga (diharamkan) yang memabukkan dari setiap minuman” (HR An Nasa’i dengan sanad hasan, Sunan An Nasa’i VIII hal 320 dan 321).
Ibnu Umar juga meriwayatkan, ketika surat An Nisa’ 43
(larangan mabuk pada waktu shalat) diturunkan, dikatakan oleh
Rasulullah SAW:
”Diharamkan khamr karena zatnya” (HR Abu Daud).
Dua hadits ini menunjukkan secara jelas bahwa khamr itu diharamkan karena zatnya itu sendiri, bukan karena ada illat tertentu.
Yang dimaksud Dengan Khamr
Khamr berasal dari bahasa Arab yang berarti menutupi.
Di sebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan
menurut pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa
menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur (Naillul Authar IV 57).
Sedangkan dalam pengertian syara’, khamr tidak
terbatas pada perasan anggur saja, tetapi semua minuman yang memabukkan
dan tidak terbatas dari perasan anggur saja. Pengertian ini diambil
berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW. Diantaranya adalah hadits dari
Nu’man bin Basyir bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dari biji gandum itu terbuat khamr,
dari jewawut itu terbuat khamr, dari kismis terbuat khamr, dari kurma
terbuat khamr, dan dari madu terbuat khamr” (HR Jama’ah, kecuali An Nasa’i).
Dalam riwayat Ahmad ada tambahan
“Dan saya melarang dari setiap yang memabukkan”
Dari Jabir, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sejenis minuman yang biasa
diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuat dari jagung yang
dinamakan mizr. Rasulullah bertanya kepadanya, "apakah minuman itu memabukkan?” "Ya" jawabnya. Kemudian Rasulullah menjawab :
”Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah
berjanji kepada orang-orang yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia
akan memberi mereka minuman dari thinah al khabal. Mereka bertanya,
apakah thinah khabal itu? Jawab Rasulullah,"Keringat ahli neraka atau
perasan tubuh ahli neraka" (HR Muslim, An Nasa’i, dan Ahmad).
Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa bahwa ia berkata,
Saya mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar beliau
memberikan fatwanya tentang dua jenis minuman yang dibuat di Yaman,
yaitu al bit’i dan al murir. Yang pertama terbuat dari madu yang
kemudian dibuat minuman hingga keras (bisa memabukkan). Yang kedua
terbuat dari bijii-bijian dan gandum dibuat minuman hingga keras. Wahyu
yang turun kepada Rasulullah SAW telah lengkap dan sempurna, kemudian
Rasulullah SAW bersabda:
”Setiap yang memabukkan itu haram” (HR Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW juga bersabda:
”Setiap yang memabukkan itu khamr, dan setiap khamr itu haram” (HR Muslim dan Daruquthni).
Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja,
Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa khamr itu tidak terbatas terbuat dari perasan anggur saja,
sebagaimana makna urfi (Nailul Authar IX hal 57),
tetapi mencakup semua yang bisa menutupi akal dan memabukkannya. Setiap
minuman yang memabukkan dan menutupi akal layak disebut khamr, baik
terbuat dari anggur, gandum, jagung, kurma, maupun lainnya. Berarti itu
merupakan pengertian syar’i tentang khamr yang disampaikan dalam
hadits-haditsnya (Nidhamul Uqubaat oleh Abdurrahman Al Maliki hal 50).
Dalam keadaan demikian, yakni adanya makna syar’i -makna baru yang
dipindahkan dari makna aslinya oleh syara’ – yang berbeda dengan makna
lughawi dan makna urfi, maka makna syar’i tersebut harus didahulukan
daripada makna lughawi dan makna urfi.
Jika khamr diharamkan karena zatnya, sementara pada hadits di atas dinyatakan bahwa “setiap yang memabukkan itu khomr”,
berarti itu menunjukkan kepada kita bahwa sifat yang melekat pada zat
khamr adalah memabukkan. Karena sifat utama khamr itu memabukkan, maka
untuk mengetahui keberadaan zat khamr itu atau untuk mengenali zatnya
adalah dengan meneliti zat-zat apa saja yang memiliki sifat memabukkan.
Kini, setelah dilakukan tahqiiq al manath (penelitian terhadap fakta), oleh para kimiawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa zat yang memilki sifat memabukkan adalah etil alkohol atau etanol.
Zat inilah yang memiliki khasiat memabukkan. Walaupun gugus alkohol itu
tidak hanya etanol, masyarakat secara umum menyebutnya dengan nama
alkohol saja. Zat inilah yang menjadi penyebab sebuah minuman bisa
memabukkan. Dengan melalui proses fermentasi, benda-benda yang
mengandung karbohidrat -seperti kurma, anggur, singkong, beras, jabung,
dsb– bisa diproses menjadi minuman memabukkan. Apabila diteliti, setelah
dilakukan proses fermentasi pada benda-benda tersebut adalah munculnya
etil alkohol yang sebelumnya tidak ada.
Karena sifatnya yang memabukkan itulah maka apabila
dicampurkan atau bercampur dengan air atau minuman bisa menyebabkan
mabuk bagi setiap orang yang meminumnya. Tinggi-rendahnya kadar alkohol
di dalam minuman tersebut sangat menentukan ‘keras-tidaknya’ sebuah
minuman.
Sebenarnya, airnya sendiri tidaklah memiliki khasiat
untuk memabukkan. Sebagai buktinya, apabila air itu dipisahkan dari
‘alkohol’, maka air tidak akan bisa membuat mabuk bagi peminumnya, dan
tentu saja tidak bisa disebut sebagai khamr. Maka, kalau ada suatu
minuman yang didalamnya ada zat alkohol, kemudian zat alkoholnya secara
pasti sudah hilang, maka minuman itu menjadi halal. Karena memang yang
diharamkan adalah zat khamrnya.
Berubahnya minuman keras menjadi cuka menjadi contoh dalam kasus ini. Para fuqaha sepakat apabila ada khamr yang berubah secara alamiah (tidak karena ada rekayasa manusia) hukumnya halal untuk memakan atau meminumnya (Fiqh Sunnah III hal 326). Sedangkan apabila perubahan itu direkayasa para ulama berbeda pendapat. Jika khamr itu adalah zat alkohol, maka setiap minuman di dalamnya terkandung alkohol bisa disebut sebagai khamr. Tidak dilihat lagi asal-usulnya secara ‘kasat mata’. Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW menegaskan bahwa khamr bisa terbuat dari berbagai benda.
Pada faktanya, memang semua benda yang disebutkan Rasullah SAW, seperti; gandum, anggur, kurma, madu, dsb, itu bisa memabukkan. Dan, memang pada semua benda itu ketika diproses menjadi minuman yang memabukkan dapat dibuktikan bahwa di dalamnya terdapat zat alkoholnya.
Berubahnya minuman keras menjadi cuka menjadi contoh dalam kasus ini. Para fuqaha sepakat apabila ada khamr yang berubah secara alamiah (tidak karena ada rekayasa manusia) hukumnya halal untuk memakan atau meminumnya (Fiqh Sunnah III hal 326). Sedangkan apabila perubahan itu direkayasa para ulama berbeda pendapat. Jika khamr itu adalah zat alkohol, maka setiap minuman di dalamnya terkandung alkohol bisa disebut sebagai khamr. Tidak dilihat lagi asal-usulnya secara ‘kasat mata’. Dari Nu’man bin Basyir, Rasulullah SAW menegaskan bahwa khamr bisa terbuat dari berbagai benda.
Pada faktanya, memang semua benda yang disebutkan Rasullah SAW, seperti; gandum, anggur, kurma, madu, dsb, itu bisa memabukkan. Dan, memang pada semua benda itu ketika diproses menjadi minuman yang memabukkan dapat dibuktikan bahwa di dalamnya terdapat zat alkoholnya.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa diharamkannya
khamr itu karena zatnya, maka hukum meminumnya adalah haram. Tidak
dilihat lagi segi kuantitas zatnya, baik sedikit maupun banyak, semuanya
haram. Hal ini sama dengan memakan daging babi atau bangkai, hukumnya
haram, baik sedikit maupun banyak, karena kedua benda itu diharamkan
karena zatnya. Demikian juga haramnya khamr tidak dilihat dari segi
pengaruh bagi peminumnya. Baik akan mengakibatkan mabuk atau tidak bagi
peminumnya, hukumnya tetap haram. Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah
bersabda:
"Setiap yang memabukkan dalam keadaan banyaknya, maka sedikitnya pun haram" (HR Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Daruquthni)
Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:
”Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan
jika banyaknya satu faraq (16 rithl = 7, 83 liter) dapat memabukkan,
maka satu tangan dari minuman tersebut adalah haram” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidziy)
Dua hadits tersebut menunjukkan bahwa sebuah minuman
tidak dilihat kadar/prosentase alkolohol/khamr yang terkandung di
dalamnya, tetapi dilihat dari segi ada atau tidaknya zat khamr di situ.
Pengertian faraq dan mil’ul kaffi adalah suatu
perumpamaan untuk menunjukkan ukuran banyak dan sedikit. Bukan untuk
membatasi pengertiannya dengan ukuran tersebut. Karena itu, para fuqaha dan muhadditsin mengambil pengertian dari hadits tersebut bahwa ukuran sedikit khamr mencakup ‘setetes khamr’ pula (Al Fiqh Ala al Madzahib al Arba’ah, Abdurrahman Al Jaziri V hal 17).
Menurut arti bahasa, kata qaliiluhu (sedikitnya) menunjukkan bahwa yang
dimaksud di sini bukan hanya sekedar ukuran atau jumlah, tetapi
menyangkut kadar/persentase, baik tinggi atau rendah.
Al Qamus al Muhith (III hal 681) mengartikan kata qaliil adalah ukuran sedikitnya sesuatu adalah paling sedikit. Sedangkan Al Mu’jamul al Wasith
(II hal 756) memberikan arti kata qaliil adalah sesuatu yang hampir
tidak ada sama sekali. Berdasarkan ketentuan bahasa Arab tersebut, maka
yang dimaksud kata qaliiluhu haram (sedikitnya pun haram) adalah
jumlah/ukuran yang sedikit atau kadar/persentase yang sedikit. Ini
berarti, setiap minuman yang mengandung zat alkohol, walapun kadar
persentasenya sedikit sekali, maka dapat dikategorikan dalam kelompok
haram. Sebab, yang diharamkan syara’ adalah zat alkoholnya yang sudah
mengalami proses peragian dan dapat memabukkan bila diminum dalam
ukuran/jumlah besar.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa setiap minuman yang beralkohol adalah khamr dan hukumnya haram,
baik kadar alkoholnya tinggi atau rendah. Bukan karena bisa memabukkan
atau tidak bagi peminumnya. Bukan pula sedikit atau banyaknya yang
diminum. Juga bukan karena diminum sebagai khamr murni atau dicampur
dengan minuman lainnya. Sebab, diharamkannya khamr semata-mata karena
zatnya. Dengan demikian, beberapa jenis minuman seperti : brandy, wisky,
martini, dan lain-lain yang kadar alkoholnya mencapai 40 sampai 60
persen termasuk kategori khamr. Demikian pula jenis janever, holland,
geneva yang kadar alkoholnya mencapai 33 sampai 40 persen. Termasuk pula
jenis bir ringan sperti eyl, portar, estote, dan munich, malaga, anggur
cap orang tua, mengandung 2 hingga 15 persen alkohol. Semua jenis
minuman tersebut adalah khamr dan haram hukumnya, meskipun namanya
berbeda-beda. Dari Ubadah bin Ash Shamit bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sekelompok manusia dari umatku akan menghalalkan khamr, dengan nama (baru) yang mereka sebutkan" (HR Imam Ahmad dan Ibnu Majah).
(http://mtaufiknt.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar