Selama ini kita hanya mengenal kata “`ala qodrina” yang kemudian
diserap dalam bahasa Indonesia “`ala kadarnya” atau seadanya. Dalam
bahasa Arab kata “`ala” itu artinya di atas tapi masih nempel. Sedangkan
“fauqo” juga di atas tapi tidak nempel seperti “`ala”.
Maka reportase ini memakai judul “Skizofrenia Fauqo Qodrina” karena
pembahasan tentang skizofrenia yang diberikan oleh Prof. Dr. dr. H.
Dadang Hawari, Psikiater sangat lengkap, detail dan komprehensif. Jadi
sangat tidak layak kalau pembahasan tentang skizofrenia pada Ahad, 22
September 2013 oleh Prof. Dadang ini ala kadarnya tapi sangat fauqo
qodrina.
Tapi sayangnya karena kita adalah bangsa yang sangat terbiasa hidup
ala kadarnya sehingga bahasa sehari-hari kita belum mampu menyerap kata
“fauqo qodrina” tersebut.
Jika Prof. Dadang Hawari yang jadi pembicara atau pengisi acara maka
jangan berharap beliau datang terlambat. Sebagaimana Kursus Babak I dan
II, acara Kursus Babak III ini pun dimulai pukul 09.00 WIB. Tapi Prof.
Dadang sudah hadir sejak pukul 08.00 WIB.
Ust. Syamsul sebagai MC kali ini mengatakan bahwa Kursus
Bersertifikat Babak III ini memiliki tema utama “Skizofrenia”. Setelah
acara dibuka dengan pembacaan al Fatihah bersama, Prof. Dadang pun
memulai pencerahannya dengan memberikan pengertian Skizofrenia secara
bahasa.
“Skizofrenia itu terdiri dari dua kata. Skizo artinya jiwa. Frenia
adalah pecah,” ujar Prof. Dadang. Maka dapat dipahami dari dua kata
tersebut skizofrenia adalah jiwa yang pecah, split personality, atau
meminjam istilah Prof. Dadang sendiri skizofrenia adalah kepribadian
ganda.
Untuk memperdalam pengertian tentang skizofrenia, Prof. Dadang
mengulas sedikit film berjudul, “A Beautiful Mind” yang diperankan oleh
Russel Crowe. Belajar dari film yang mengisahkan kejadian nyata seorang
matematikawan genius bernama John Nash yang menderita gangguan jiwa
skizofrenia.
John Nash dalam film tersebut berhasil secara pendidikan/kognitif. Ia
bisa sembuh berkat berobat secara teratur dan terus-menerus serta
berkat dukungan penuh dari keluarga. Meskipun di akhir film ia masih
melihat “teman halusinasinya” asalkan memiliki kecerdasan untuk
mengabaikannya.
Prof. Dadang kemudian mengajukan pertanyaan, “Skizofrenia itu
penyakit atau bukan?”. Beliau kemudian mengajak peserta untuk membuka
hal. 3 dari buku beliau yang berjudul “Skizofrenia”. Dari buku tersebut
dapat dipahami mengapa skizofrenia bisa dikategorikan sebagai penyakit
karena:
a. Perjalanan penyakit ini (skizofrenia) dapat diterangkan dengan bukti-bukti ilmiah.
b. Dengan pemahaman pada butir (a) tersebut dapat ditegakkan diagnosis penyakit (skizofrenia).
c. Penyakit tersebut dapat diobati.
d. Hasil pengobatan dapat dibuktikan keberhasilannya.
Lebih lanjut lagi, Prof. Dadang menjelaskan, “Gejala positif
skizofrenia itu bukan berarti baik justru itu untuk istilah ketika
skizonya sedang aktif dan gejala negatif skizofrenia ketika skizonya
dalam keadaan pasif. Silahkan buka dan baca `Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa Perspektif al Quran dan as Sunah` hal. 264 untuk lebih
lengkap dan detailnya.”
“Menyikapi orang skizo itu bukan dibantah secara frontal tapi
di-iya-in aja dulu. Itu bukan berarti kita setuju tapi dibujuk
pelan-pelan untuk diobati.” Setelah menjelaskan hal tersebut Prof.
Dadang kembali mengajukan pertanyaan, “Bolehkah penderita skizofrenia
itu menikah?”
Ust. Darmawan coba menjawab, “Boleh asalkan pasangannya adalah orang
yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menangani dan menanggulangi
jika pada suatu hari nanti ia kambuh.”
Untuk memberikan jawaban mengenai pertanyaan tersebut, Prof. Dadang
mempersilahkan peserta untuk membuka buku “Skizofrenia” halaman 67. Pada
intinya dalam permasalahan pernikahan sebaiknya dengan orang jauh,
bukan dengan saudara dekat. Hal tersebut semata-mata untuk menghindari
kemungkinan adanya faktor genetik (keturunan).
Ust. Ginanjar menanyakan perihal anak yang indigo yang kemudian
justru ada sekolah untuk anak-anak indigo yang dikhawatirkan akan
menumbuhsuburkan kasus tersebut. Prof. Dadang menyatakan bahwa mereka
yang merasa indigo bisa juga dimasukkan ke dalam kategori skizofrenia.
Kemudian Prof. Dadang melanjutkan dengan kasus skizofrenia yang
disebabkan oleh kurang perhatiannya ibu dan bapak. Bapak sibuk kerja dan
ibu juga sibuk kerja. Hari libur kerja pun yang semestinya digunakan
untuk kumpul keluarga justru ibu-bapaknya istirahat di rumah karena
kecapean kerja.
Akhirnya anak kehilangan figur ibu-bapak. Anak hanya berteman laptop,
modem, jaringan internet dan teman-teman imajinatif yang ia kenal di
dunia maya. “Sebenarnya ibu rumah tangga itu adalah pekerjaan juga. Tapi
sayangnya kita menganggap aktivitas dan kesibukan mengurus rumah tangga
bukan merupakan pekerjaan. Akhirnya ada yang merasa sia-sia sudah
sekolah tinggi-tinggi cuma jadi ibu rumah tangga.”
“Kedua orang tua yang sibuk kerja harus memiliki waktu untuk
anak-anak. Kumpul dengan keluarga itu bukan pada lamanya tapi pada
kualitasnya,” ujar Prof. Dadang.
“Manusia yang sadar itu kalau ia sudah tahu kewajibannya. Kalau masih
belum tahu apa saja kewajiban yang harus ia tunaikan berarti ia belum
sadar. Dalam agama ada tiga golongan manusia yang dianggap belum sadar
yang lepas dari kewajiban: pertama anak kecil sampai baligh. Kedua orang
tidur sampai bangun. Ketiga orang yang sakit ingatan sampai ia sembuh.”
Ust. Ade yang dari awal serius mengikuti pencerahan dari Prof. Dadang
mulai terangsang syarafnya untuk mengajukan pertanyaan, “Prof apa
bedanya antara autis dengan skizofrenia? Dan apa itu kesurupan?”
Prof. Dadang menjawab, “Autis itu gejala sedangkan skizofrenia adalah
diagnosa. Jadi tidak sama antara gejala dengan diagnosa. Seperti panas
itu gejala sedangkan malaria itu adalah diagnoasa. Paham iya!”
Menanggapi kesurupan, Prof. Dadang menyatakan bahwa ia bisa dibuat
dalam keadaan trans. Prof. Dadang juga membahas perihal kesurupan
massal. “Kesurupan massal itu terjadi pada sekolah yang suasana
belajarnya sangat tegang. Sehingga begitu ada satu murid yang kesurupan
yang lain ikut kesurupan maka terjadilah kesurupan massal.”
Seperti kita bersama-sama menonton final piala AFF U19. Suasana saat
itu sangat menegangkan. Begitu eksekutor terakhir penetu kemenangan
timnas “Garuda Muda” berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dengan
menjebol gawang timnas Vietnam, satu orang bersorak maka sontak semua
penonton seisi stadiun Sidoarjo bersorak.
“Sembuh bagi penderita skizofrenia itu adalah pulihnya fungsi
sosialnya, bisa kerja, sekolah atau kuliah, bisa bergaul, dan juga bisa
beragama dengan baik. Sedangkan obat jika itu direkomendasikan untuk
diminun terus-menerus maka yakinilah obat itu sebagai vitamin atau
makanan tumbuhan. Orang yang sehat saja harus makan banyak
suplemen/vitamin apalagi mereka yang didiagnosa sebagai penderita
skizofrenia,” ujar Prof. Dadang.
Ust. Yuki menanyakan dosa/kesalahan kecil yang dilakukan
terus-menerus setiap hari apakah akan berpengaruh pada perkembangan jiwa
kita? Prof Dadang menjawab, “Ketika kita melakukan dosa maka akan
muncul perasaan bersalah. Karena dosa itu dilakukan setiap hari, meski
ia kecil, bisa berpengaruh negatif pada perkembangan jiwa kita. Yang
berbahaya adalah ketika orang melakukan kesalahan atau dosa tapi tidak
ada perasaan bersalah sedikit pun dalam dirinya. Kita menyebutnya dengan
pembunuh berdarah dingin.” (Mohamad Istihori/madanionline.org).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar