15 Mei 2014

Skizofrenia “Fauqo Qodrina”

Selama ini kita hanya mengenal kata “`ala qodrina” yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia “`ala kadarnya” atau seadanya. Dalam bahasa Arab kata “`ala” itu artinya di atas tapi masih nempel. Sedangkan “fauqo” juga di atas tapi tidak nempel seperti “`ala”. Maka reportase ini memakai judul “Skizofrenia Fauqo Qodrina” karena pembahasan tentang skizofrenia yang diberikan oleh Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater sangat lengkap, detail dan komprehensif. Jadi sangat tidak layak kalau pembahasan tentang skizofrenia pada Ahad, 22 September 2013 oleh Prof. Dadang ini ala kadarnya tapi sangat fauqo qodrina.
Tapi sayangnya karena kita adalah bangsa yang sangat terbiasa hidup ala kadarnya sehingga bahasa sehari-hari kita belum mampu menyerap kata “fauqo qodrina” tersebut.
Jika Prof. Dadang Hawari yang jadi pembicara atau pengisi acara maka jangan berharap beliau datang terlambat. Sebagaimana Kursus Babak I dan II, acara Kursus Babak III ini pun dimulai pukul 09.00 WIB. Tapi Prof. Dadang sudah hadir sejak pukul 08.00 WIB.
Ust. Syamsul sebagai MC kali ini mengatakan bahwa Kursus Bersertifikat Babak III ini memiliki tema utama “Skizofrenia”. Setelah acara dibuka dengan pembacaan al Fatihah bersama, Prof. Dadang pun memulai pencerahannya dengan memberikan pengertian Skizofrenia secara bahasa.
“Skizofrenia itu terdiri dari dua kata. Skizo artinya jiwa. Frenia adalah pecah,” ujar Prof. Dadang. Maka dapat dipahami dari dua kata tersebut skizofrenia adalah jiwa yang pecah, split personality, atau meminjam istilah Prof. Dadang sendiri skizofrenia adalah kepribadian ganda.
Untuk memperdalam pengertian tentang skizofrenia, Prof. Dadang mengulas sedikit film berjudul, “A Beautiful Mind” yang diperankan oleh Russel Crowe. Belajar dari film yang mengisahkan kejadian nyata seorang matematikawan genius bernama John Nash yang menderita gangguan jiwa skizofrenia.
John Nash dalam film tersebut berhasil secara pendidikan/kognitif. Ia bisa sembuh berkat berobat secara teratur dan terus-menerus serta berkat dukungan penuh dari keluarga. Meskipun di akhir film ia masih melihat “teman halusinasinya” asalkan memiliki kecerdasan untuk mengabaikannya.
Prof. Dadang kemudian mengajukan pertanyaan, “Skizofrenia itu penyakit atau bukan?”. Beliau kemudian mengajak peserta untuk membuka hal. 3 dari buku beliau yang berjudul “Skizofrenia”. Dari buku tersebut dapat dipahami mengapa skizofrenia bisa dikategorikan sebagai penyakit karena:
a. Perjalanan penyakit ini (skizofrenia) dapat diterangkan dengan bukti-bukti ilmiah.
b. Dengan pemahaman pada butir (a) tersebut dapat ditegakkan diagnosis penyakit (skizofrenia).
c. Penyakit tersebut dapat diobati.
d. Hasil pengobatan dapat dibuktikan keberhasilannya.
Lebih lanjut lagi, Prof. Dadang menjelaskan, “Gejala positif skizofrenia itu bukan berarti baik justru itu untuk istilah ketika skizonya sedang aktif dan gejala negatif skizofrenia ketika skizonya dalam keadaan pasif. Silahkan buka dan baca `Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa Perspektif al Quran dan as Sunah` hal. 264 untuk lebih lengkap dan detailnya.”
“Menyikapi orang skizo itu bukan dibantah secara frontal tapi di-iya-in aja dulu. Itu bukan berarti kita setuju tapi dibujuk pelan-pelan untuk diobati.” Setelah menjelaskan hal tersebut Prof. Dadang kembali mengajukan pertanyaan, “Bolehkah penderita skizofrenia itu menikah?”
Ust. Darmawan coba menjawab, “Boleh asalkan pasangannya adalah orang yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menangani dan menanggulangi jika pada suatu hari nanti ia kambuh.”
Untuk memberikan jawaban mengenai pertanyaan tersebut, Prof. Dadang mempersilahkan peserta untuk membuka buku “Skizofrenia” halaman 67. Pada intinya dalam permasalahan pernikahan sebaiknya dengan orang jauh, bukan dengan saudara dekat. Hal tersebut semata-mata untuk menghindari kemungkinan adanya faktor genetik (keturunan).
Ust. Ginanjar menanyakan perihal anak yang indigo yang kemudian justru ada sekolah untuk anak-anak indigo yang dikhawatirkan akan menumbuhsuburkan kasus tersebut. Prof. Dadang menyatakan bahwa mereka yang merasa indigo bisa juga dimasukkan ke dalam kategori skizofrenia.
Kemudian Prof. Dadang melanjutkan dengan kasus skizofrenia yang disebabkan oleh kurang perhatiannya ibu dan bapak. Bapak sibuk kerja dan ibu juga sibuk kerja. Hari libur kerja pun yang semestinya digunakan untuk kumpul keluarga justru ibu-bapaknya istirahat di rumah karena kecapean kerja.
Akhirnya anak kehilangan figur ibu-bapak. Anak hanya berteman laptop, modem, jaringan internet dan teman-teman imajinatif yang ia kenal di dunia maya. “Sebenarnya ibu rumah tangga itu adalah pekerjaan juga. Tapi sayangnya kita menganggap aktivitas dan kesibukan mengurus rumah tangga bukan merupakan pekerjaan. Akhirnya ada yang merasa sia-sia sudah sekolah tinggi-tinggi cuma jadi ibu rumah tangga.”
“Kedua orang tua yang sibuk kerja harus memiliki waktu untuk anak-anak. Kumpul dengan keluarga itu bukan pada lamanya tapi pada kualitasnya,” ujar Prof. Dadang.
“Manusia yang sadar itu kalau ia sudah tahu kewajibannya. Kalau masih belum tahu apa saja kewajiban yang harus ia tunaikan berarti ia belum sadar. Dalam agama ada tiga golongan manusia yang dianggap belum sadar yang lepas dari kewajiban: pertama anak kecil sampai baligh. Kedua orang tidur sampai bangun. Ketiga orang yang sakit ingatan sampai ia sembuh.”
Ust. Ade yang dari awal serius mengikuti pencerahan dari Prof. Dadang mulai terangsang syarafnya untuk mengajukan pertanyaan, “Prof apa bedanya antara autis dengan skizofrenia? Dan apa itu kesurupan?”
Prof. Dadang menjawab, “Autis itu gejala sedangkan skizofrenia adalah diagnosa. Jadi tidak sama antara gejala dengan diagnosa. Seperti panas itu gejala sedangkan malaria itu adalah diagnoasa. Paham iya!”
Menanggapi kesurupan, Prof. Dadang menyatakan bahwa ia bisa dibuat dalam keadaan trans. Prof. Dadang juga membahas perihal kesurupan massal. “Kesurupan massal itu terjadi pada sekolah yang suasana belajarnya sangat tegang. Sehingga begitu ada satu murid yang kesurupan yang lain ikut kesurupan maka terjadilah kesurupan massal.”
Seperti kita bersama-sama menonton final piala AFF U19. Suasana saat itu sangat menegangkan. Begitu eksekutor terakhir penetu kemenangan timnas “Garuda Muda” berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dengan menjebol gawang timnas Vietnam, satu orang bersorak maka sontak semua penonton seisi stadiun Sidoarjo bersorak.
“Sembuh bagi penderita skizofrenia itu adalah pulihnya fungsi sosialnya, bisa kerja, sekolah atau kuliah, bisa bergaul, dan juga bisa beragama dengan baik. Sedangkan obat jika itu direkomendasikan untuk diminun terus-menerus maka yakinilah obat itu sebagai vitamin atau makanan tumbuhan. Orang yang sehat saja harus makan banyak suplemen/vitamin apalagi mereka yang didiagnosa sebagai penderita skizofrenia,” ujar Prof. Dadang.
Ust. Yuki menanyakan dosa/kesalahan kecil yang dilakukan terus-menerus setiap hari apakah akan berpengaruh pada perkembangan jiwa kita? Prof Dadang menjawab, “Ketika kita melakukan dosa maka akan muncul perasaan bersalah. Karena dosa itu dilakukan setiap hari, meski ia kecil, bisa berpengaruh negatif pada perkembangan jiwa kita. Yang berbahaya adalah ketika orang melakukan kesalahan atau dosa tapi tidak ada perasaan bersalah sedikit pun dalam dirinya. Kita menyebutnya dengan pembunuh berdarah dingin.” (Mohamad Istihori/madanionline.org).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar