13 Mei 2014

Tuak, ‘Wiski Alami’ yang Jadi Tradisi

Mencari dan mengolah Nira. Foto-foto: Andika Bakti.

Jika dari Berastagi hendak ke Danau Lau Kawar, kita akan melewati sebuah kuta bernama Torong. Kuta adalah bahasa Karo yang sepadan dengan desa bagi Indonesia/Jawa. Torong masih di kawasan Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Di sini ada deretan lapo tuak yang terletak di kedua sisi jalan. Lapo sendiri merupakan bahasa Batak yang berarti kedai. Dan lapo tuak adalah sebutan bagi kedai yang menu utamanya adalah tuak.
Di Torong, para penjual lapo tak hanya menjual tuak untuk diminum di tempat, tetapi juga punya stok yang dapat dijual dalam porsi banyak. Dan orang-orang yang datang ke lapo-lapo tuak memang tak hanya meminum tuak, tetapi juga membeli beberapa jerigen untuk kemudian dijual kembali.
Tuak yang dijual di Torong dibuat oleh penjual. Lingkungan memang mendukung. Di hutan-hutan sekitar kuta itu, pohon-pohon aren atau nira banyak dijumpai. Dan tuak dibuat dari bahan tersebut.
Marihot Purba adalah salah satu pemilik lapo tuak di Torong. Tak hanya sebagai pemilik kedai, dia juga bertindak sebagai paragat. Paragat adalah istilah orang Batak untuk menyebut penderes air nira.
Purba, yang sudah 12 tahun meracik tuak, selalu masuk hutan tiap pukul delapan pagi dan empat sore. Katanya, di jam-jam itulah waktu yang tepat untuk memanen air nira.
“Kalau di siang hari, rasa air nira akan menjadi asam,” ujar Purba.
Air nira didapat dari batang bakal buah yang dipotong. Bekas potongan itulah yang mengeluarkan air dengan rasa manis. Sebelum memanen, biasanya paragat memotong terlebih dahulu batang bakal buah. Harus menunggu dua minggu untuk bisa memanen air nira yang batang bakal buahnya baru dipotong. Batang itu akan terus mengeluarkan air selama empat bulan.
Sebelum memotong, ada teknik-teknik tertentu yang dilakukan oleh seorang paragat. Batang bakal buah itu harus dipukul-pukul dengan alat yang terbuat dari kayu keras berbentuk anak korek api berukuran besar. Pukulan-pukulan itu juga menghasilkan irama yang enak didengar. Biasanya, dilantunkan juga nyanyian-nyanyian pilu. Orang Batak percaya, dengan adanya nyanyian pilu itu, air yang akan keluar nantinya lebih banyak.
Mengolah Nira.
Selain itu, seorang paragat tak pernah mengganti pakaian yang biasa dipakainya untuk memanen air nira. Mereka percaya, dengan memakai pakaian yang itu-itu saja, pohon tersebut akan mengenal pemiliknya dan akan mengeluarkan air nira lebih banyak.
Setelah dipukul dan kemudian dipotong, batang itu diolesi sabun batangan agar tak dihinggapi serangga, lalu ditutup dengan daun talas. Setelah dua minggu, batang itu dipotong lagi setebal kira-kira tiga sentimeter. Bekas potongan yang telah menghasilkan air nira itu diberi wadah dari bambu untuk menampung tetes demi tetes airnya.
Setiap pagi, air yang ada di wadah bambu itu diambil. Lalu, wadah bambu yang kosong kembali diletakkan untuk dipanen di sore harinya, dan begitu seterusnya. Sekali panen, seorang paragat bisa memperoleh sekitar empat liter air nira. Air nira yang sudah dipanen kemudian dicampur dengan kulit raru. Tiga jam kemudian, jadilah tuak dengan rasa manis, sedikit kelat, beralkohol, dan menyegarkan. Kadar alkohol, manis, dan kelatnya, bergantung pada proses pembuatan dan berapa banyak kulit raru yang dicampurkan.
Selain dari air nira, tuak juga bisa dibuat dari air yang dikeluarkan batang bakal buah kelapa, biasanya disebut tuak kelapa. Rasanya tentu tak sama, dan tak bisa disimpulkan yang mana yang lebih enak.
“Yang terbiasa minum tuak kelapa, akan lebih suka tuak kelapa. Yang biasa minum tuak nira, pasti bilang tuak nira lebih enak. Tergantung kebiasaan,” jelas Purba.
***
Lima menit melewati pukul 12 malam di sebuah lapo tuak di kawasan Simalingkar B, Medan. Lima orang pemuda duduk mengelilingi sebuah meja persegi panjang. Mata mereka mulai merah, tapi bicara mereka tidak melantur.
Kelima pria itu punya asal yang berbeda-beda. Ada orang Karo, ada orang Batak Toba. Kedekatan mereka dengan tuak sudah terjalin sejak lama. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, mereka sudah mulai mencoba minum tuak.
Saat masih siswa sekolah dasar, minum tuak dilakukan hanya coba-coba dan sembunyi-sembunyi dari orangtua. Namun, ketika beranjak dewasa, tuak pun rutin diminum dan tak lagi ada protes dari orangtua.
Kadar alkohol tuak tak selalu sama. Ini dikarenakan tuak diracik secara alami, tak ada takaran pasti secara ilmiah.
“Ketika kondisiku tidak labil, minum segelas pun barangkali aku sudah mabuk. Tapi dalam kondisi yang stabil, dalam artian sehat jiwa raga, minum lebih lima gelas pun aku belum mabuk,” jelas seorang pemuda.
“Ini bisa memabukkan aku, wiski juga bisa memabukkan aku, tapi aku lebih memilih tuak, karena ini lebih alami. Setahuku, kalau diminum teratur, bisa menyehatkan badan, diminum berlebihan yang kurang ajar,” sahut pemuda yang lain.
Saat meminum tuak, ada makanan ringan atau kudapan yang biasa menemani. Kudapan itu mereka sebut tambul. Apapun bisa dijadikan tambul, mulai dari sekadar kacang-kacangan sampai ular goreng yang renyah.
Peminum tuak meyakini, selain untuk menghangatkan badan, tuak juga bisa mengobati sakit gula dan karang. Itu sebabnya, tuak bukan hanya menjadi minuman untuk mabuk, tapi juga menjadi sebuah tradisi. Tuak selalu dihidangkan dalam setiap hajatan orang Karo, Simalungun, Mandailing, Pak-pak, Angkola dan Batak Toba.
Di Tana Toraja di Sulawesi Selatan, ada juga minuman sejenis tuak. Ballo’ namanya. Ballo’ dibuat dari fermentasi cairan pohon tala atau lontara (Arecaceae borassus). Di sana, ballo’ juga menjadi tradisi, selalu dihidangkan pada acara-acara adat. Hanya saja, belakangan, seperti minuman keras lainnya, ballo’ juga disita pihak kepolisian. November 2012 lalu, misalnya, Kepolisian Sektor Kota Rappocini menyita sekitar tiga ribu liter ballo’. Tapi penyitaan semacam ini tak pernah terjadi di wilayah-wilayah di Sumatera Utara. (www.lenteratimur.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar