15 Juni 2014

Enau, Sopi, dan Tradisi

Di sela perjalanan ke Kampung Melo, Manggarai Barat, Flores, di pinggiran jalan, berderet beberapa botol air mineral yang isinya putih kekuningan. Terpikir itu bensin, tapi bukan.

Itu adalah sopi. Bukan bahan bakar, tapi sopi adalah minuman tradisional yang dikenal di beberapa daerah di Indonesia dengan nama yang sama, seperti di Maluku, Papua, dan Flores. Nama lain di Flores untuk sopi adalah moke.
Sopi di Flores, tepatnya di Manggarai Barat itu, dikemas dalam bekas botol-botol air mineral. Warna sopi bermacam-macam; bening, atau bening kekuningan. Konon, degradasi warna ini berbeda karena kadar alkohol yang terkandung di dalam sopi. Semakin tinggi kadar alkoholnya, semakin bening sopi tersebut.
Sopi sendiri berasal dari istilah Belanda, yaitu zoopje, yang artinya alkohol cair. Sopi merupakan hasil minuman hasil fermentasi dari pohon aren, memiliki kadar alkohol mulai dari 30% ke atas.
Di Flores, sopi tidak hanya dikonsumsi pribadi. Ia kerap menjadi seserahan dalam upacara adat, atau hadiah kepada tuan rumah ketika berkunjung. Seluruh ritual adat di sana pun diawali dengan acara minum sopi.
Sopi kerap disebut dengan BM, singkatan dari "bisa membakar". Sopi yang kadar alkoholnya tinggi, jika dituang di meja atau bidang apa pun, bisa menimbulkan api. Sebagai gambaran, mungkin kita bisa mengingat-ingat spirtus.
"Sopi itu panas, rasanya di sini (menunjuk leher)," kata Rama, seorang ranger di Pulau Rinca, ketika ditanya perihal rasa sopi.
Sementara, Kusumorini Susanto dari komunitas @KeluaRumah, mencatat sedikit tentang sopi. Sopi di Flores itu dari enau. Pohon enau diiris, disalurkan di pipa untuk meneteskan getah. Biasanya, getah ini ditunggu kumpul dari pagi hingga sore, lalu dibawa pulang. Getah-getah ini diuapkan via alat sederhana yang terbuat dari bambu. Nah, hasil uap itulah yang nantinya akan kembali jadi air dan menghasilkan sopi.
Sopi biasa dimasak di rumah-rumah khusus atau pendopo-pendopo di kebun-kebun milik warga secara tradisional dengan pengetahuan turun-temurun. Kualitas sopi itu tergantung pada kualitas panci. Nah, konon, yang saya temukan di Flores Oktober lalu, adalah sopi yang diuapkan menggunakan tong ala kadarnya.
Sopi tidak cuma bisa dibuat dari pohon enau (nira), ia juga bisa dihasilkan dari pohon kelapa. Kalau rata-rata sopi di wilayah Timur itu lebih banyak dari enau. Tidak cuma di Flores, sopi juga dikenal di Papua dan Maluku.
Almascatie H, seorang blogger Maluku, bicara soal sopi Maluku. Pembuatan sopi diawali dengan air sadapan nira (sageru), sebelum dimasak dicampur dulu akar husor yang ditumbuk halus. Kenapa air sadapan harus dicampur akar? Karena kalau sekadar air nira atau saja langsung dimasak, malah bukan jadi sopi. Malah akan mengental, jadi gula aren.
Campuran itu lalu dimasak di tungku kedap udara. Lebih tepatnya disebut penyulingan. Yang diambil itu uap dari air itu. Uap air yang berubah jadi air lalu ditampung dalam bambu atau botol.
Proses masaknya biasanya sehari. Kalau proses penyadapannya itu dua minggu. Selama seminggu, dahan enau diketok-ketok terus supaya air sadapannya keluar dengan lancar. Tapi, cuaca juga punya peran penting. Kalau sering hujan, pengumpulan air sadapan ini akan lebih lama. Ditotal-total, prosesnya memakan waktu sekitar 10 harian, mulai dari awal menyadap hingga mengemas di botol. Di Flores, sopi dibanderol dengan harga berbeda-beda. Harga sopi kelas utama Rp10.000-Rp15.000 per botol 0,75 liter.
Meski sopi menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat Flores (juga Maluku dan Papua), namun keabsahannya masih menjadi perdebatan. Sopi dianggap barang ilegal untuk diperjualbelikan secara luas. Lepas dari itu, sopi tetap menjadi minuman beralkohol favorit masyarakat setempat. Sopi, dan bukan kopi. (http://areamagz.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar