Andai pasar sopi terbuka, mungkin masyarakat Sifnana hidup makmur.
Bayangkan, setiap hari sebuah keluarga di desa yang terletak tak jauh
dari Saumlaki itu mampu menghasilkan 16 liter sopi dengan harga Rp 30
ribu per liter.
Menuju Desa penghasil sopi
(minuman khas sejenis arak), cuma kira-kira 7 kilometer dari Saumlaki,
ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Desa Sifnana yang juga
disebut sebagai pusat penyulingan sopi itu tak menampakkan masyarakatnya
hidup makmur. Dilihat dari fisik bangunan rumah dan tampilan
orang-orang yang menghuni desa tersebut tampak sederhana. Tak tergambar
ada kemewahan di sana.
Namun, siapa sangka potensi ekonomi desa
itu sangat besar. Dengan menyuling sagero (air perasan dari mayang
kelapa) menjadi sopi, maka penghasilan sebuah keluarga tak kurang dari
Rp 300 ribu per hari. Persisnya, setiap KK mampu memproduksi sopi tak
kurang dari 16 liter per hari. Dengan harga per liter Rp 30 ribu, maka
penghasilan yang didapat adalah Rp 480 ribu.
Sayangnya, pasar
sopi tertutup. Masyarakat Sifnana yang telah berabad-abad membuat sopi
itu dilarang memasarkan produknya ke luar rumah. Mereka hanya
diperbolehkan menunggu pembeli yang datang. Oleh sebab itu pasar sangat
terbatas, dan penghasilan pun terbatas. Hasil penyulingan sopi sebuah
keluarga yang 16 liter per hari itu pun tak bisa dihabiskan dalam
sehari. “Bisa-bisa sepekan baru habis,” ujar seorang penyuling sopi.
Menurut
Bupati MTB BS Temmar, bagi masyarakat sopi adalah sumber pendapatan.
Tapi bagi pengkonsumsi sopi adalah penyakit. Dua hal yang berbenturan.
Apa jalan keluarnya? Tahun lalu Pemda MTB mengundang tim dari
Universitas Sam Ratulangi Manado, karena mereka punya pengalaman
mengolah sopi menjadi produk lain. Dan mereka sudah melakukan survei dan
penelitian. Sayangnya sopi yang dihasilkan di MTB tidak cukup memadai
untuk dikembangkan. Padahal Sulawesi Utara yang mampu memproduksi cukup
besar, maka kemungkinan investasi mengolah sopi menjadi produk lain
sangat terbuka. “Oleh karena itu dari pada kita ribut-ribut tentang
sopi, ya kita kendalikan saja produksinya sambil mencari alternatif
usaha lain,” kata BS Temmar.
Masalahnya, menuju alternatif lain
itu butuh waktu. Membangkitkan usaha lain dengan meninggalkan sebuah
usaha yang sudah berjalan secara turun temurun tidaklah mudah. Apalagi
jenis usaha yang harus ditinggalkan tersebut adalah membuat sopi
--sebuah usaha yang sebetulnya gampang mendatangkan untung, selain itu
tentu karena alasan menjaga tradisi.
Sopi menjadi bagian dari
model hubungan sosial masyarakat adat Maluku. Hubungan-hubungan sosial
antar sesama itu di tertibkan melalui aturan-aturan adat dengan
sanksi-sanksi bagi pelanggar. Jadi dalam aturan-aturan adat itu
masyarakat dibina menjaga ikatan persaudaraan dan untuk mencapai
partisipasi antar sesama, kerja sama dan saling membantu, menghargai dan
saling memberi hormat serta mengindahkan seseorang pada tempatnya, mana
yang tua dan mana yang muda. Dimensi kekeluargaan dan kekerabatan itu
dengan muatan-muatannya terdiri dari Familia, Ain Ni Ain, Pela atau
Teabel, Gandong, Masohi, Badati.
Sopi merupakan lambang persatuan
dan kesatuan, sudah digunakan dalam berbagai upacara adat di Maluku
sejak zaman dahulu. Kalau dalam upacara bikin-panas-pela, diisi dengan
acara khusus, seperti makan patita dengan disajikan khusus makanan
daerah, yang semuanya mengingatkan dan membuat hidup kembali persekutuan
pela ini. Tiap dilakukan panas-pela itu dimaksudkan mengulang
mengangkat peristiwa pertama ke hari ini, yang berarti mengingat dan
mempererat ikatan pela itu. Panas pela ini di hadiri oleh kepala adat
dari negeri-negeri berpela itu (Raja), tua-tua adat, anggoto-anggota
Saniri Negeri, pimpinan agama, tokoh-tokoh seperti kepala mongare dan
jujaro, para guru bersama rakyat yang datang dari negeri-negeri berpela
itu.
Upacara adat panas pela ini masih dilakukan di Maluku dengan
mengulang janji dan sumpah serta minum bersama dari satu gelas minuman
sopi (dulunya di gelas itu biasanya dimasukan setetes darah pada sopi)
sebagai tanda materai yang kuat pada ikatan pela itu dengan sanksi keras
kepada yang melanggar atau merusak hubungan pela ini.
Jadi,
mengapa produksi dan pemasaran sopi harus dihambat? Bukankah minuman
sopi sebagai warisan leluhur adalah menjadi bagian dari tradisi dan juga
mata pencaharian? Karena itu, mungkin jalan keluar itu adalah dengan
mengemas sopi sedemikian rupa hingga pantas diekspor ke luar negeri.
Kalau pun sopi harus diolah menjadi produk lain, beberapa jenis produk
turunan sopi dengan kadar alkohol yang rendah masih tak terlalu
mengganngu pengkonsumsi untuk dipasarkan. Begitu pula dengan sopi yang
sudah disaring berkali-kali, baunya tak lagi menyengat dan rasanya tak
sepanas sopi dengan kadar alkohol tinggi. Bahkan, rasa sopi bisa manis
dengan kadar alkohol sangat rendah.
Jadi, masih banyak cara
untuk mempertahankan tradisi penyulingan sopi sekaligus membuka pasar
secara terbuka. Untuk menjaga agar pengkonsumsi tidak menjadi liar
terkena pengaruh alkohol, rasanya pemerintah tidak harus membatasi
produksi dan pasar para penyuling sopi.
Mewarisi Tradisi Bikin Sopi
Hari-hari
Abraham Sesermudi penuh dengan semangat hidup. Pria beranak dua yang
kerap dipanggil Ampi ini menjalani hidup apa adanya. Dengan keyakinan
bahwa menyuling sopi adalah menjaga tradisi sekaligus dapat menuai
penghasilan dari sana, Ampi sudah mantap memenuhi hari-harinya dengan
menyuling sopi. Dan betul, Ampi memenuhi kebutuhan hidup dari membuat
sopi. “Menyekolahkan anak, menafkahi istri dan bikin rumah, semua dari
penghasilan membuat sopi,” ujar Ampi, jebolan SMA Negeri Saumlaki tahun
2001.
Pria kelahiran Desa Sifnana Kecamatan Tanimbar --menikah
pada Februari 2005 ini, bersama kedua orang tuanya bertekad mewarisi
kebiasaan nenek moyangnya membikin sopi. Karena itu, tiap hari Ampi
memanjat pohon kelapa, mengambil mayang lalu diperas menjadi sagero (air
perasan mayang kelapa). Dari kira-kira 48 mayang akan menghasilkan 80
liter sagero. Dari 80 liter sagero itu direbus di belanga selama satu
jam, dan setelah itu uapnya akan menerobos melalui bambu yang memanjang
(ke atas, lurus, ke bawah, lurus lagi, kira-kira 15 meter)
berkelok-kelok hingga kemudian menetes ke botol minuman mineral (tempat
menampung tetesan). Uap yang menetes pelan itu adalah sopi. Melalui
penyulingan sederhana ini, Ampi mendapatkan 16 liter sopi dalam sekali
produksi.
Nah, Ampi dan kedua orang tuanya itu rata-rata mampu
menghasilkan dan menjual sopi 16 liter per hari. Tentu saja sang pembeli
datang sendiri ke tempat produksi. Jadi, dengan harga jual sopi Rp 30
ribu per liter, pendapatan Ampi cukup tinggi bukan? [Profil Usaha, Opini
Indonesia, Tahun III, Edisi 106, 30 Juni-6 Juli 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar