15 Juni 2014

Bikin Sopi Pundi-pundi tak Bertepi

Andai pasar sopi terbuka, mungkin masyarakat Sifnana hidup makmur. Bayangkan, setiap hari sebuah keluarga di desa yang terletak tak jauh dari Saumlaki itu mampu menghasilkan 16 liter sopi dengan harga Rp 30 ribu per liter.

Menuju Desa penghasil sopi (minuman khas sejenis arak), cuma kira-kira 7 kilometer dari Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Desa Sifnana yang juga disebut sebagai pusat penyulingan sopi itu tak menampakkan masyarakatnya hidup makmur. Dilihat dari fisik bangunan rumah dan tampilan orang-orang yang menghuni desa tersebut tampak sederhana. Tak tergambar ada kemewahan di sana.

Namun, siapa sangka potensi ekonomi desa itu sangat besar. Dengan menyuling sagero (air perasan dari mayang kelapa) menjadi sopi, maka penghasilan sebuah keluarga tak kurang dari Rp 300 ribu per hari. Persisnya, setiap KK mampu memproduksi sopi tak kurang dari 16 liter per hari. Dengan harga per liter Rp 30 ribu, maka penghasilan yang didapat adalah Rp 480 ribu.

Sayangnya, pasar sopi tertutup. Masyarakat Sifnana yang telah berabad-abad membuat sopi itu dilarang memasarkan produknya ke luar rumah. Mereka hanya diperbolehkan menunggu pembeli yang datang. Oleh sebab itu pasar sangat terbatas, dan penghasilan pun terbatas. Hasil penyulingan sopi sebuah keluarga yang 16 liter per hari itu pun tak bisa dihabiskan dalam sehari. “Bisa-bisa sepekan baru habis,” ujar seorang penyuling sopi.

Menurut Bupati MTB BS Temmar, bagi masyarakat sopi adalah sumber pendapatan. Tapi bagi pengkonsumsi sopi adalah penyakit. Dua hal yang berbenturan. Apa jalan keluarnya? Tahun lalu Pemda MTB mengundang tim dari Universitas Sam Ratulangi Manado, karena mereka punya pengalaman mengolah sopi menjadi produk lain. Dan mereka sudah melakukan survei dan penelitian. Sayangnya sopi yang dihasilkan di MTB tidak cukup memadai untuk dikembangkan. Padahal Sulawesi Utara yang mampu memproduksi cukup besar, maka kemungkinan investasi mengolah sopi menjadi produk lain sangat terbuka. “Oleh karena itu dari pada kita ribut-ribut tentang sopi, ya kita kendalikan saja produksinya sambil mencari alternatif usaha lain,” kata BS Temmar.

Masalahnya, menuju alternatif lain itu butuh waktu. Membangkitkan usaha lain dengan meninggalkan sebuah usaha yang sudah berjalan secara turun temurun tidaklah mudah. Apalagi jenis usaha yang harus ditinggalkan tersebut adalah membuat sopi --sebuah usaha yang sebetulnya gampang mendatangkan untung, selain itu tentu karena alasan menjaga tradisi.

Sopi menjadi bagian dari model hubungan sosial masyarakat adat Maluku. Hubungan-hubungan sosial antar sesama itu di tertibkan melalui aturan-aturan adat dengan sanksi-sanksi bagi pelanggar. Jadi dalam aturan-aturan adat itu masyarakat dibina menjaga ikatan persaudaraan dan untuk mencapai partisipasi antar sesama, kerja sama dan saling membantu, menghargai dan saling memberi hormat serta mengindahkan seseorang pada tempatnya, mana yang tua dan mana yang muda. Dimensi kekeluargaan dan kekerabatan itu dengan muatan-muatannya terdiri dari Familia, Ain Ni Ain, Pela atau Teabel, Gandong, Masohi, Badati.

Sopi merupakan lambang persatuan dan kesatuan, sudah digunakan dalam berbagai upacara adat di Maluku sejak zaman dahulu. Kalau dalam upacara bikin-panas-pela, diisi dengan acara khusus, seperti makan patita dengan disajikan khusus makanan daerah, yang semuanya mengingatkan dan membuat hidup kembali persekutuan pela ini. Tiap dilakukan panas-pela itu dimaksudkan mengulang mengangkat peristiwa pertama ke hari ini, yang berarti mengingat dan mempererat ikatan pela itu. Panas pela ini di hadiri oleh kepala adat dari negeri-negeri berpela itu (Raja), tua-tua adat, anggoto-anggota Saniri Negeri, pimpinan agama, tokoh-tokoh seperti kepala mongare dan jujaro, para guru bersama rakyat yang datang dari negeri-negeri berpela itu.

Upacara adat panas pela ini masih dilakukan di Maluku dengan mengulang janji dan sumpah serta minum bersama dari satu gelas minuman sopi (dulunya di gelas itu biasanya dimasukan setetes darah pada sopi) sebagai tanda materai yang kuat pada ikatan pela itu dengan sanksi keras kepada yang melanggar atau merusak hubungan pela ini.

Jadi, mengapa produksi dan pemasaran sopi harus dihambat? Bukankah minuman sopi sebagai warisan leluhur adalah menjadi bagian dari tradisi dan juga mata pencaharian? Karena itu, mungkin jalan keluar itu adalah dengan mengemas sopi sedemikian rupa hingga pantas diekspor ke luar negeri. Kalau pun sopi harus diolah menjadi produk lain, beberapa jenis produk turunan sopi dengan kadar alkohol yang rendah masih tak terlalu mengganngu pengkonsumsi untuk dipasarkan. Begitu pula dengan sopi yang sudah disaring berkali-kali, baunya tak lagi menyengat dan rasanya tak sepanas sopi dengan kadar alkohol tinggi. Bahkan, rasa sopi bisa manis dengan kadar alkohol sangat rendah.

Jadi, masih banyak cara untuk mempertahankan tradisi penyulingan sopi sekaligus membuka pasar secara terbuka. Untuk menjaga agar pengkonsumsi tidak menjadi liar terkena pengaruh alkohol, rasanya pemerintah tidak harus membatasi produksi dan pasar para penyuling sopi.


Mewarisi Tradisi Bikin Sopi
Hari-hari Abraham Sesermudi penuh dengan semangat hidup. Pria beranak dua yang kerap dipanggil Ampi ini menjalani hidup apa adanya. Dengan keyakinan bahwa menyuling sopi adalah menjaga tradisi sekaligus dapat menuai penghasilan dari sana, Ampi sudah mantap memenuhi hari-harinya dengan menyuling sopi. Dan betul, Ampi memenuhi kebutuhan hidup dari membuat sopi. “Menyekolahkan anak, menafkahi istri dan bikin rumah, semua dari penghasilan membuat sopi,” ujar Ampi, jebolan SMA Negeri Saumlaki tahun 2001.

Pria kelahiran Desa Sifnana Kecamatan Tanimbar --menikah pada Februari 2005 ini, bersama kedua orang tuanya bertekad mewarisi kebiasaan nenek moyangnya membikin sopi. Karena itu, tiap hari Ampi memanjat pohon kelapa, mengambil mayang lalu diperas menjadi sagero (air perasan mayang kelapa). Dari kira-kira 48 mayang akan menghasilkan 80 liter sagero. Dari 80 liter sagero itu direbus di belanga selama satu jam, dan setelah itu uapnya akan menerobos melalui bambu yang memanjang (ke atas, lurus, ke bawah, lurus lagi, kira-kira 15 meter) berkelok-kelok hingga kemudian menetes ke botol minuman mineral (tempat menampung tetesan). Uap yang menetes pelan itu adalah sopi. Melalui penyulingan sederhana ini, Ampi mendapatkan 16 liter sopi dalam sekali produksi.

Nah, Ampi dan kedua orang tuanya itu rata-rata mampu menghasilkan dan menjual sopi 16 liter per hari. Tentu saja sang pembeli datang sendiri ke tempat produksi. Jadi, dengan harga jual sopi Rp 30 ribu per liter, pendapatan Ampi cukup tinggi bukan? [Profil Usaha, Opini Indonesia, Tahun III, Edisi 106, 30 Juni-6 Juli 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar