Tribun Jogja/M Nur Huda
Wakapolres
Bantul, Kompol Dony Siswoyo didampingi Kasat Narkoba, AKP Hery Maryanto
menunjukkan barang bukti hasil operasi mulai 31 Desember 2013 hingga 3
Januari 2014 berupa minuman keras berbagai jenis, narkoba, dan para
tersangka, Senin (6/1/2014).
Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol R. Slamet Santosa menilai sanksi peraturan daerah (Perda) Kota Yogyakarta yang mengatur peredaran minuman keras (miras) tidak tegas. Kondisi itu menjadi salah satu penyebab munculnya aksi sweeping yang dilakukan kelompok warga yang merasa terganggu dengan bebasnya penjualan miras. Kapolres menyarankan Perda tentang miras harus segera direvisi.
"Pengawasan peredaran miras tidak ketat, karena semakin banyak miras
yang dijual setiap minimarket. Kondisi ini dapat memicu aksi dari
pihak-pihak yang terganggu dengan keberadaan miras ini," paparnya kepada
Tribun Jogja, Kamis (12/6).
Menurutnya, kendati miras yang dijual di minimarket yang menjamur di Kota Yogyakarta ini memiliki kadar alkohol di bawah ambang batas yang ditentukan (lima persen), namun peredarannya sudah terlalu bebas. Bahkan, hampir setiap warga dapat membelinya.
"Lemahnya pengawasan inilah yang kemudian disalah gunakan. Pembelian menjadi mudah karena tersedia di minimarket yang mudah di akses siapapun," ungkapnya.
Kapolresta menjelaskan, Perda yang ada belum mencakup secara keseluruhan hingga peredarannya sulit dikendalikan. Seharusnya, Perda yang diterapkan harus dapat menjangkau semua pihak yang terlibat dalam peredaran dan penjualannya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya sudah merekomendasikan adanya revisi Perda miras yang selama ini diberlakukan. Hal itu sangat penting terutama untuk menghindari dampak negatif peredaran dan penjualan minuman yang sudah terlalu bebas.
"Mengaca pada kejadian sweeping yang dilakukan di minimarket di Sorogen (Minggu (8/6) malam), kami melihat permasalahan ini muncul karena keresahan warga terhadap peredaran miras yang tidak terkontrol. Sehingga, perlu adanya revisi Perda yang selama ini diterapkan," kata dia.
Ia menambahkan, rekomendasi terhadap perubahan perda miras juga sudah dikaji melalui Criminal Justice System (CJS) untuk mengukur dampak dan perubahan yang tepat. "Hal itu penting dilakukan agar perubahan Perda yang dilakukan diiringi sanksi yang memberikan efek jera bagi pelanggarnya," tukasnya.
Aksi sweeping berujung pada tindak kekerasan memang dikhawatirkan muncul, apalagi jelang Ramadan. Namun kejadian ter rsebut bukan berarti tidak bisa diantisipasi.
Kabid Dalops Dinas Ketertiban Yogyakarta Totok Suryonoto mengatakan, biasanya sebelum melakukan aksi sweeping, ormas-ormas tersebut terlebih dahulu melaporkan deteksi mereka ke tempat-tempat yang menjual miras secara mengkhawatirkan atau melanggar aturan. "Mereka biasa laporkan dulu hasil deteksi mereka ke kepolisian atau Satpol PP. Kemudian akan kami tindak lanjuti. Jika memang melanggar, kami lakukan operasi," kata Totok saat dihubungi Tribun Jogja, Kamis (12/6) sore.
Ia mengklaim sweeping tetap dilakukan, maka tindakan tersebut biasanya tidak membuahkan hasil. Pasalnya, pada tempat yang menjadi sasaran sweeping tersebut sebelumnya dilakukan operasi oleh aparat.
Totok menjelaskan, saat ini regulasi yang mengatur peredaran miras di Yogyakarta masih menggunakan Perda Nomor 7 tahun 1953. Perda tersebut memperbolehkan penjualan minuman beralkohol yang kadarnya di bawah 5 persen, meski tetap di bawah pengawasan. Sementara untuk miras yang kadarnya lebih dari 5 persen, penjualan hanya boleh dilakukan di hotel berbintang tiga ke atas.
Menurut dia, meskipun berusia cukup tua, namun dari segi isi, Perda tersebut dianggap masih cukup relevan. "Tentu ada yang diperbarui, terutama pada segi sanksi pidananya," kata dia.(jogja.tribunnews.com)
Menurutnya, kendati miras yang dijual di minimarket yang menjamur di Kota Yogyakarta ini memiliki kadar alkohol di bawah ambang batas yang ditentukan (lima persen), namun peredarannya sudah terlalu bebas. Bahkan, hampir setiap warga dapat membelinya.
"Lemahnya pengawasan inilah yang kemudian disalah gunakan. Pembelian menjadi mudah karena tersedia di minimarket yang mudah di akses siapapun," ungkapnya.
Kapolresta menjelaskan, Perda yang ada belum mencakup secara keseluruhan hingga peredarannya sulit dikendalikan. Seharusnya, Perda yang diterapkan harus dapat menjangkau semua pihak yang terlibat dalam peredaran dan penjualannya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pihaknya sudah merekomendasikan adanya revisi Perda miras yang selama ini diberlakukan. Hal itu sangat penting terutama untuk menghindari dampak negatif peredaran dan penjualan minuman yang sudah terlalu bebas.
"Mengaca pada kejadian sweeping yang dilakukan di minimarket di Sorogen (Minggu (8/6) malam), kami melihat permasalahan ini muncul karena keresahan warga terhadap peredaran miras yang tidak terkontrol. Sehingga, perlu adanya revisi Perda yang selama ini diterapkan," kata dia.
Ia menambahkan, rekomendasi terhadap perubahan perda miras juga sudah dikaji melalui Criminal Justice System (CJS) untuk mengukur dampak dan perubahan yang tepat. "Hal itu penting dilakukan agar perubahan Perda yang dilakukan diiringi sanksi yang memberikan efek jera bagi pelanggarnya," tukasnya.
Aksi sweeping berujung pada tindak kekerasan memang dikhawatirkan muncul, apalagi jelang Ramadan. Namun kejadian ter rsebut bukan berarti tidak bisa diantisipasi.
Kabid Dalops Dinas Ketertiban Yogyakarta Totok Suryonoto mengatakan, biasanya sebelum melakukan aksi sweeping, ormas-ormas tersebut terlebih dahulu melaporkan deteksi mereka ke tempat-tempat yang menjual miras secara mengkhawatirkan atau melanggar aturan. "Mereka biasa laporkan dulu hasil deteksi mereka ke kepolisian atau Satpol PP. Kemudian akan kami tindak lanjuti. Jika memang melanggar, kami lakukan operasi," kata Totok saat dihubungi Tribun Jogja, Kamis (12/6) sore.
Ia mengklaim sweeping tetap dilakukan, maka tindakan tersebut biasanya tidak membuahkan hasil. Pasalnya, pada tempat yang menjadi sasaran sweeping tersebut sebelumnya dilakukan operasi oleh aparat.
Totok menjelaskan, saat ini regulasi yang mengatur peredaran miras di Yogyakarta masih menggunakan Perda Nomor 7 tahun 1953. Perda tersebut memperbolehkan penjualan minuman beralkohol yang kadarnya di bawah 5 persen, meski tetap di bawah pengawasan. Sementara untuk miras yang kadarnya lebih dari 5 persen, penjualan hanya boleh dilakukan di hotel berbintang tiga ke atas.
Menurut dia, meskipun berusia cukup tua, namun dari segi isi, Perda tersebut dianggap masih cukup relevan. "Tentu ada yang diperbarui, terutama pada segi sanksi pidananya," kata dia.(jogja.tribunnews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar