Dalam sebuah referensi disebutkan
bahwa sejarah Ciu dimulai pada abad ke-17, di jaman pertengahan
kerajaan mulai mengembangkan berbagai budidaya seperti gula tebu dan
beras. Dari dua komoditi itu kemudian dibuatlah anggur yang terbuat dari
beras yang difermentasi, tetes tebu dan kelapa. Minuman ini
diproduksi sejak akhir abad ke-17 sampai abad ke-19 dan merupakan
minuman populer di Eropa, terutama Swedia. Minuman ini juga umum
dikenal sebagai the Batavia Arrack van Oosten.
Pada
waktu pemerintahan raja-raja (keraton Surakarta dan Yogyakarta)
sebelum Indonesia merdeka, terdapat tradisi pada acara-acara pesta
panen raya atau penyambutan tamu-tamu kerajaan dengan mengadakan pesta
dan tarian tradisional seperti Tayub, Sinden Ledek dan sebagainya.
Acara-acara ini marak setelah Belanda masuk campur tangan demi
menjatuhkan kekuasaan kraton secara pelan-pelan tentunya. Pada acara
acara tersebut, walaupun berlangsung pada siang hari, pasti ada acara
minum minuman keras “Ciu Bekonang” untuk mabuk-mabukan, baik di
kalangan punggawa kerajaan maupun rakyat di sekitar kerajaan
Pada
masa itu walaupun usaha yang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi,
namun telah menghasilkan sesuatu yang disebut “CIU” dengan kadar
alkohol yang masih rendah. Ciu atau yang terkenal dengan sebutan “Ciu
Bekonang” pada awal-awal produksinya memang dikonsumsi untuk minuman
keras dan mabuk-mabukan.
Menjelang
Indonesia Merdeka pada tahun 1945, pengrajin industri rumah tangga
“Ciu Bekonang” hanya berkisar 20 orang saja dan hasil produksinya
kurang lebih per hari hanya 10 liter saja. Peralatan Produksinyapun
masih sangat sederhana. Penjualan dilakukan secara sembunyi-sembunyi
dan pada orang-orang tertentu yang suka mabuk-mabukan.
Antara
tahun 1961 sampai tahun 1964, industri alkohol “Ciu Bekonang” sudah
mulai ada kemajuan. Kemajuan dalam hal peningkatan kadar alkohol dari
27% menjadi 37% dengan peralatan yang juga masih sangat sederhana.
Hasil alkohol yang masih berkadar 37% ditampung dan ditingkatkan kadar
alkoholnya. Dari Jumlah pekerja juga sudah ada peningkatan menjadi
sekitar 30– an pengrajin alkohol. Hasilnyapun sudah dipasarkan mencapai
hampir keseluruh wilayah karesidenan Surakarta, Surabaya, Kediri dan
lain-lain.
Pada
tahun 1980-an, Pemda Tingkat II Sukoharjo (Dinas Perindustrian)
mengucurkan bantuan sebesar Rp.2.000.000,- guna meningkatkan produksi
minuman “tradisional” ini. Hasilnya, kadar alkohol sudah dapat
ditingkatkan kadarnya menjadi 60%. Pada tahun 1997 ada naskah
kesepakatan dengan industri alkohol besar di Karanganyar (Jateng) yaitu
PT. Indo Acidatama Chemical Industri . Hingga tahun 2000, dengan
peralatan yang lebih modern lagi, kadar alkohol ciu berhasil
ditingkatkan menjadi 70% bahkan 90%. Weleh-weleh…, parah. Bener-bener
banyu gendeng. (http://areajawa.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar