17 Juni 2014

TRADISI PAPUA DALAM MINUMAN KERAS

 
Minuman keras (Miras) menjadi salah satu masalah di antara banyak masalah di tanah Papua. Alkohol telah membunuh orang Papua seperti masalah lainnya yang juga membunuh. Dengan mengkonsumsi alkohol yang berlebihan membuat orang tidak sadarkan diri. Ada statement mengatakan ‘’kalau orang papua kaya tidurnya di pinggiran jalan kalau miskin tidurnya di kasur empuk, kalau orang jawa kaya tidurnya di kasur empuk kalau miskin tidurnya di bawa kolong jembatan.’’
Dari statement di atas sesuai dengan realita dalam keidupan di sekitar kita, contohnya di kota Sorong. Terbukti apabila anda berolahraga pagi pada hari minggu maka anda akan menemukan orang papua kaya sedang terbaring di pinggiran jalan karena baru saja merayakan pesta miras semalam. Sebaliknya orang jawa miskin di Jakarta anda akan menemukan tempat tinggalnya di bawa kolong jembatan. Ini menunjukkan bahwa kurangnya kepedulian pemerintah setempat.
Dalam keadaan seperti itu, maka apa saja dapat dilakukan, termasuk seks bebas. Bisa mati ditabrak mobil di jalan raya, dibunuh orang di pasar, bisa juga mati karena berlebihan alkohol, dan bahkan mati karena seks bebas yang dikendalikan oleh alkohol.
Perlu diketahui bahwa angka kematian orang Papua saat ini tinggi. Sementara angka kelahiran sungguh sedikit. Hampir setiap saat orang Papua banyak yang mati karena alkohol, terutama anak-anak usia produktif. Belum lagi mati karena faktor lain. Orang Papua seakan lahir sekarang untuk mati besok. Kalau tidak lahir sekarang besok tetap mati, itulah kenyataannya.
Dalam diskusi dengan sejumlah Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda , Akademisi, Aktivis LSM dan Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah Nabire, Ruben Edowai mengatakan “Dalam beberapa bulan ini saja, sudah sebanyak 365 orang dari suku Mee meninggal dunia di Nabire. Ini bukan mengada-ada, tapi data yang kami temukan di lapangan, katanya seperti dikutip PapuaPos, 20 Mei 2007. Lalu bagaimana di Jayapura, Timika, Sorong, Merauke, Biak, Serui, Fak-fak, Wamena, Pegunungan Bintang, Enarotali, Puncak Jaya dan lainnya?
Minuman keras adalah candu. Pemahaman ini bertitik tolak dari realita dan tidak bisa dipungkiri. Ada beberapa teman dalam pembicaraan mengatakan hidup tanpa minum alkohol rasanya kurang. Ucapan itu sepertinya sudah membenarkan alkohol (minuman keras) sebagai candu.
Banyak teman mengakui dengan minum alkohol (mabuk) membuat mereka percaya diri, berani tampil di depan umum untuk mengekspresikan diri, tentang bakatnya yang terpendam. Ataupun berani untuk membuat kegaduhan, bahkan ada yang menjadi berani untuk melakukan ataupun terlibat dalam kasus pemerkosaan, perkelahian dan pembuhuhan. Ini mebenarkan pengakuan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Drs. Daud Sihombing SH, Dari catatan polisi pada setiap laporan akhir tahun, semua kejadian kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan, teror dan seterusnya berawal dari miras. Miras ini membuat orang menjadi pemalas, bermental santai tetapi ingin mendapat untung besar, dan semangat belajar para siswa sekolah pun menurun. Hal itu terjadi karena seorang alkoholik nalar sudah tidak akan berfungsi sebagai manusia normal barangkali seperti orang kelainan jiwa alis gila.
Bila kita melirik sejarah Papua, terutama di kalangan orang pegunuangan Papua mereka tidak sama sekali mengenal minuman beralkohol. Tidak ada tradisi pesta minuman keras, karena tidak ada bahan untuk produk alkohol. Kecuali derah pesisir pantai Papua mereka yang lebih dahulu sudah melakukan kontak dengan orang luar Papua. Mereka sudah mengenal minuman beralkhohol dari pohon kelapa ataupun aren yang disebut sagero (saguer/bobo).

Seorang aktivis Aborigin, Charles Perkin menuliskan, bahwa orang Aborigin sering minum dalam pertemuan-pertemuan tradisional, tidak sebagai minuman-minuman yang sengaja melanggar tata cara minum sebagimana mestinya. Mereka justru memenuhi sindrom kasihanilah saya kalau mereka di perbolehkan memperlihatkan tata cara minum yang tidak dapat diterima umum. Hal yang sama juga terjadi di kalangan para pecandu alkohol di Papua. Kadang minum hanya untuk mecari perhatian, ataupun untuk melampiaskan emosi. Dengan demikian mereka terlihat sebagai manusia yang tidak dewasa menyelesaikan masalah.
Bisakah kita menerima ketika mengatakan alkohol sebagai candu masyarakat? Entalah. Tetapi, yang jelas di dunia ini apa lagi yang bukan candu? Semuanya cantu? Hehehe……. Tidak tahu! Wow, Sebenarnya pengertian tentang candu tidak begitu dijelaskan secara detail. Makna candu kadang sama dengan ketagihan, sesuatu yang sangat disukai atau sesuatu yang menjadi kegemaran.
Kecanduan itu datang dari suatu proses yang perlahan menggerakkan kita untuk terlibat di dalammya. Setelah kita terbiasa dengan kegiatan tersebut dan menjadi kegemaran kita baru disebut sebagai kecanduan. Hanya saja candu kadang bermakna negatif, dibandingkan kata kegemaran atau hobi, atau kebiasaan.
Sahabat, tahu tidak pemberantasan miras hanya sebuah “WACANA’’.
Itulah sebabnya, pemberantasan alkoholime hanya menjadi wacana menarik diantara kita yang punya tingkat pemahaman dan nalar baik. Dengan menghilakang anggapan kolot, bahwa Alkohol hanyalah suatu masalah di kota-kota besar dan tidak di kota-kota kecil ataupun di perkampungan yang terpencil. Justru di tempat-tempat terpencil saat ini masalah alkohol sangat kritis. Tingkat penganguran sangat tinggi, di antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang amat sangat, dan sekolah-sekolah setempat tidak dapat menampung minat kaum mudah. Mengkonsumsi tanpa mengetahui efek samping dan dampak sebagai pembunuh jiwa manusia sehat.
Mengapa demikian? Orang yang alkoholisme tetap terlihat seperti kelainan jiwa, sakit jiwa, sebagai akibat melemah atau matikanya syaraf ingatan. Disanalah kaum perubah dan sasaran diskusi menjadi tempat pilihan. Tidak hanya diskusi tetapi, kemudian menjadi wujutnyata, karya bagi pembebasan manusia dari keterbelengguhan jiwa.
Pecandu alkohol di Papua terus bertambah. Sudah sangat mejarah kalangna muda dan tua tanpa memandang perbedaan sex. Alkoholisme menyebakan meningkatnya tingkat kriminalitas di kota maupun di perkampuangan. Dan saat ini pembunuhan bermotif alkohol semakin gencar untuk melakukan tindakan genosida di Papua. Ada beberapa kasus, misalkan pada tahun 1999, seorang intelek Papua, Obet Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang dibunuh oknum tertentu. Untuk menghilangkan jejek, pembunuh lalu menumpahi minuman beralkohol dibagian mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak biasa mengonsumsi minuman beralkohol. Kita juga masih ingat untuk kepentingan membeli alkohol Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya yang sudah terjangkit penyakit alkoholisme.(http://unik.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar