17 Juni 2014

Tuak dan Arak Prunggahan Kulon dalam Lipatan Sejarah Modernisasi

Tuak dan Arak Prunggahan Kulon dalam Lipatan Sejarah Modernisasi

Lipatan Masa Silam
Sejak lama Tuban menjadi kota dan pelabuhan Singasari dan Majapahit. Tentara Tartar, yang menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya kerajaan Majapahit) pada tahun 1292, mendarat di pantai Tuban. Dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya meninggalkan Pulau Jawa untuk kembali ke negerinya (Graaf, 1985:164).
Seorang penerjemah bahasa dari rombongan Laksamana Cheng Ho yang bernama Ma Huan menuliskan, saat kedatangannya pada tahun 1433 M, di Tuban telah bermukim orang-orang China dari Propinsi Guangdong, Fujian, Zhangzhou, dan Quanzhou. Selain itu, jauh sebelum Ma Huan datang, telah ada serombongan kemandan militer Mongol yang dipimpin oleh Shi Phi dan Kau Shing pada tahun 1292 yang telah mendarat di Tuban.1
Catatan yang dibuat oleh Lombard (1996) menjelaskan bahwa, karena ekspedisi militer dan perdagangan, banyak orang-orang China bermigrasi ke pesisir Jawa. Bahkan Ma Huan, memperkirakan orang-orang China di Tuban saat mereka mendarat di wilayah ini pada abad 15, berjumlah lebih dari seribu orang.2 Tidak hanya itu, penguasa-penguasa di Tuban, termasuk pemuka-pemuka Islam pasca Majapahit juga orang-orang yang masih memiliki darah China.
Dengan mengutip Slamet Muljana (1968), sejarawan Asvi Warman Adam (2002) menjelaskan soal beberapa penguasa Jawa dan tokoh-tokoh berpengaruh di Jawa yang memiliki darah keturunan China:
Bong Swi Hoo-yang datang di Jawa tahun 1445-sama dengan Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang diasuh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi kapitan Cina di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Mesjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh. Akhirnya Slamet menyimpulkan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Slamet Muljana adalah Toh A bo, putra Sultan Trenggana (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu Sunan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su.3
Namun, sebelum penguasa-penguasa keturunan China itu berkuasa, masih menyisakan perlawanan sengit dari para pengikut Majapahit di Tuban. Bahkan, saat-saat terakhir kekuasaan Majapahit, De Graaf (1989) mencatat, penguasa-penguasa di Tuban masih tunduk pada Majapahit. Saat Majapahit runtuh, Demak juga mengembangkan kekuasaannya ke Tuban.4 Tetapi, dalam perkembangannya, pada abad 15 dan 16, pantai-pantai di Tuban mengalami pendangkalan karena endapan lumpur (De Graaf. 1985). Situasi ini menandai surutnya pelabuhan Tuban dalam perdagangan regional masa itu.
Tidak hanya berhubungan lama dengan Bangsa China dan Arab, sebagaimana catatan De Graaf, pada tahun 1599 kapal-kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Van Warwijck juga berdagang ke Tuban. Sang komandan tampak terkesima melihat pelbagai perlombaan pacuan kuda, dan lain-lain yang dilakukan setiap hari Senin (Senenan). Van Warwijck juga menceritakan adanya kandang-kandang gajah di alun-alun kota Tuban saat itu (Graaf, 1985:170).
Pasca runtuhnya Demak, dan peralihan kekuasaan dari Pajang yang seumur jagung, dan kejayaan kekuasaan Jawa yang dirintis kembali oleh Mataram, banyak kabupaten-kabupaten melepaskan diri dari pusat kekuasaan di Jawa Tengah. Beberapa Kabupaten itu antara lain Tuban, Surabaya, Pasuruan, dan Probolinggo.5
Setelah Mataram berhasil bangkit kembali, terutama masa kejayaan Sultan Agung, Raja ketiga Mataram terobsesi untuk menguasai kabupaten-kabupaten yang melepaskan diri. Beberapa kabupaten-kabupaten yang semula melepaskan diri, mulai diserang kembali oleh Mataram untuk ditundukkan. Serangan pertama dimulai pada tahun 1598 dan 1599, namun serangan ini berhasil dipatahkan oleh penguasa Tuban. Pada tahun 1619, bala tentara Mataram menyerang Tuban kembali, dan memenangkan pertempuran. Sejak saat itu, bupati-bupati yang berkuasa di Tuban semuanya berasal dari dinasti mataraman (Graaf, 1985:170).
Serangan Mataram ke Tuban rupanya memporakporandakan seluruh kota. Dari catatan yang dibuat oleh Knaap (1996), saat Kabupaten Tuban diserang oleh Mataram, pusat kota berada sekitar 5 kilometer arah selatan dari Kota Tuban Sekarang.6 Jika kita cek di lapangan, besar kemungkinan pusat kota Tuban sebelum dihancurkan oleh bala tentara Mataram ada di desa Prunggahan Kulon, kecamatan Semanding saat ini.
Dari data fisik lapangan yang kami temukan, bekas alun-alun Tuban jaman dahulu memang masih tersisa, meski tiada bangunan secuilpun yang masih terlihat. Alun-alun itu kini menjadi pelataran di samping Balai Desa Prunggahan Kulon. Pelataran itu tidak begitu luas, hanya kurang lebih 2000 meter persegi. Cerita-cerita lisan masyarakat setempat juga mengisahkan, dan percaya bahwa desa Prunggahan Kulon, dulunya sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Tuban. Sejak dihancurkan itulah, pusat kekuasaan Tuban beralih ke Pendopo Kabupaten Tuban sekarang.
Pada abad ke-18 Kabupaten Tuban jatuh ke tangan VOC. Pada tahun 1743, Pakubuwono II yang terdesak akibat pertikaian rumit, karena pemberontakan orang-orang Jawa bersama China, meminta bantuan ke VOC. Pakubuwono II menawarkan penyerahan wilayah pesisir Jawa ke VOC, jika VOC mendukung terus kedudukannya di singgasana. Kekuasaan Pakubuwono II memang selalu dirongrong oleh Cakraningrat IV. Cakraningrat IV adalah tokoh yang sejak awal menjadi boneka VOC (Ricklefs: 2001:213-214).
Praktis, pada periode ini, orang-orang yang duduk menjadi Bupati Tuban adalah bawahan-bawahan VOC. Apalagi masa itu, adalah suatu fase dimana kolonialisme mulai menanamkan kekuasaannya secara menggurita. Di sisi lain, pusat-pusat perdagangan telah bergeser ke timur. Gresik dan Surabaya menjadi sentra pelabuhan dan perdagangan baru. Kedua kota pelabuhan itu terhubung dengan Batavia sebagai pusat kekuasaan VOC.
Desa Prunggahan Kulon, yang dulunya sebagai pusat kekuasaan Tuban, berubah menjadi kawasan yang senyap, menyisakan puing-puing peradaban masa lalu. Berangkat dari desa yang paling luas di kecamatan Semanding inilah kami mengawali langkah untuk membuat catatan-catatan penting pada liputan ini.
Dari Geo(Demo)grafi Tuban ke Prunggahan Kulon
Kabupaten Tuban, berada di Provinsi Jawa Timur. Jarak dari pusat Ibukota Propinsi Jawa Timur, sekitar 100 kilometer ke arah barat. Sebagai wilayah paling barat Jawa Timur, Tuban berbatasan langsung dengan kabupaten Rembang, dan kabupaten Blora, yang keduanya masuk wilayah Propinsi Jawa Tengah. Sisi selatan Tuban, berbatasan langsung dengan Kabupaten Bojonegoro, sedangkan di sisi timur, berbatasan dengan Kabupaten Lamongan. Karena lokasinya di pesisir, otomatis sisi utara kabupaten Tuban lautan lepas. Panjang pesisir Tuban dari timur ke barat sejauh 65 kilometer.
Saat ini, Kabupaten Tuban terbagi dalam 20 kecamatan, 311 desa, dan 17 kelurahan. Data dari Biro Pusat Statistik tahun 2004, penduduk Tuban berjumlah 1.084.383 jiwa, dengan komposisi sebanyak 535.655 kaum lelaki, dan 548.728 kaum perempuan. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Tuban, dengan jenis laki laki sebanyak 551.869. Sedangkan jumlah penduduk Tuban, dengan jenis laki-laki sebanyak 565.670 jiwa, sehingga total penduduk Tuban pada tahun 2010 mencapai 1.117.539 jiwa.7
Tuban, meski kaya akan bahan tambang dan migas, termasuk kabupaten yang belum sejahtera secara ekonomi. Angka kemiskinan di Tuban kategorinya tinggi, dibandingkan dengan kabupaten-kabupetan lainnya di Jawa Timur, yakni antara 23 – 28 persen dalam rentang tahun 2001-2006.8 Pada tahun 2001, jumlah penduduk miskin di Tuban mencapai 253.193 jiwa, sedangkan pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Tuban mencapai 313.426 jiwa.9
Penilaian tinggi oleh Biro Pusat Statistik ada maknanya sendiri. Tinggi dalam kategori peringkat kemiskinan adalah rating kedua, setelah angka sangat tinggi di Jawa Timur yang di duduki oleh kabupaten-kabupaten di Madura, seperti Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.10
Bahkan, di wilayah Tuban sendiri terdapat 7 kecamatan dari total 20 kecamatan yang tingkat kesejahteraan ekonominya sangat kurang. Padahal, kecamatan-kecamatan yang paling miskin itu sangat kaya akan tambang dan migas, dan telah dikeruk kekayaan alamnya. Beberapa kecamatan yang kaya sumber daya alam, tetapi miskin penduduknya meliputi; Kerek, Bangilan, Semanding, Bancar, Senori, Plumpang, dan Grabakan. Ketujuh kecamatan ini sangat kaya batu kars, sebagai bahan baku semen. Padahal pabrik Semen Gresik, Tbk bercokol di wilayah ini sejak tahun 1997. Selengkapnya dapat dilihat dalam data dibawah ini;
Dilihat dari distribusi tingkat kemiskinan per kecamatan di atas, ada 7 kecamatan dengan tingkat ibidkemiskinan di atas 20%, yaitu Kerek (21,0%), Bangilan (21,2%), Semanding (21,6%), Bancar (22,2%), Senori (23,4%), Plumplang (26,1%) dan yang paling parah kecamatan Grabagan di mana tingkat kemiskinan mencapai 38,1%. Dengan tingkat kemiskinan 20% artinya ada 1 orang dari tiap 5 warga Tuban hidup dalam kemiskinan. Demikian pula jika tingkat kemiskinan mencapai 25% artinya dari 4 orang warga tuban, 1 orang di antaranya hidup dalam kondisi miskin. Ini sebuah fakta yang mencengangkan mengingat potensi kabupaten Tuban yang selama ini sering didengungkan oleh berbagai pihak. Terlebih sejak era otonomi daerah diterapkan upaya pengentasan kemiskinan semestinya bisa dilakukan dengan lebih baik (Podes 2008).11
Data di atas menggambarkan, kecamatan Semanding yang di dalamnya termasuk kawasan desa Prunggahan Kulon, terkategori desa-desa di Tuban yang secara ekonomi relatif defisit. Pola orientasi pembangunan selama 15 tahun terakhir yang mengedepankan konglomerasi12, tidak membawa perubahan signifikan pada kesejahteraan penduduk Tuban.
Sektor pertanian menjadi sektor andalan wilayah ini, namun kebijakan tata perniagaan sektor pertanian belum cukup menguntungkan ekonomi desa secara keseluruhan.
Lokasi desa Prunggahan Kulon tak begitu jauh dari kota Tuban. Dari pusat kota Tuban, tepatnya alun-alun kota Tuban sekarang hingga ke bekas alun-alun Tuban di Desa Prunggahan Kulon berjarak sekitar 4 kilometer menuju arah ke selatan. Tiada akses transportasi publik yang menghubungkan kedua tempat ini. Untuk menuju Prunggahan Kulon harus membawa moda transportasi sendiri.
Desa Prunggahan Kulon, lokasinya persis di tengah-tengah wilayah kecamatan Semanding. Sisi utara berbatasan dengan desa Tegalagung dan Boto, sisi timur berbatasan dengan desa Prunggahan Wetan, sebelah selatan berbatasan dengan desa Bektiharjo, dan sisi barat berbatasan dengan desa Jadi. Semua desa yang mengelilingi desa Prunggahan Kulon masuk wilayah kecamatan Semanding.
Sebagian besar kawasan desa Prunggahan Kulon adalah persawahan dan tegalan. Seluas 58.000 meter persegi, kawasan ini berupa persawahan, baik sawah irigasi, maupun sawah tadah hujan, selebihnya perbukitan kapur. Dari buku data demografi Desa Prunggahan Kulon tahun 2010 terdapat 5.258 orang memiliki lahan tegalan dan sawah. Para pemiliknya memang tidak semuanya warga Prunggahan Kulon, termasuk juga tidak semuanya mengerjakan sendiri lahan tegalan atau persawahan yang dimilikinya. Sebanyak 2.558 orang bekerja pada sektor buruh tani di desa ini.
Untuk mengisi kekosongan waktu dari kegiatan bertani, sebagian warga Prunggahan Kulon juga memiliki hewan ternak, bahkan kuda untuk kendaraan tradisional yang kerap yang dinamai dokar dan cikar. Sebanyak 25 orang di Prunggahan Kulon memiliki dokar. Untuk ukuran desa, warga Prunggahan Kulon tergolong cukup sukses karena terdapat 2.750 ekor sapi potong, 3.156 ekor kambing, dan 74 domba. Bahkan, beberapa warga desa Prunggahan Kulon lainnya sukses beternak ayam. Setidaknya ada 13.120 ekor ayam buras, dan 6000 an ayam ras.
Jumlah penduduk laki-laki desa Prunggahan Kulon sebanyak 6763 jiwa, dan kaum perempuan sebanyak 7087 jiwa, dengan total kepala keluarga sebanyak 4364. Seperti yang sedikit tergambar data di atas, 90 persen penduduk bekerja di sektor pertanian dan perdagangan. Hanya sebanyak 248 yang bekerja pada sektor formal, seperti pegawai negeri sipil, TNI Polri, dan tenaga perawat kesehatan.
Minimnya warga desa yang bekerja di sektor formal sedikit terjawab dari tingkat pendidikan masyarakat setempat. Sebanyak 9.349 warga Prunggahan Kulon tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Mereka yang menamatkan SD sebanyak 3.050 orang, menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 688 orang, dan menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 676 orang. Untuk lulusan diploma dan sarjana relatif masih sedikit, yakni sebanyak 29 orang lulusan Diploma 3, dan 58 orang lulusan Sarjana Strata 1.
Untuk pertanian, mata pencaharian utama dari sektor perladangan yakni dengan menanam jagung, ketela pohon, ketela rambat, kedelai dan kacang-kacangan. Yang aneh, dalam buku monografi Desa Prunggahan Kulon tidak disebutkan adanya tanaman bogor (Aren), sebagai penghasil legen, tuak, dan buah siwalayan. Padahal secara faktual, kegiatan itu menjadi sektor penting yang ikut menggerakan kegiatan ekonomi warga setempat.
Jika tanaman bogor dan usaha produksi tuak saja tidak disebutkan, lebih-lebih sektor usaha lainnya yang dianggap “miring” seperti produksi arak, baik skala kecil maupun skala besar. Padahal, banyak warga Desa Prunggahan Kulon yang menggantungkan nasibnya dari memproduksi arak dan tuak.
Arak dan Tuak dalam Proyek “Kota Lama”
Setelah sekian lama ditinggalkan sebagai pusat kekuasaan dan ekonomi, khususnya sejak masa pendudukan VOC, Prunggahan Kulon berubah menjadi desa sepi, seperti kebanyakan desa lainnya di kabupaten Tuban. Kemegahan kawasan karena pembangunan telah bergeser ke sekitar alun-alun Kota Tuban. Alu-alun Tuban lama seperti yang digambarkan oleh Van Warwijck diatas, kini tak lebih tanah lapang yang bukan sentral lagi dalam kosmologi tata ruang, dan politik pembangunan.
Bekas alun-alun kabupaten Tuban itu, kini hanya dipakai sebagai lokasi pelaksanaan ritus manganan, dan tayuban. Keduanya dilaksanakan setiap setahun sekali. Surutnya desa Prunggahan Kulon sebagai pusat peradaban, mengundang banyak tokoh setempat untuk menjadikan kawasan ini sebagai situs penting, dan membangkitkan kembali kejayaan kabupaten Tuban seperti massa keemasannya tatkala dipimpin oleh Adipati Ronggolawe.
Dalam benak orang pada umumnya di Tuban, masa kepemimpinan Adipati Ronggolawe, adipati ketiga di Tuban, adalah masa kepemimpinan dan kejayaan Kabupaten Tuban. Dalam cerita-cerita lisan masyakarat setempat, Ronggolawe ikut berjasa besar mendirikan kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara, yakni kerajaan Majapahit. Namun karena intrik keji di internal kraton, jasa Ronggolawe tak diakui. Namun demi menjaga martabat kabupaten Tuban, ia tak mau mengekor kekuasaan Majapahit yang penuh intrik. Meskipun harus diserang oleh Majapahit, ia mempertahankan Tuban hingga mengorbankan nyawanya. Bahkan, untuk mengenang heroisme Ronggolawe yang gagah bersama kuda kesayangannya, Pemerintah Kabupaten Tuban menjadikan kuda tunggangan Ronggolawe sebagai lambang kabupaten ini.
Berbekal situs-situs yang masih tersisa dan ritus-ritus yang masih dilakukan, dengan bumbu cerita lisan dari para sesepuh desa, pemuka desa Prunggahan Kulon berharap Pemerintah Kabupaten Tuban menjadikan kawasan desanya sebagai proyek “Kota Lama”. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala Desa (Kades) Prunggahan Kulon. Liek Soerito, berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban tidak mengabaikan peninggalan sejarah. Harapan itu disampaikan Liek Soerito lantaran Pemkab dinilai kurang memberi perhatian pada tempat-tempat sejarah, terutama Prunggahan Kulon yang telah diketahui sebagai bekas “kotaraja” atau ibu kota Kabupaten Tuban tempo dulu. “Harusnya Kota Lama ini diproteksi sebagai cagar budaya. Sebab dari sinilah sejarah kabupaten Tuban dimulai,” klaim Liek Soerito.13
Meskipun belum mendapatkan tanggapan serius dari Pemerintah Kabupaten Tuban, sebenarnya apa bayangan pemerintah desa tentang proyek menjadikan Desa Prunggahan Kulon sebagai kota lama? Imajinasi tentang “Kota Lama” dapat kita pahami dari pernyataan Kepala Desa Prunggahan Kulon sendiri.
Kita bisa meniru desa Trowulan, Mojokerto atau bahkan Solo dan Yogyakarta. Kota-kota tersebut mampu menjadi kota budaya dan wisata yang memberi income luar biasa, baik pada pemerintah maupun masyarakatnya. “Kalau Pemkab serius, Prunggahan Kulon bisa dihidupkan kembali sebagai kota lama. Ditata sedemikian rupa sehingga suasana kebudayaan asli Tuban masa lalu benar-benar bisa ditemukan di sini, termasuk budaya memelihara kuda dan profesi kusir andong,” jelas Liek Soerito. Karena kurangnya kepedulian Pemkab, kata Liek Soerita, sedikit demi sedikit peninggalan sejarah dan budaya Tuban masa lalu hilang dari Prunggahan Kulon. Jumlah pemilik kuda dan andong juga terus menyusut. Tidak ada data resmi yang dimiliki Liek Soerito, tetapi ia memperkirakan saat ini jumlahnya tinggal belasan orang saja.14
Sangat jelas dan gamblang pesan Kepala Desa Prunggahan Kulon, menemukan kembali (invensi) Tuban dalam bingkai wisata, menjual apa yang ada dengan diseleksi lebih dulu apa saja yang boleh tampil dan tidak kepada wisatawan. Secuil contoh, dalam monografi desa saja dengan sengaja pemerintah desa tidak menghitung produksi dan konsumsi tuak dan arak sebagai penggerak ekonomi desa. Pemerintah desa lebih menonjolkan aktivitas “legal” seperti bertani dan beternak sebagai data ekonomi desa yang boleh ditampilkan.
Meskipun pemerintah desa tidak menyatakan secara eksplisit, tentu tuak dan arak di desa ini menjadi bagian dari properti yang bakal terseleksi untuk tidak boleh tampil, jika proyek invensi “Kota Lama” ini dikerjakan. Bahkan, bisa jadi, tuak dan arak yang menjadi pertanda tuanya peradaban di wilayah ini bakal tersingkir, jika proyek invensi itu benar-benar terjadi.
Padahal praktek produksi tuak dan arak di Desa Prunggahan Kulon telah berlangsung lama, dari generasi ke generasi. Arak di Prunggahan Kulon diperkirakan dikenal sejak pusat kekuasaan Kabupaten Tuban berada di wilayah ini. Menurut S15, perempuan 55 tahun, warga setempat, bahwa ia mendapatkan pengetahuan membuat arak dari para leluhurnya. “Embah saya dulu sudah membuat arak,” ujar S. Jika S sekarang berumur 55 tahun, bisa terbayang ketrampilannya membuat arak telah berjalan sangat lama.
Tuban sebagai wilayah yang terbuka, dan terluar dalam sistem kebudayaan Jawa, membuka kesempatan luas masyarakatnya untuk menerima pola-pola produksi, dan konsumsi baru. Dari cerita beberapa sesepuh kampung, termasuk S, dan para orang tua di desa Prunggahan Kulon, mereka dahulunya membuat arak diajari oleh beberapa warga keturunan China. Orang-orang China yang telah lama menetap di Tuban sejak jaman Singasari, membutuhkan arak, selain untuk minum dan ritual, juga untuk memandikan dan mengawetnya mayat sebelum dibakar atau dikuburkan.
Meski keberadaan arak lebih dahulu ada, setelah pendudukan VOC di Tuban, pasca perjanjian dengan Amangkurat II, merebak pula produksi dan perdagangan opium di Jawa. Rata-rata opium beredar sebanyak 56 ton per tahun. Pada tahun 1800 menjamur penjualan dan peredaran opium di seluruh Jawa, bahkan Madura. Di Yogjakarta sendiri terdapat 372 tempat penjualan opium. Surakarta dan Madiun sebagai produksi dan domisili bandar opium terbesar di Jawa. Kedua bandar itu menjadi penghasil pajak terbesar. Peringkat kedua diduduki oleh Semarang, Rembang, Yogjakarta, dan Surabaya. Wilayah Tuban, Besuki, Probolinggo, dan Ponorogo sebagai peringkat ketiga penghasil pajak opium bagi VOC.16
Sebagaimana tuak dan arak pada masa lalu, suplai opium juga sebagai media keramahtamahan di kalangan 2001elit-elit Jawa. Tuak, arak, dan opium menjadi gaya hidup. Bahkan para prajurit Diponegoro banyak yang jatuh sakit ketika pasokan opium untuk mereka terganggu. Era itu, menyediakan arak dan opium untuk para tamu lelaki, bahkan di pesta-pesta pernikahan menjadi pemandangan yang umum. Namun mereka menghisap opium sebatas sebagai kenikmatan sesaat, bukan dimaksudkan untuk mabuk, apalagi mencandu.17 Suguhan arak dan opium pada masa itu, kira-kira seperti keberadaan rokok dan minuman berkarbonansi pada jaman sekarang ini.
Di kalangan orang-orang China, baik dalam keluarga besar maupun individual, mereka menghisap opium di klub-klub opium yang eksklusif, sementara kalangan keluarga China yang miskin menghisap opium dan minum arak di rumah-rumah bersama penduduk setempat.18 Produksi dan peredaran opium mulai menurun ketika kebijakan politik etis menyeruak di banyak dimensi. Pemerintah kolonial sendiri sangat berkepentingan akan makin banyaknya penjualan candu ke masyarakat, tapi lambat-laun juga sadar akan kejelekan akibat pengisapan opium. Kesadaran tersebut juga timbul di kalangan China dengan pendidikan Barat (Belanda) seperti Dr. Sim Ki Ay. Zaman politik etis (1900) mempertebal kesadaran ini.19
Peredaran dan bisnis opium menjadi semakin surut ketika beberapa bandar besar opium di Solo dan Semarang tertangkap dan tutup usahanya. Bandar-bandar opium kala itu memang dikuasai oleh opsir-opsir kalangan China. Beberapa bandar besar yang menjadi opsir diantaranya Be Biauw Tjoan sebagai mayoor de Chinesen. Ia langsung dicopot sebagai opsir, yang otomatis melucuti juga kekuasaannya untuk mengatur peredaran opium, yang berakibat bangkrutnya usaha dia.20
Surutnya industri opium pada masa pendudukan Belanda, tidak berlaku bagi tuak dan arak di Tuban. Tuak dan arak masih diproduksi masyarakat di sekitar Tuban, khususnya desa Prunggahan Kulon. Bahkan, produksi itu masih berjalan hingga kini, dalam skala kecil oleh industri rumahan, sementara yang skala lebih kecil lagi dimotori oleh para perempuan paruh baya yang ada di desa ini.
Dalam seharinya, untuk skala industri rumahan, warga Desa Prunggahan Kulon bisa memproduksi ratusan liter arak. Tercatat beberapa warga setempat memiliki alat-alat produksi arak dalam skala besar, meski masih dalam skala industri kecil. Untuk membuat arak dibutuhkan tungku, alat perebus bahan-bahan arak, dan pipa sulingan untuk menyalurkan uap yang keluar dari rebusan bahan-bahan arak. Biasanya tungku dan sulingan terbuat dari tembaga, agar bisa menahan panas dalam waktu yang lama. Untuk menghindari melelehnya pipa saluran uap arak, pipa itu dilewatkan air dingin, sehingga suhunya tetap stabil.
Dalam amatan kami, setidaknya ada belasan lokasi pembuatan arak dalam skala industri kecil ini. Salah satunya dimiliki oleh T, laki-laki 38 tahun, lulusan Sekolah Teknologi Menengah (STM). Industri arak yang dimiliki oleh T tergolong lumayan. Ia memiliki dua kompor besar untuk menyuling arak, agar bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan liter arak setiap harinya. Setiap kali produksi, arak-arak tersebut telah ada yang membelinya. “Pembelinya dari berbagai kota di luar Tuban, seperti Malang, Surabaya, Sidoarjo, atau Lamongan,” ujar T
Untuk menjaga agar produksi araknya tetap aman, T dan beberapa pembuat arak lainnya di kampung itu memberi upeti kepada petugas keamanan. Upeti itu sebesar Rp. 5.500 setiap tabung besar (drum) yang berisi arak penuh. Upeti ini hanya sebatas untuk mengamankan produksi. Bagaimana dengan distribusi dan penjualannya? “Kami tidak bertanggungjawab terkait distribusi dan penjualannya, pembeli mengambil sendiri kemari, dan mereka yang harus memiliki cara sendiri untuk bisa bebas menjual” imbuh lelaki yang masih melajang ini.
Dahulu sebelum arak diproduksi dengan sistem industri rumahan, dengan skala ratusan liter per-harinya, tiada operasi aparat keamanan. Saat itu arak masih diproduksi secara sederhana dengan kapasitas produksi terbatas, dan dikerjakan oleh kaum perempuan di Prunggahan Kulon. Sejak arak dikaitkan dengan industri, yang menghasilkan omset yang menjanjikan, barulah pihak-pihak keamanan ikut melakukan operasi-operasi di kampung ini.
Kebijakan ini otomatis berdampak pada usaha kecil-kecilan yang telah dilakukan oleh kaum perempuan di kampung ini. Keresahan itu disampaikan oleh S, ketika harus memproduksi arak, padahal kegiatan itu menjadi satu-satunya sumber ekonominya, bahkan sebagai biaya untuk membesarkan anak semata wayangnya, hingga berumah tangga :
“Sejak adanya kegiatan operasi-operasi aparat keamanan dikampung ini, kami tentu ikut khawatir mas. Dahulu paling kami saat mengirimkan arak ke beberapa warga keturunan Tionghoa di kota, ditanya cukainya, kalau tidak ada cukainya diambil, kalau ada cukai araknya dibiarkan. Kalaupun arak waktu itu tidak ada cukainya, polisi Belanda hanya mengambil araknya, tetapi tidak menahan yang akan menjualnya. Tetapi sekarang ini, kalau sampai tertangkap saat memproduksi arak, kami otomatis akan ikut ditahan karena melakukan pekerjaan yang terlarang. Situasi ini yang membuat kami bagaimanapun juga diliputi rasa was-was.”
Untuk mengatasi kekhawatiran itu, banyak warga dan pengusaha produsen arak di Prunggahan Kulon harus memakai teknik upeti, seperti kisah di atas. Dengan memberikan upeti kepada aparat keamanan setiap kali produksi, T dan warga setempat akan mendapatkan informasi dari petugas keamanan setempat jika akan dilakukan operasi-operasi pembersihan, atau penangkapan pembuat arak. Berbekal informasi awal itulah T dan warga setempat segera mengungsikan peralatan pembuatan produksi arak, bahkan, jika dirasa perlu untuk “bandar-bandar” produsen arak harus pergi sementara dari kampung halamannya, sampai mendapatkan informasi tentang suasana yang kondusif untuk kembali ke rumahnya. Strategi itu ditempuh oleh warga setempat untuk tetap bisa membuat arak.
Agar “taste” arak nikmat, masing-masing pembuat arak di Prunggahan Kulon memiliki resep yang sangat rahasia. Komposisi adonan dan bahan baku arak umumnya sama, yakni dari beras ketan, gula merah, dan ragi yang terbuat dari ramuan herbal. Konon, ragi semacam “bumbu penyedap” yang sangat menentukan kualitas rasa arak saat disuling nanti. Ragi mirip bebekan dalam tuak, sebagai pengatur selera. Karena memiliki peran sentral, masing-masing pembuat arak akan merahasiakan dosis dan teknis pembuatan ragi. Bahan-bahan untuk membuat ragi juga tersedia dari beragam jenis tanaman herbal yang ada di desa Prunggahan Kulon.
Pemakaian jenis beras sebagai bahan baku utama juga sangat berpengaruh pada kualitas arak yang dihasilkan. Umumnya warga menggunakan beras ketan, namun beberapa kaum perempuan lainnya tidak menggunakan beras ketan untuk menghemat biaya produksi. “Terkadang beras ketan mahal mas, sehingga ini berakibat pada mahalnya harga arak yang harus kami jual. Itu yang menjadi pertimbangan, terkadang kami harus menggunakan jenis beras lainnya yang lebih murah,” ujar S.
Berbekal bahan baku yang mudah didapatkan dari lokasi setempat, warga Prunggahan Kulon sangat tak tergantung dengan pasokan bahan baku dari luar. “Bahan-bahan untuk membuat arak semuanya ada di desa ini mas, kalaupun permintaan banyak, dan stok bahan baku menipis bisa beli di pasar baru Tuban,” ujar T.
Kadar arak yang dijual keluar memiliki tingkatan masing masing. Arak sulingan pertama biasanya tidak dipakai, karena kadar alkoholnya tinggi. Arak sulingan pertama inilah biasanya untuk keperluan medis di kalangan orang-orang keturunan China, terutama yang masih menggunakan teknis pengobatan tradisional. Baru proses sulingan kedua, yang kadar alkhoholnya diperkirakan 40-60 persen, yang diperjual belikan secara luas. Untuk sulingan arak ketiga dan seterusnya biasanya tidak diperjualbelikan secara luas, sebab harganya memang telah turun drastis ditambah peminatnya yang sedikit.
Bagi kalangan perempuan yang ikut menekuni usaha ini, produksi araknya jauh lebih rendah. Seperti yang dilakukan oleh S, ia membuat arak untuk mendapatkan penghasilan. Sejak suaminya meninggal belasan tahun lalu, S melanjutkan usaha suaminya membuat arak untuk menyambung hidup, membesarkan anaknya hingga dewasa, bahkan kini S telah memiliki seorang cucu dari anak semata wayangnya.
Berbeda dengan T yang memiliki kompor besar untuk menyuling arak, S hanya berbekal kompor dari tungku kayu bakar. Jika tidak ada masa penggrebekan dari aparat keamanan, dalam setiap minggunya S bisa memproduksi antara 20 hingga 50 liter arak. Untuk penjualannya, S menyatakan;
“Penjualan minuman ini saya ikut pada juragan-juragan arak besar di kampung ini mas, sebab mereka sendiri sebenarnya kekurangan pasokan arak, mengingat permintaan yang banyak. Jadi saya harus mengikuti selera permintaan arak dari mereka. Selain itu, saya atau ibu-ibu produsen arak lainnya di kampung ini biasanya melayani pembelian arak ukuran botolan satu literan. Satu liter arak yang ditempatkan dalam bekas botol minuman mineral ukuran 1 liter biasanya kami mendapatkan uang Rp. 15.000 – 20.000,-. Untuk pembelian seukuran seperti itu, biasanya dilakukan oleh warga sekitar daerah ini, jadi bukan orang-orang yang jauh dari sini. Uang itu sangat berguna untuk menambah ekonomi keluarga disini.”
Belakangan saat anak S yang bernawa KW telah tumbuh dewasa, anaknya menghendaki agar S tidak lagi membuat arak. KW berpandangan, jika ibunya tetap membuat arak, akan sangat berisiko berurusan dengan aparat keamanan. Selain itu, umumnya kaum muda terdidik di Tuban, melihat kegiatan-kegiatan lama, seperti minum tuak dan membuat arak seperti yang dilakukan oleh ibunya dianggap aib. “Saya tentu tidak berkeinginan teman-teman sekolah saya waktu itu mengetahui kalau pekerjaan orang tua saya tukang membuat arak,”ujar KW.
Desakan anaknya untuk tidak membuat arak memang diakui oleh S. Ia berujar :
“KW memang melarang saya untuk membuat arak lagi mas. Katanya KW malu dengan teman-temannya sejak sekolah dulu, sampai dia sekarang, meski ia sudah berumah tangga. Kalau saya tidak membuat arak, lalu darimana sumber penghidupan ekonomi saya. Saya juga tidak mau menggantungkan sumber dari pemberian KW. Apalagi pekerjaannya juga satpam, yang tentu pendapatannya tak seberapa.”
Untuk menghormati pendapat dan keinginan KW, biasanya S tidak membuat arak saat KW ada di rumah. Saat KW bersama isterinya tidak di rumah, maka S kembali membuat arak untuk mengepulkan dapurnya. Cara ini harus ditempuh S tidak saja untuk urusan dapur, lebih dari itu untuk menjaga tradisi, agar barang-barang pembuatan araknya tidak lagi menjadi artefak yang tiba waktunya untuk diloakkan.
Dengan beragam teknik dan strategi, kaum perempuan pembuat arak di desa Prunggahan Kulon bertahan, mereka tidak saja terhimpit ketatnya aturan yang melarang, tetapi juga dominasi produsen arak besar meskipun dalam skala rumahan. Sisi yang lain, kalangan keluarga juga ada yang menentang dengan berbagai latar belakang. Yang cukup menarik adalah kalangan agamawan yang ada di desa Prunggahan Kulon. Meskipun di desa ini terdapat Pesantren Sunan Bonang, namun kalangan pesantren tidak serta merta dengan “brutal” memerangi pembuat arak.
Kalangan pesantren sesekali menghimbau kepada masyarakat desa Prunggahan Kulon untuk mengurangi membuat dan meminum arak atau tuak. Dalam keseharian, kalangan Pesantren Sunan Bonang lebih mengedepankan pendidikan agama ketimbang membuat pelarangan-pelarangan dalam meminum arak secara frontal kepada masyarakat. Seolah mengerti peran yang harus diperankan masing-masing, perbedaan kultural, pemahaman, dan pola hidup dikalangan desa Prunggahan Kulon yang plural menjadikan desa ini sebagai kawasan yang penuh ragam identitas, tapi dalam harmoni.[http://srinthil.org/]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar