Kutipan dari kalimat Geertz di atas, tampaknya pas untuk memulai tulisan ini karena paparan berikut lebih banyak menghadirkan pertarungan simbolik, perebutan, dan penyingkiran simbol-simbol kebudayaan untuk menandai dominasi, kekalahan, atau siasat-siasat baru, dalam isu perempuan dan tuak sebagai simbol minuman tradisi di Tuban.
Elemen penting dari kebudayaan pra Islam di Tuban adalah tradisi manganan, tayub, dan minum tuak. Anehnya, meskipun Islam telah menjadi identitas baru di Tuban pada akhir kejayaan Majapahit, tradisi-tradisi tua pra Islam di Tuban masih bertahan hingga kini dengan beragam diskursusnya. Memang, ada resistensi, negosiasi, bahkan taktik-taktik lain untuk tetap menghadirkan “masa lalu” dalam kebudayaan masa kini. Jika membandingkannya dengan masyarakat Tengger, tradisi manganan di Tuban sebentuk dengan penghormatan terhadap roh leluhur.
Masyarakat Tengger sebagai “the ancient of Java” yang masih tersisa, memberi posisi sentral pada roh-roh leluhur (ancestor worship). Roh-roh leluhur inilah yang dipercaya masyarakat Jawa Kuno sebagai “Dewa Pelindung” dan pangemong bagi keluarga-keluarga yang masih hidup di dunia. Untuk memberi tempat yang berarti, masyarakat Jawa Kuno melaksanakan ritus-ritus yang berhubungan roh-roh leluhur. Manganan oleh orang-orang Jawa sampai saat ini masih dipercaya sebagai ritus penghubungan antara dunia roh (leluhur) dengan dunia fisik manusia.
Manganan dilaksanakan saat pemakaman para leluhur di masing-masing desa. Para warga desa berduyun-duyun ke makam leluhur sambil membawa makanan untuk dimakan bersama serta makanan untuk sesaji para roh-roh leluhur. Makanan beserta sesaji yang dibawa penduduk, dikumpulkan di pelataran makam. Oleh sesepuh desa yang dianggap sebagai “juru kunci” makam, makanan dibacakan doa-doa permohonan keselamatan. Setelah itu, malam harinya digelar acara tayuban.
Saat menggelar ritus manganan dan tayuban biasanya disertai minum tuak. Di saat-saat seperti ini, kaum perempuan berperan sangat sentral. Segala ubo rampe untuk kebutuhan sesaji dan makanan bersama, jelas dipersiapkan oleh kaum perempuan. Saat arena tayuban digelar, para penarinya semuanya jelas kaum perempuan, sedangkan kebutuhan akan tuak dalam arena itu juga disuplai dari warung-warung tuak yang para penjualnya juga kaum perempuan. Begitu sentralnya kaum perempuan dalam lintasan ritus-ritus tradisi, tak mengherankan jika ada pertarungan hasrat yang begitu besar untuk meregulasi peran, kehadiran dan tubuh perempuan di dalamnya.
Bagi desa-desa yang menggelar manganan dengan pola lama, doa-doa dipimpin oleh juru kunci makam dengan perpaduan bahasa Arab (Islam) dan Jawa. Selain memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kanjeng Rosul Muhammad SAW, juru kunci makam juga menyertakan nama-nama sesepuh desa yang telah meninggal dan danyang-danyang desa. Doa bersama ini dibarengi dengan menaruh kemenyan (dupa) dan makanan sesaji di tempat-tempat yang oleh warga desa dianggap keramat.
Sebelum ritual manganan dimulai, warga desa yang kebanyakan kaum perempuan, berduyun-duyun datang ke lokasi manganan. Mereka datang dengan membawa nasi, lauk pauk, dan jajanan pasar. Semua makanan yang dibawa oleh para perempuan itu dikumpulkan di satu tempat, biasanya di altar pemakaman yang cukup luas. Setelah juru kunci makam memanjatkan doa-doa dan menaruh sesaji di lokasi danyang-danyang, acara makan bersama dimulai.
Makanan yang dibawa oleh masing-masing orang, dipertukarkan satu sama lain sehingga bisa merasakan beragam jenis makanan yang dibawa oleh masing-masing warga. Mereka makan bersama secukupnya di pelataran makam. Sisa makanan mereka bawa pulang untuk bekal makan seharian penuh. Malam harinya, digelar tayuban sebagai rangkaian ritus manganan.
Tayuban adalah kesenian tradisional Jawa (java dancer) yang melekat (embedded) dalam kebutuhan ritus-ritus orang Jawa. Para penari tayub disebut dengan ledek, sedangkan orang-orang Tuban menyebutnya sindir. Digelar tayuban pada ritual manganan menjadi penanda ucapan terima kasih dan permohonan keselamatan kepada roh atau danyang desa. Danyang desa sering dipersonifikasikan antagonistik, bersifat mengganggu, oleh karena itu penduduk setempat harus memberi suguhan dan persembahan yang berarti bagi kegembiraan danyang desa.
Tayuban, biasanya digelar di pelataran pemakaman desa atau pelataran balai desa. Seluruh kebutuhan tayuban, biasanya disokong penuh oleh kepala desa dan iuran penduduk setempat. Acara tayuban akan dihelat semalam suntuk, selepas Isya’ hingga menjelang Subuh. Di saat saya masih kecil, masih sempat menyaksikan ritual-ritual manganan dilaksanakan dengan kemewahan yang luar biasa. Di beberapa desa di Kecamatan Semanding, kepala desa bahkan memberi sesaji seekor kepala kerbau kepada danyang-danyang desa.
Dalam menggelar tayuban, cenderung ada kontestasi antar desa. Biasanya mereka akan berlomba lomba untuk mendatangkan sindir yang dianggap idola dan tenar, meskipun dengan bayaran yang teramat mahal untuk ukuran warga desa. Untuk menggelar tayuban, tuan rumah sebagai pihak pengundang harus mempersiapkan uang jutaan rupiah. Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, satu dari belasan desa yang menjaga “gengsi tinggi” dalam menggelar manganan dan tayuban. Warga dan perangkat desa setempat cenderung memberi perhatian yang spesial bagi pelaksanaan ritual manganan dan tayuban.
Selain keyakinan tradisi manganan yang begitu kuat di masyarakat Prunggahan Kulon, warga setempat juga percaya bahwa di desa merekalah dahulu Keraton Kabupaten Tuban berdiri, sebelum dipindahan oleh VOC.
Biasanya, siang sebelum tayuban dimulai, desa setempat yang memiliki hajat akan diramaikan dengan para penjual makanan dan minuman termasuk tuak, arak, dan bir. Para penjual dadakan itu, berasal dari warga setempat maupun warga dari luar desa. Semakin malam, mendekati digelarnya tayuban, jalanan menuju tempat tayuban akan semakin dipenuhi penjual makanan dan minuman, serta pengunjung yang hilir mudik. Jika sindirnya figur-figur populer dan cantik, jumlah pengunjung akan semakin ramai bahkan dari luar-luar kecamatan. Dalam semalam di arena tayuban, ratusan liter tuak dan arak akan habis, belum lagi ratusan botol bir. Tentu sungguh fantastis untuk perputaran dan pergerakan roda ekonomi di tingkat desa.
Keberadaan tuak, arak, dan bir tidak saja di kalangan para penjual, biasanya panitia manganan dan tayuban akan menyediakan tuak, arak dan bir bagi tamu-tamu yang akan menjadi pengibing (lelaki yang akan berjoget dengan sindir). Tuak, arak, bir, dan sindir menjadi kontestan bagi banyak para pengibing untuk eksploitasi maskulinitasnya. Situasi minum tuak harian dengan di arena tayuban juga berbeda. Dalam arena tayuban, biasanya orang yang bertahan untuk tidak mabuk secara diam-diam memberi pesan ke kontestan pengibing lainnya.
Di arena tayuban, para pengibing minum tuak, arak, ataupun bir ada dalam dua arena sekaligus. Pertama pengibing biasanya minum tuak, arak, atupun bir di arena meja tamu untuk para pengibing. Sambil bercengkerama satu sama lain, para pengibing menikmati minuman yang disediakan panitia2. Saat menghadiri acara tayuban di Kelurahan Karangsari, Kecamatan Tuban pada tahun 2004 lalu, saya sempat merasakan perputaran gelas berisi tuak, arak, dan bir seolah tiada hentinya di meja para pengibing.
Apalagi dalam arena tayuban itu, Wakil Bupati Tuban saat itu, almarhum Soenoto menjadi salah satu penggagas acara. Kontan saja, pasokan tuak, arak dan bir begitu banyak. Saya dan beberapa kawan Desantara sebagai pengibing pemula merasakan betapa “kontestasi diam-diam” di meja minuman tak terhindarkan. Bendera kejantanan di kerek tinggi-tinggi, mereka yang bertahan sampai pagelaran tayub usai dan tak terkulai karena mabuk, seolah menjadi “tokoh” yang disegani oleh para pengibing lainnya.
Bisa bertahan menjadi barisan pengibing hingga the last minutes tayuban, tidak saja tahan terhadap segala minuman yang disediakan, tetapi juga berdompet tebal. Sebab para pengibing selain harus membayar atas minuman yang ia minum, ia juga harus memberikan saweran kepada para sindir saat menari berdua.
Selain minum di meja para pengibing, biasanya sindir juga menyuguhkan minuman untuk para pengibing di saat joget berdua. Semakin banyak pengibing berjoget dengan sindir, tentu semakin banyak pula minuman yang ditenggaknya. Bagi seorang pengibing, sungguh memalukan jika tak mampu mengimbangi keserasian irama dan goyangan sindir, Joget dengan sindir pada akhirnya juga menjadi arena kontestasi terbuka dan triametris, yakni antar pengibing¸ dan pengibing dengan sindir.
Ketidakserasian gerak dan harmoni tari antara pengibing dengan sindir dikarenakan mabuk, tentu akan menjadi bahan tertawaan pengibing lainnya. Tertawaan ini tentu saja bukan sindiran yang negatif apalagi menjatuhkan citra, tetapi “humor” keakraban untuk mempertontonkan kemampuan sang pengibing tersebut. Jika ada seorang pengibing tak tahan dan jatuh dalam penguasaan tuak, maupun arak, sampai tak kuat menyangga tubuhnya, panitia tayuban akan membawanya keluar arena tayuban.
Dulu saat saya masih remaja, di beberapa tempat acara tayuban, para pengibing menaruh uang saweran di pakaian dalam (dibalik kemben- busana jawa) sindir. Para pengibing bisa merasakan sentuhan payudara para sindir saat memberikan saweran. Fantasi inilah yang mengundang berlombaan para pengibing untuk memberikan saweran. Belakangan, di tahun 80-an, pemerintah daerah, seperti Tuban, Nganjuk, Bojonegoro memberlakukan pelarangan bagi para pengibing untuk memasukkan saweran ke pakaian dalam sindir. Bahkan, predikat sindir dihaluskan oleh pemerintah, melalui pembinaan dan penataran yang diberlakukan kepada para sindir.
Dinas Pariwisata Kabupaten Tuban mengenalkan istilah waranggono sebagai pengganti istilah sindir. Untuk menjadi waranggono, Dinas Pariwisata memberlakukan kewajiban calon waranggono untuk mengikuti penataran, yang ditutup dengan wisuda. Pasca wisuda para waranggono mendapatkan sertifikat lisensi dari pemerintah, bahwa yang bersangkutan berhak untuk menjalani profesi waranggono.
Di beberapa daerah, menjadi pemandangan seragam bahwa pemerintah setempat mengatur tubuh sindir di arena tayuban. Menurut Bambang Setyono, budayawan Tuban, regulasi terhadap sindir dipandangnya sebagai negosiasi kalangan sindir. Pengaturan itu seperti menjadi bukti betapa kuat dan dominannya Negara Orde Baru di semua lini kehidupan. “Kalangan kampus yang terdidik saja bisa diatur oleh Orde Baru, apalagi ini kalangan perempuan yang berpendidikan rendah, yang menjadi sindir, dan mencari nafkah hidup di arena tayuban,” kata Bambang.
Analisis Bambang Setyono ada benarnya. Jika perlawanan frontal dilakukan sindir, praktis pemerintah orde baru dengan gampang melarang pertunjukan tayub. Sebagai bentuk negosiasinya, mereka “memperkenankan” negara untuk menata ulang tayuban dengan menghilangkan perspektif kasar dan erotisnya.
Awalnya tayub terintegrasi dengan acara bersih desa atau hiburan untuk meramaikan hajatan orang di kampung-kampung. Namun menurut Amrih Widodo (1991)3 yang melakukan studi tentang tayub Blora, sejak awal tahun 90-an negara orde baru sangat berkepentingan untuk mengatur kesenian rakyat ini, dengan pelbagai dalih.
Intervensi atas performance tayuban yang dimotori oleh pemerintah masa orde baru hingga kini, pada akhirnya berdampak serius bagi konstruksi kebudayaan lokal. Yampolsky (1995)4 menjelaskan banyak makna-makna yang hilang dan tak tersuarakan lagi tatkala pemerintah menghilangkan kata-kata, gerakan-gerakan, dan simbol-simbol, termasuk seleksi atas siapa yang mementaskan dan apa signifikansi pementasan itu bagi masyarakat lokal.
Rupanya, tidak hanya negara orde baru yang berkepentingan terhadap tayuban,tuak, dan manganan. Modernisasi agama di Tuban, yang mengalami pergeseran dari tradisi Islam (sufism) ke skripturalis, ikut berdampak atas tata performance manganan dan mengeliminasi tayuban dari tradisi manganan. Sebenarnya, seperti ditulis Robert Hefner (1987)5 bahwa penataan ulang ritus-ritus lokal kejawaan oleh kelompok-kelompok Islam normatif seperti tayuban sudah lama ia suarakan.
Kian kuatnya arus purifikasi keislaman, berdampak pada kontruksi dan tafsir atas manganan dengan seluruh propertinya. Jika sebelumnya manganan berbalut dengan tayub dan tuak, beberapa desa yang dimotori pemuka-pemuka Islam setempat, mengubah tatanan ritus manganan . Dari studi yang dilakukan oleh Nur Syam (2005:206)6 beberapa desa di Tuban tetap menggelar manganan dengan tata performance yang lebih Islami. Jika sebelumnya syarat dengan persembahan sesaji-sesaji terhadap danyang desa, beberapa desa telah menggantikan dengan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an untuk mendoakan arwah-arwah leluhur. Dari catatan yang dibuat oleh Nur Syam, peralihan tradisi manganan dari beberapa desa di Kecamatan Palang Tuban telah berlangsung sejak era 80-an.
Jika dalam studi sebelumnya yang dilakukan Woodward (1999) tampak sekali orang-orang kampung, meski Islam, tetapi penguasaan mereka atas beragam properti ritus-ritus lokal begitu kuat, bahkan cenderung “mengamuflase” agar tetap “Islami” dengan mendamaikan ritus-ritus lokal dengan Islam, namun dari temuan Nur Syam dan penelitian ini menampakkan cerita lain.
Kesantrian yang dilihat Woodward (1999) sebagai wadah damai untuk menolerir pelaksanaan ritus-ritus lokal, seperti manganan dan tayuban, justru pelan-pelan mengambil ruang secara lebih dominan. Ada dua operasi kerja yang berlangsung bersamaan dalam penguasaan ruang ritus-ritus lokal tadi, pertama dengan penguasaan ruang epistemik, seperti pembentukan “kesadaran baru” atas cara pandang. Kedua; mengubah performance dari ritus-ritus lokal itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Hefner (1987). Realitas ini jelas menggambarkan wajah lain dari asumsi Woodward, lebih-lebih telaah lamanya Geertz, melalui “proyek Mojokuto-nya”.
Suasana seperti ini tampak dari narasi-narasi yang kami temukan di Tuban sejak beberapa tahun lalu. Acara tayuban yang menjadi paket malam hari, yang biasanya satu paket dengan ritus manganan mulai ditiadakan. Beberapa desa lainnya mengganti dengan acara hadrah, atau biasa disebut terbang-jidoran, sambil diiringi syair puja-puji Islam yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW. Perubahan-perubahan itu semakin menunjukkan kemampuan kalangan santri melucuti ritus-ritus lokal yang selama bertahun-tahun sebelumnya menjadi “teman intim”. Tidak saja mampu mengubah performance manganan dengan lebih “Islami”, tetapi mampu menyingkirkan tubuh perempuan yang biasa berlenggak-lenggok dalam acara tayuban. Ketika dua properti di atas mampu ditata ulang, otomatis peredaran tuak, dan arak dalam panggung terbuka itu mampu mereka singkirkan pula, setidaknya pada ruang formal yang telah mereka kuasai.
Meskipun manganan telah ditata ulang, dan tayub telah digantikan dengan terbang jidoran, tidak secara otomatis peredaran tuak dan arak pada ruang ini benar-benar lenyap. Beberapa bala ngombe, menyadari ketidakpantasannya menyediakan tuak dan arak pada “ruang resmi” saat perayaan manganan. Untuk tetap menjembatani artikulasi kebiasaan minum tuak dan arak, beberapa bala ngombe memilih side event pada pelaksanaan manganan untuk bisa ngombe bersama.
Potret ini masih nampak dari tradisi manganan tiap tahun yang digelar di Makam Pati, Kelurahan Kebonsari, Tuban. Purnomo, 55 tahun warga setempat yang juga mantan ketua RT menjadi bagian peserta aktif dari bala ngombe siang, sebelum terbang-jidoran dimulai. “Minum tuak itu sudah menjadi adat sejak dahulu. Minum tuak ini untuk membangun kehangatan sesama warga di sini, apalagi para warga sekarang sedang bekerja bakti untuk mempersiapkan manganan. Tuak jadi ajang pemersatu,” ujar Purnomo sambil terkekeh.
Ekspresi keguyuban memang sangat nampak dari para warga yang mempersiapkan ritual manganan. Setelah segala teknis persiapan untuk manganan matang, para warga yang kerja bakti itu duduk melingkar-bergerombol, bercengkrama hangat sambil minum tuak dan menikmati tambur. Tuak tetap menjadi media sosial di kalangan mereka dalam bertegur sapa dan berbincang. Memang terlihat sangat akrab, dan renyah pembicaraan mereka. “Kami minum ini tak ada yang sampai mabuk,” ujarnya lagi. Setelah itu mereka istirahat untuk mengikuti terbang-jidoran pada malam harinya.
Unik memang, pernyataan Purnomo bahwa mereka minum tuak tak sampai mabuk, sebetulnya ingin memberi pesan pada saya bahwa mereka tetap “Islami”, sebagaimana mereka mengamini manganan dalam tata kelola yang lebih “Islami”. Orang-orang seperti Purnomo dan kawan-kawan menyetujui manganan menjadi jauh lebih “Islami” dan meniadakan tayuban, namun bukan berarti kebiasaan ngombe bareng lalu mereka hentikan. Agak rumit memang melihat fenomena ini. Di satu sisi ada kesadaran untuk menerima warna keislaman secara lebih dominan, seperti terlihat dalam ritus manganan, di sisi lain mereka tak mampu dan mau untuk menegosiasikan lebih-lebih menyingkirkan tuak dan arak dengan serta merta.
Fenomena manganan di atas mencerminkan relasi Islam dengan tradisi lokal yang cair, namun dalam dinamika yang berubah-ubah. Pada wilayah ini, Islam masuk dengan merebut ruang dominan pada wilayah epistemik, dan berujung pada perubahan performance ritus manganan. Seperti tercermin di Gesikharjo, Tasikmadu, dan Kebonsari, serta beberapa tempat lainnya, manganan tetap dilaksanakan, dengan rekreasi dan invensi, tetapi di ruang hampa kontrol, di saat pusat-pusat kekuasaan agama lengah atau tak menyadarinya, tradisi-tradisi lama menyembul kembali.
Misalnya saja beberapa kalangan bala ngombe menyempatkan waktu minum tuak bersama seusai manganan sambil menunggu terbang-jidoran. Mereka minum di sudut-sudut makam yang tak gampang terlihat khalayak. Potret ini persis yang dilakukan oleh Purnomo dan warga sekitarnya. Saat pelaksanaan acara pokok manganan dan jidoran, ia dan warga tidak minum tuak, tetapi saat masa jeda di antaranya dimanfaatkannya untuk fasilitasi bala ngombe.
“Kawan-kawan banyak berkumpul, tradisinya ngombe, kurang pantas rasanya kalau tak menghargai kedatangan kawan-kawan dalam manganan ini, ora njowo ngono kuwi (bukan jawa kalau begitu). Di lain pihak kita juga menghormati kesakralan manganan dan jidoran yang islami, agar terkabul seluruh doa baiknya, di sinilah harmoni,” ujar Purnomo.
Jika menilik konstelasi di atas, ada corak dimana batas-batas lokalitas itu bisa dinegosiasikan, dan pada batas-batas mana tidak bisa dinegosiasikan. Pada Purnomo dkk, jelas menunjukkan bahwa tuak dan arak adalah batas maksimal mereka bertahan. Batas dimana mereka menghilangkan total kebiasaan-kebiasaan (tradisi) lama. Di lain pihak mereka juga enggan untuk disebut wong abangan, sebagaimana konsepsi Geertz (1981)7, karena tetap membiasakan minum tuak dan arak. Mereka enggan disebut wong abangan karena definisi kemajuan, dan ukuran-ukuran sivilitas secara mainstream di tempat mereka adalah menjadi Islam.
Namun secara terburu-buru melihat fenomena ini sebagai wajah “Islam Kolaboratif” sebagaimana kesimpulan yang disampaikan oleh Nur Syam dalam wajah Islam Pesisiran, saya kira juga tidak cukup memadai. Saya kira, Islam Kolaboratif tak lebih racikan ulang untuk kian menggarisbawahi teori Woodward dengan Islam Jawanya. Pada studi Nur Syam, jelas ia memperlihatkan betapa medan lokal itu sepenuhnya justru “diambilalih” secara hegemonis oleh kalangan santri. Dalam kasus ritus manganan di Makam Pati, dan kebiasaan minum tuaknya memperlihatkan batas abangan itu mengalami “privatisasi”, yang hanya bisa dijangkau dengan kebiasaan minum tuak dan arak.
Spektrum kebudayaan di Tuban, sebagaimana sejarah mencatat tentu tak hanya diisi oleh kalangan santri yang moderat. Bagaimana dengan wajah keislaman lainnya di Tuban? Jika kelompok santri tradisionalis pelan-pelan menguasai ruang epistemik, jelas berbeda dengan kelompok-kelompok Islam tus. Bagi kelompok-kelompok Islam tus, istilah orang-orang Tuban dalam menyebut orang-orang Islam tekstualis, tetap saja kurang setuju dan tak mungkin menghadiri ritual-ritual manganan meskipun kontennya telah berubah dalam pola yang lebih “Islami”. Kelompok-kelompok Islam tus memiliki medan sendiri dalam melaksanakan ritus-ritus, yakni hanya semata-mata berpusat di masjid dan mushala, dan memosisikan diri diametris dengan kelompok-kelompok “abangan” atau Islam-tradisonalis.
Dalam ritus manganan tahun lalu (2010) di Desa Bektiharjo, Kecamatan Semanding Tuban, kami menemukan potret manganan yang berbeda dengan di desa-desa sebagaimana yang diilustrasikan oleh Nur Syam. Ritus manganan masih berpadu dengan pertunjukan tayub di malam harinya. Tuak dan arak menjadi properti pokok yang melimpah ruah. Pelaksanaan ritus manganan dan tayuban itu persis seminggu setelah Hari Raya Idhul Fitri.
Malam itu, kami berangkat dengan beberapa teman lama yang menjadi anggota kepolisian. Mereka memang tidak sedang menjalankan tugas pengamanan dari satuannya. Karena mereka senang dengan pertunjukan tayub, dan kesempatan itu menjadi momen penting bagi kami untuk melihat “wajah” lain dari ritus manganan, selain di Makam Pati.
Bergabungnya kami dalam acara tayuban malam itu, apalagi disertai dengan sejumlah anggota kepolisian memang sedikit menguntungkan kami. Setidaknya, kami mendapatkan tempat dan akses yang cukup mudah tanpa harus dipertanyakan lagi sebagai orang baru yang perlu ditanya banyak hal. Desa Bektiharjo, yang biasanya sunyi, karena lokasinya di atas pegunungan kapur, malam itu begitu semarak. Sepanjang jalan menuju lokasi tayuban penuh dengan penjual makanan dan minuman, termasuk tuak, arak dan bir.
Meskipun terjadi pergeseran pola pelaksanaan manganan, namun beberapa desa di selatan Tuban masih melaksanakan tradisi manganan dengan pola lama, meskipun guratan-guratan keislamannya sangat tampak. Hal ini terjadi karena pelaku-pelaku manganan dan tayuban itu juga secara formal memeluk Agama Islam.
Baru menjelang pukul 22.00 WIB, acara tayuban dimulai di pelataran makam pepunden desa yang dikeramatkan. Tayuban disemarakkan oleh tiga orang sindir yang berasal dari Tuban sendiri. Pada jam-jam “sore” hingga lewat tengah malam, pertunjukan tayuban masih berlangsung biasa-biasa saja, persis tayuban sebagai buah didikan dan binaan pemerintah. Saat waktu lewat 01.00 Wib, suasana bergeser sedikit “panas”.
Beberapa pengibing yang terlihat penuh aroma tuak, mulai sedemikian intim dengan sindir. Sesekali terlihat pengibing sengaja mencium pipi sindir. Meski sang sindir sesekali berusaha menghindar, karena begitu banyaknya pengibing malam itu, satu dua kali hidung pengibing berhasil mendarat di pipi sang sindir. Bahkan saya melihat beberapa pengibing berusaha nekat untuk memasukkan uang saweran ke dalam kemben sang sindir. Namun dengan lincah, sindir itu menghindar, sebagai gantinya ia harus rela bersentuhan pipi dengan pengibing tersebut.
Sesaat di tengah masa “jeda” saya sempat berbicara santai dengan sindir berusia 25 tahun itu, terkait tragedi saweran yang baru saja dihindarinya;
“Menjalani kehidupan menjadi sindir, apalagi di saat memasuki arena tayuban, akan selalu saja menemui lelaki yang ingin menjamah di atas panggung, bahkan di luar panggung. Di sinilah kami para sindir ini harus bisa bersiasat untuk menghindar. Kami jelas bukan perempuan gampangan. Tugas saya itu menghibur, membuat tontonan yang menarik, dengan selalu tersenyum. Saya itu bisa merasakan mas, mana lelaki yang sekedar menikmati hiburan ini, dan mana lelaki yang memiliki niat-niat kurang baik. Ya semua itu saya dapatkan dari seringnya saya menjalani profesi sebagai sindir.”Kelincahan IR (inisial sindir itu) di atas panggung dan di luar panggung tayub bersiasat menghadapi lelaki iseng, tidak dengan serta merta menjauhkannya dari klaim-klaim negatif atas persepsi sindir sebagai perempuan gampangan. Ya, itulah resikonya, mas, karena semua profesi cenderung ada resikonya, ujar IR. Posisi yang diambil oleh IR menyiratkan tarik menarik kepentingan yang begitu kuat dalam identitas sindir.
Berbeda dengan IR yang sedikit malu-malu untuk buka-bukaan dalam “erotisme” tayuban malam itu, rekan IR berinisial SW, 38 tahun, seorang janda yang menjalani hidup sebagai sindir sejak umur 15 tahun, lebih berani. Selama mengamati gerak SW diatas panggung, ia terlihat lebih berani melayani tantangan erotis para pengibing jika dibandingkan dengan IR. Tak jarang, para pengibing memegang pantat SW, dan SW hanya menyambutnya dengan penuh senyum. Beberapa pengibing yang telah mabuk, juga kerap beradu dada dengan SW, meskipun tiada gerak tangan peng-ibing yang mengarah ke dada SW.
Apakah ada peristiwa lanjutan antara erotisme di atas panggung tayuban dengan kemungkinan adanya hubungan-hubungan lebih lanjut antara di antara sindir dengan pengibing? Sayangnya saya tidak berhasil melacak lebih lanjut. Situasinya memang sangat privat dan untuk bisa mengetahui kemungkinan adanya affair lanjutan, tentu membutuhkan keintiman yang lebih dalam lagi kepada para narasumber terkait.
Yang pasti, menghadirkan sindir malam itu, bagi sesepuh desa Bektiharjo sebagai representasi ketundukan pada kosmologi desa, akan adanya danyang (roh leluhur), sekaligus representasi kesuburan. Namun makna itu tak selalu pararel dengan subyek-subyek yang ada di pentas tayub. Hiburan dan seksualitas menjadi fenomena diasporik yang tak terhindarkan dalam panggung tayub.
Dalam kisah-kisah lama, masa keemasan Kerajaan Singasari misalnya, aliran Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara melihat persetubuhan (baca: seksualitas) antara lelaki dan perempuan merupakan kesatuan transendental yang membebaskan manusia dari samsara. Oleh karena itu, perempuan sebagai wakil kebetinaan mendapatkan kedudukan yang tinggi dalam dimensi privat maupun publik8.
Meski telah berjalan lebih dari tujuh abad yang lalu, dan dunia tayuban menapaki beragam peralihan sosial, menghadapi pembaharuan, dan beragam regulasi-regulasi baru, fenomena tayuban di Desa Bektiharjo malam itu jelas memiliki pararelitas historis yang tak bisa diputus dengan mudah, berkait erat dengan dimensi seksualitas. Seksualitas menjadi jembatan penghubung antara dunia lampau dengan dunia masa kini.
Kisah tayuban semakin memberi penjelasan bahwa usaha-usaha negara untuk membidik tubuh perempuan sebagai peragaan kepornoan, dan harus diregulasi ulang sedemikian rupa mampu disiasati dan dikelabuhi. Hasrat kekuasaan untuk menciptakan kepatuhan melalui segenap rangkaian penataran terhadap sindir dan pemberian surat “ijin” menayub tak sepenuhnya berhasil.
Dalam tayuban, sindir menjadi medan perebutan kaum pengibing. Meski sindir berusaha “jual mahal” untuk mendapatkan “penawar” terbaik dan tertinggi, melalui teknik menghindar, joget berkelit, atau menyodorkan tuak untuk melumpuhkan pengibing, sekaligus menguji ketangguhannya. Di pihak lain, pengibing akan mengalokasikan sumber daya apapun untuk mendapatkan perhatian lebih dari sang sindir di atas rata-rata perhatian kepada pengibing lainnya.
Kontestasi di antara para pengibing dalam dunia tayub di Desa Bektiharjo malam itu jelas tampak dari dua sumber kami, yang memiliki orientasi berbeda. Handoko 38 tahun asal Desa Semanding, sangat berharap bisa lebih “mesra” dengan sindir. Handoko lebih merasa percaya diri untuk memperebutkan sindir ketimbang Yanto, karena Handoko lebih memiliki keunggulan, seperti wajahnya yang relatif tampan, pekerjaannya yang mapan sebagai prajurit kepolisian, dan isi dompet yang berkecukupan.
“Kalau lelaki datang ke sini, lalu tak memperebutkankan perhatian sindir, yo gak wong lanang mas (ya tidak lelaki mas). Apalagi IR masih muda, cantik, belum menikah, siapa yang tak ingin mendapatkan hatinya di atas panggung. Semua lelaki normal tentu pasti ingin mendapat perhatiannya, dengan cara apapun yang penting fair dan tidak merugikan orang lain. Itu sekaligus usaha untuk memenangkan “pertarungan” dengan pengibing lainnya mas.”Lain pengibing, lain pula keinginannya, seorang pengibing bernama Yanto merasa kalah sebelum berkontestasi “memperebutkan” perhatian lebih dari sindir. Yanto, 32 tahun sebagai salah satu pengibing asal Desa Ngino, Kecamatan Semanding yang malam itu larut dalam buaian gamelan tayub, mengatakan: “Saya sebenarnya termasuk orang yang “demam panggung”, berhubung saya minum tuak, saya lebih percaya diri untuk ngibing. Meski sedikit mabuk, tapi saya tetap bisa mengontrol diri. Berkat tuak tadi saya tak merasa malu untuk berjoget. Tuak membuat saya lebih greng (panas), namun saya juga tak akan macam-macam dengan sindir selain hanya ngibing. Gak mudah mas mendapatkan sindir. Dan saya sangat tahu diri, saya sebatas hanya berjoget untuk bersenang- senang semata. Misalnya saja saya berjoget biasa di keramaian tanpa minum tuak, saya grogi, lebih baik tak usah joget mas.
Demikianlah, bergeser lokasi sedikit saja dalam menangkap pesan dan mengilustrasikan manganan, tayuban, dan tuak, meski masih berada di wilayah Tuban, sudah nampak perbedaannya. Misalnya antara tradisi manganan seperti riset Nur Syam, lalu tradisi manganan di Makam Pati dan di Bektiharjo menampakkan deskripsi dan wajahnya yang berbeda. Dengan begitu, membutuhkan banyak strategi untuk membaca, sekaligus mempersoalkan beberapa “kemapanan” teori-teori antropologi tentang Jawa selama ini. [http://srinthil.org]
1 Dalam Abdullah,Irwan., 2006, Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.
2 Panitia Tayuban menyediakan tuak, arak, dan bir untuk dijual kepada para pengibing. Dari hasil penjualan minuman inilah menjadi sumbu penopangan untuk melakukan hajatan manganan dan tayuban. Kas panitia manganan desa biasanya akan bertambah dengan pembukaan lahan parkir kendaraan yang dikelola oleh karang taruna desa.
3 Amrih Widodo, The Stage of the State, Art of the People and Rites of Hegemonization. Paper ini dipresentasikan pada seminar bertajuk “Basis-basis Material Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Yayasan SPES dan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, 4 September 1991.
4 Yampolsky. Philip. 1995. Force fo Change in The Regional Perfoming Arts of Indonesia dalam Brijdragen. Dell.
5 Hefner. Robert 1987. The Politics of Popular Art: Tayuban Dance and Culture Change in East Java. Vol 43. Cornell South Asia Program. http://cip.cornell.edu/DPubS?verb=Display&version=1.0&service=UI&handle=seap.indo/1107009313&page=record
6 Nur Syam. 2005. Islam Pesisir. LKiS. Yogjakarta
7 Geertz. Clifford 1981 The Religion of Java.
8 Muljana.Slamet 2005, Menuju Puncak Kemegahan; Sejarah Kerajaan Majapahit, LKis, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar