(dtc)
Mengawali karier hitam sebagai pencopet, Freddy Budiman 'naik kelas' menjadi mafioso narkoba kelas wahid. Sepandai-pandainya mengendalikan bisnis dari balik penjara, Freddy akhirnya jatuh jua. Regu tembak kini menanti Freddy.
Masa susah Freddy sebagai copet diceritakan temannya, Ahmadi. Saat itu, Freddy dan Ahmadi yang belum berusia 20 tahun itu sama-sama mencari uang dengan mencopet di Surabaya.
Seiring waktu, keduanya hijrah ke Jakarta. Bedanya, Ahmadi tetap 'setia' menjadi copet di Pasar Senen, Jakarta Pusat, dan Freddy memulai masuk dalam jaringan perdagangan narkotika. Setelah itu, mereka tidak kontak untuk beberapa lama. Hingga akhirnya pada 2011 mereka kembali dipertemukan lagi di LP Cipinang saat Ahmadi tengah menjenguk temannya.
Di sinilah Ahmadi melihat perubahan besar dalam diri Freddy. Freddy saat itu berbeda dengan Freddy si tukang copet. Meski di dalam penjara, Freddy telah berubah menjadi penjahat kelas kakap, punya kekuasaan mahadahsyat mengatur narkotika di luar penjara. Rekanannya berada di berbagai negara di Asia. Kekayaannya lalu dicuci ke berbagai bisnis legal di luar penjara. Kekayaan inilah pula yang membuat para perempuan cantik mau bermanja-manjaan di pangkuannya.
Melihat pemandangan itu, Ahmadi kepincut menjadi kaki tangan Freddy. Menyaru sebagai penjaga toilet umum, Ahmadi lalu menjadi salah satu orang kepercayaan Freddy mengatur distribusi narkoba di luar penjara.
Tapi tak ada kejahatan yang sempurna. Gerak-gerik Ahmadi dan kawanannya mulai terendus saat diminta Freddy mengimpor 1 juta pil ekstasi dari China. Freddy berkongsi dengan sesama penjahat narkotika di dalam penjara, Chandra, untuk mengimpor ekstasi itu. Dalam hitungan matematis Freddy, dia akan mendapatkan sedikitnya Rp 45 miliar jika barang tersebut beredar di Indonesia. Itu belum termasuk uang yang didapat Chandra.
Paket yang disarukan dalam kontainer berisi akuarium tersebut dibekuk usai masuk gudang di Pluit pada 2012. Setelah dirunut, terbongkarlah siapa sebenarnya Freddy.
Pada Juli 2013 lalu, Freddy dijatuhi hukuman mati oleh PN Jakbar. Selain divonis mati, hakim juga mencabut ketujuh hak Freddy, yaitu:
1. Hak berkomunikasi dengan gadget apa pun
2. Hak untuk menjabat di segala jabatan
3. Hak untuk masuk institusi
4. Hak untuk memilih dan dipilih
5. Hak untuk jadi penasihat atau wali pengawas anaknya
6. Hak penjagaan anak
7. Hak mendapatkan pekerjaan
2. Hak untuk menjabat di segala jabatan
3. Hak untuk masuk institusi
4. Hak untuk memilih dan dipilih
5. Hak untuk jadi penasihat atau wali pengawas anaknya
6. Hak penjagaan anak
7. Hak mendapatkan pekerjaan
Putusan ini lalu dikuatkan oleh tingkat banding. Saat Freddy mengajukan kasasi, Mahkamah Agung (MA) pun bergeming.
"Menolak permohonan kasasi Freddy Budiman alias Budi bin Nanang Hidayat," demikian lansir panitera MA dalam websitenya, Selasa (9/9/2014). Putusan itu diketok Senin (8/9) kemarin oleh ketua majelis Dr Artidjo Alkostar dengan anggota Prof Dr Surya Jaya dan Sri Murwahyuni.
Lantas bagaimana nasib Ahmadi? Dia juga harus menemani Freddy karena sama-sama dihukum mati oleh PN Jakbar. (http://analisadaily.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar