Ilustrasi miras oplosan (ANTARA FOTO/Siswowidodo)
Kasus minuman keras oplosan yang merenggut nyawa sepuluh orang dan ratusan terpaksa dirawat di rumah sakit di Sumedang, bukan hal pertama kali terjadi.
Di sejumlah daerah kebiasaan minum miras oplosan juga terjadi. Bahkan ada yang mulai menjajal minuman itu saat baru berusia 14 tahun.
“Waktu itu tahun 2003, umur 14 tahun ketika pertama kali kenal alkohol. Awalnya diajak teman, jenisnya vodka,” kata Fery (bukan nama sebenarnya) 25 tahun kepada CNN Indonesia, Senin (8/12).
Berawal dari rasa penasaran, Fery bersama beberapa temannya pun rela patungan untuk mendapatkan minuman seharga Rp 15 ribu itu. “Pahit, rasanya enggak ada enak-enaknya sama sekali,” kata Fery mengenang.
Lantas Fery menjajal, mencampurnya dengan lima botol minuman berkarbonasi warna merah. Rasanya jadi agak manis kata Fery.
“Saya minum berdua teman di kelas saat sore hari sudah sepi. Cuma habis setengah langsung pusing, mau berdiri oleng. Saya ketawa-ketawa lihat teman yang berdiri saja menabrak-nabrak, “ kata Fery.
Efek melayang dan rileks itu membuat Fery mulai ketagihan. Diapun mulai mencoba berbagai jenis miras lain, mulai anggur merah, anggur putih, anggur kolesom, wiski, dan sebagainya.
“Dulu harganya yang kadar alkohol sekitar 14 persen hanya Rp 10 ribu, minum seminggu sekali dari hasil menabung sisa uang saku.”
Ketagihan Fery semakin lama semakin menjadi. Dia juga semakin berani mencampur miras dengan minuman lain. Awalnya dia hanya mencoba paket minuman oplosan yang disebut penjualnya bernama ‘Sunrise’.
“Itu campuran vodka, minuman berenergi, minuman berkarbonasi, dan minuman beralkohol satu persen. Masing-masing satu botol. Harganya Rp 25 ribu,” kata Fery. Karena rasanya lebih enak dan murah pula ini sempat jadi minuman favoritnya.
Coba-coba campuran lain
Fery sempat coba-coba minuman lain pula. Campurannya macam-macam mulai dari bubuk minuman berenergi, susu fermentasi, minuman beralkohol satu persen, dan jus buah kemasan.
Ada pula jenis miras wiski yang dicampur dengan minuman bersoda berwarna kecokelatan. “Dulu menyebutnya ‘miscol’ karena campuran wiski Mansion dan Cola. Kami tidak tahu itu asli atau tidak, yang penting murah dan memabukkan, karena sensasi ini yang dicari.”
Ada pula istilah ‘Abidin’ yang menurut Fery adalah campuran anggur dengan bir dingin. Kadang pula dia mencampurnya dengan bubuk minuman berenergi atau anggur yang tak jarang digunakan untuk campuran jamu.
Dari mana Fery mendapat resep campur mencampur miras ini? “Ya dari cerita dari mulut ke mulut saja. Juga dicoba-coba sendiri. Pernah juga coba mencampur sendiri, hasilnya tidak enak. Sayang juga duitnya,” kata Fery.
Cari produk miras lokal
Upaya mencampur-campur dan menjajal-jajal ini semakin marak ketika harga miras botolan naik tinggi karena ada kebijakan cukai pada tahun 2008. “Razia polisi juga makin gencar,” Fery mengungkapkan.
Jalan keluarnya Fery beralih ke miras lokal. Hobinya akan musik keras dan kegemaran mengunjungi konser musik lokal membawanya bertemu dengan penjual miras lokal. “Ada miras lokal, ada ciu, lapen, arak. Harganya cukup murah biasa dijual Rp 10 ribuan per botol 600 mililiter,” katanya.
Saat itu Fery bercerita tak ada ketakutan tentang kandungan miras oplosan itu. “Yang penting saya mabuk sama teman-teman, kalau moshing riapun enggak terasa kalau kena sikut atau jatuh,” kata Fery.
Fery pernah juga mencoba miras di bar dan klub malam. “Cuma ya mahal. Sayang duitnya. Apalagi musik dugem itu malah bikin saya pusing,” katanya.
Dari pemakai jadi penjual
Karena punya banyak teman yang suka minum, dengan uang terbatas, kegemaran mengoplos miras masih terus dilakukan Fery. “Lalu timbul niat iseng jualan karena melihat peminatnya tinggi, “ Fery.
Fery yang ketika itu masih tinggal di Yogyakarta sering diberi oleh-oleh dari Solo berupa ciu. Bahkan kemudian dia jadi mengenal daerah sentra industri alkohol di Jawa Tengah.
“Bersama teman saya naik motor ke sentra industri miras itu. Saya terkejut karena hampir seluruh desa memproduksi ciu — sebutan miras lokal ini karena tak tahu mana yang bagus, ada 10 rumah yang saya datangi. Masing-masing rumah menyuguhi satu gelas,” kata Fery.
Ciu yang dibeli itu lantas dicampur lagi dengan minuman yang lebih beraroma dan dijual secara eceran. Fery juga membuka layanan pesan antar untuk sejumlah pelanggan yag sudah dikenalnya.
Di acara musik, jika bintang tamunya cukup tenar, dagangan Fery dalam semalam bisa laku 10-20 botol, keuntunganpun bisa berlipat ganda. “Acara pertandingan bola bisa lebih banyak, malah kadang diborong para suporter ini. “
Seperti juga pengalaman para pengoplos, Fery dan teman-temannya mencoba mengoplos dengan komposisi yang dicoba-coba sendiri, hingga mendapatkan cita rasa yang sesuai dengan seleranya. Tak jarang dia menjadikan beberapa temannya sebagai pencicip juga.
Beberapa tahun terakhir Fery memutuskan berhenti minum miras baik yang murni atau oplosan sejak menderita gangguan liver. “Dua pekan dirawat di rumah sakit, cukuplah sudah,” katanya.
Mendengar kabar banyaknya korban jatuh karena oplosan di Sumedang, Fery mengatakan bersyukur. “Empat tahun jualan syukurlah tidak ada yang komplain apalagi meninggal,” katanya tertawa.
(http://www.cnnindonesia.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar