Sejumlah aktivis dan pengusaha memprotes larangan menjual minuman beralkohol di bawah lima persen atau bir di seluruh minimarket di Indonesia. Pelarangan ini dinilai akan berdampak semakin banyaknya peredaran minuman keras jenis oplosan di masyarakat.
"Saat ini saja sebelum peraturan itu berlaku, penjualan minuman keras beralkohol jenis oplosan terus meningkat. Peningkatan penjualan oplosan di pasar gelap ini berbanding lurus terhadap jumlah korban oplosan yang tewas pasca-meminum oplosan, " kata Rudhy Wedhasmara, Koordinator East Java Action, lembaga anti narkotika yang mendirikan rumah terapi terhadap korban oplosan di Surabaya saat dihubungi Beritsatu.com, Selasa (27/01).
Rudhy mengatakan sejak tahun 2013 hingga saat ini sudah ada 147 peraturan daerah baru yang melarang dan membatasi penjualan minuman keras beralkohol. Namun itu justru tidak menurunkan angka kematian akibat konsumsi oplosan di Indonesia, yang mencapai 18 ribu kematian tiap tahunnya.
"Beberapa daerah di Jawa Barat, seperti Cirebon sejak tahun 2014 sudah menerapkan aturan larangan penjualan minuman keras beralkohol segala jenis di supermarket dan minimarket, namun berdasarkan data yang dipublikasikan di media massa sejak tahun 2013 - 2014 menyebutkan 107 korban meninggal dunia akibat oplosan. Jumlah lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 - 2012 yang mencapai 50 korban jiwa, " jelasnnya.
Seperti diketahui, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel melarang penjualan minuman beralkohol di bawah 5 persen dijual di minimarket. Penjualan minuman beralkohol golongan A hanya boleh dilakukan oleh supermarket atau hipermarket.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol yang ditandatangani pada 16 Januari 2015 lalu. Dengan keluarnya aturan ini, pebisnis minimarket wajib menarik minuman beralkohol jenis bir dari gerai minimarket miliknya paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit.
Namun, lanjut Rudhy, aturan yang bermaksud menyelamatkan masyarakat dari dampak buruk alkohol malah berakibat sebaliknya dimana peredaran gelap alkohol illegal semakin tinggi dan korban penyalahgunaan alkohol semakin meningkat dan menyebar. Hingga aturan itu pun akhirnya dicabut.
“Salah satu solusi untuk menekan jumlah penyalanggunaan alkohol secara berlebihan dan juga peredaran oplosan yaitu dengan adanya edukasi alkohol seperti yang sudah diterapkan di beberapa sekolah di Inggris, " katanya.
Sementara itu, Koordinator Komunitas Masyarakat Indonesia Anti Oplosan, Indra Harsaputra mengatakan pelarangan penjualan bir di minimarket akan berdampak kepada dunia pariwisata di Indonesia. Dikuatirkan peredaran gelap alkohol illegal ini semakin marak karena sulitnya akses wisatawan asing mencari minuman keras beralkohol dan berimbas kepada dunia wisata.
"Jika aturan ini diterapkan maka kawasan wisata Gili Trawangan Lombok tidak ada bir lagi karena disana tidak ada supermarket, yang ada ialah minimarket yang banyak menjual bir. Jika tidak ada bir, maka ini berpotensi memunculkan peredaran alkohol illegal karena sebagian besar wisatawan asing disana pasti mencari alkohol, " ujarnya.
Indra mengatakan dunia pariwisata masih ingat kematian seorang remaja asal Australia Liam Davies meninggal dunia setelah mengkonsumsi arak oplosan ketika merayakan tahun baru pada tahun 2013 lalu di Lombok yang kemudian membuat Australia mengeluarkan travel warning kunjungan ke Bali dan Lombok.
Sebelumnya, di tahun yang sama seorang remaja Sydney menjadi buta setelah minum koktail dicampur dengan metanol dalam sebuah perayaan di Bali. Juni 2012, Johan Lundin backpacker asal Swedia meninggal dunia dalam kasus yang sama di Lombok. Kematian Lundin itu beberapa bulan setelah kematian pemain rugby asal Perth Michael Denton akibat keracunan metanol di Bali.
Sementara itu, anggota asosiasi perdagangan minuman beralkohol (Aspermira) Prasinto mengatakan pengusaha minuman keras beralkohol berharap pemerintah daerah memberikan kepastian hukum yang jelas. Karena selama ini aturan mengenai minuman beralkohol sudah ditetapkan oleh Presiden, yaitu Peraturan Presiden nomor 39 tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2014 dan dan sejumlah regulasi Bea dan Cukai terkait minuman keras.
"Pelarangan penjualan bir di minimarket akan berdampak pada penerimaan pajak minuman beralkohol berada di kisaran Rp 3,5 triliun - Rp 4,5 triliun dari keseluruhan target penerimaan cukai sebesar Rp 104,7 triliun di tahun 2013, " katanya.
Akibat pelarangan penjualan bir di minimarket ini juga berdampak kepada nasib 15 ribu buruh dan karyawan di 90 perusahaan minuman keras beralkohol legal di Indonesia. (www.beritasatu.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar