Sekretaris Jenderal YCAB
MENGATASI adiksi narkoba tidaklah mudah. Berbagai cara dan langkah telah dilakukan sejak lama, tetapi hasilnya tidak selalu menggembirakan. Meski begitu, kita tidak pernah boleh bosan berusaha. Tersedia berbagai cara mengatasi.
G (32 th), sejak lama menjadi problem dalam keluarga. G dibesarkan dalam sebuah keluarga yang berkecukupan. G merupakan anak laki-laki tertua dari tiga bersaudara. Menurut pengakuan G, ayahnya mendidiknya dengan pola militer. G juga sangat jarang menerima pujian dari ayahnya, ia malahan lebih sering mendapatkan hukuman fisik. Nah, itu sebabnya, barangkali, G mencoba berbagai obat penenang dan minuman yang mengandung alkohol, bahkan sejak masih duduk di bangku SMP.
Maka tidaklah mengherankan bahwa keluarga G lalu harus bolak- balik ke dokter jiwa untuk mendapatkan terapi fisik maupun psikis. Setelah ayahnya meninggal, perilaku adiksinya semakin berat, sehingga keluarga sepakat untuk memasukkan G ke sebuah panti rehabilitasi. Saat ini G sudah dapat bekerja secara wajar dan mempunyai pekerjaan yang baik.
I, 18, laki-laki, diantar ibunya ke sebuah panti rehabilitasi dalam keadaan fisik lemah, mungkin karena sudah beberapa panti rehabilitasi menolak untuk merawat I. Keadaan fisik I memang buruk. Kedua orang tua I berpisah ketika I berumur 14. Sejak itu I keluar dari rumah dan berhenti sekolah. I lalu bekerja di sebuah diskotek besar dengan penghasilan yang dapat menghidupinya di Jakarta.
Sayangnya, karena sejak usia 16 tahun I sudah terlibat narkoba (menggunakan alat suntik) dan melakukan hubungan seks sebelum nikah dengan pacar-pacarnya, I hanya sempat dirawat 5 hari. Pada hari ke 5, I meninggal dunia karena kegagalan fungsi dari hampir semua organ vital di tubuhnya. Diagnosis terakhir, I ternyata terkena AIDS.
Kedua contoh kasus nyata di atas, hanyalah sebagian kecil dari kasuskasus penyalahgunaan narkoba yang ada di Indonesia. Dalam menghadapi kasus-kasus adiksi narkoba sering kali kita kehabisan akal dan frustrasi. Terutama, bagi orang-orang yang berada di sekeliling pecandu.
Dalam tulisan yang lalu (Media/ 9/02) saya menulis tentang tahapan yang dilalui pecandu, jika seorang pecandu ingin pulih, yaitu:
Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), pada tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatan fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokter inilah yang memutuskan apakah pecandu perlu mendapat obat tertentu, misalnya untuk mengurangi gejala putus zat (sakau). Pemberian obat pada tahap ini tergantung dari jenis narkoba dan berat-ringannya gejala putus zat. Oleh karena itu dibutuhkan kepekaan, pengalaman, dan keahlian dokter yang merawat pecandu.
Tahap rehabilitasi nonmedis, pada tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi, dan di Indonesia sudah ada tempat-tempat rehabilitasi nonmedis dengan program therapeutic communities (TC), 12 steps, pendekatan keagamaan, dan lain sebagainya.
Tahap bina lanjut (after care), pada tahap ini pecandu diberi kegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu juga dapat kembali ke sekolah atau ke tempat kerjanya sambil tetap berada di bawah pengawasan.
Dalam setiap tahap, idealnya secara terus-menerus dilakukan pengawasan dan evaluasi terhadap proses pulihnya seorang pecandu. Pada tahap rehabilitasi nonmedis pecandu dianjurkan untuk mengikuti program yang sesuai dengan hasil evaluasinya, apakah dengan metode TC, atau 12 steps (dua belas langkah) atau pendekatan keagamaan atau malahan sudah dimungkinkan untuk menjalani rawat jalan.
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika dianjurkan proses rawat inap pecandu tidak lebih dari empat minggu. Dan menurut Mrc A Schuckit, MD program grup terapi merupakan program yang biayanya lebih murah daripada konseling pribadi. Menurut saya hal ini merupakan suatu hal yang penting untuk dipertimbangkan pelaksana program terapi dan rehabilitasi. Hasil temuan yang dilakukan YCAB, di Jakarta memang anak usia SMU, lebih senang curhat secara berkelompok ketimbang curhat satu-satu.
* Dari pengalaman dan pengamatan saya, di Indonesia paling tidak ada beberapa metode terapi dan rehabilitasi yang digunakan: Cold turkey
* Metode alternatif
* Terapi substitusi
* Therapeutic community
* Metode 12 steps
‘Cold Turkey’, istilah yang digunakan berarti seorang pecandu langsung menghentikan penggunaan narkoba/zat adiktif. Mungkin ini merupakan metode yang tertua. Metode ini mengurung pecandu yang sedang berada dalam masa putus obat (selama gejala tersebut ada), tanpa memberikan obat-obatan. Pecandu dikurung tak lebih dari dua minggu. Setelah gejala putus obat hilang, baru pecandu dikeluarkan dan diikutsertakan dalam sesi konseling (rehabilitasi nonmedis). Beberapa panti rehabilitasi dengan pendekatan keagamaan biasanya menggunakan metode ini dalam fase detoksifikasi.
Terapi substitusi, hanya dapat digunakan untuk pasien- pasien ketergantungan heroin (opioida), karena itu sebutan lengkapnya adalah terapi substitusi opioida. Untuk pengguna opioida hard core addict (pengguna opioida yang telah bertahun- tahun menggunakan opioida suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan akan heroin (narkotika ilegal) diganti (substitusi), dengan narkotika legal.
* Beberapa obat yang biasa digunakan ialah: kodein
* bufrenorphin
* metadone
* naltrekson
Obat-obatan ini dapat digunakan sebagai obat detoksifikasi maupun sebagai terapi rumatan. Obat-obat ini diberikan sebagai pengganti heroin, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan pecandu, untuk kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan.
Keempat obat tersebut sudah beredar di Indonesia. Sayangnya kajian lengkap mengenai dampak dan fungsi kontrol terhadap obatobatan ini masih harus ditingkatkan, karena saya menemukan adanya kasus-kasus penyimpangan/ penyalahgunaan dari obat-obat resmi tersebut. Sebagai salah satu contoh, Singapura saat ini melarang peredaran obat golongan bufrenorphin, karena berdasarkan kajian ditemukan kecenderungan penyalahgunaan yang berakibat fatal.
Di Indonesia sekarang ini, terapi metadone telah digunakan sebagai cara untuk mengalihkan penggunaan alat suntik, dengan prediksi bahwa penularan HIV akan dapat ditekan, khususnya di kalangan pecandu heroin pengguna alat suntik.
Di banyak negara, termasuk di sejumlah negara Asia, program terapi substitusi yang paling umum adalah TRM (terapi rumatan metadone). Program TRM dapat dibedakan menjadi program detoksifikasi dan program rumatan. Untuk program detoksifikasi dibedakan dalam jangka pendek dan jangka panjang yaitu jadwal 21 hari, 91 hari, dan 182 hari. Sedangkan program rumatan/pemeliharaan berlangsung sedikitnya 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih lama lagi.
Sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 567/Menkes/SK/VIII/2006, 2 Agustus 2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif /Napza, peserta program ini harus memenuhi kriteria berikut. (Lihat Tabel Kriteria Ketergantungan…)
Di Jakarta pada 2008 akan dilaksanakan terapi ini dengan basis puskesmas. Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta, akan bekerja sama dengan berbagai puskesmas yang melaksanakan terapi metadon, dan BNP akan menyiapkan tenaga-tenaga konselor yang telah dilatih untuk menangani perilaku adiksi narkoba.
Saya sangat berharap bahwa kajian-kajian yang akan dilakukan terhadap program ini bukan hanya kajian terhadap program saja. Juga diperlukan upaya untuk melihat efektivitas program terhadap berubahnya perilaku adiksi. Untuk menunjang upaya tersebut dibutuhkan waktu yang panjang (paling sedikit 3 tahun) untuk melihat perubahan perilaku pecandu.
‘Therapeutic Community (TC)
Mulai digunakan pada akhir 1950 di Amerika Serikat, dengan tujuan utama, menolong pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang produktif. Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help program, yang mempunyai sembilan elemen.
Yaitu: partisipasi aktif; feedback dari keanggotaan; role modeling; format kolektif untuk perubahan pribadi; sharing norma dan nilainilai; struktur & sistem; komunikasi terbuka; hubungan kelompok dan penggunaan terminologi unik.
Aktivitas dalam TC akan menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui lima area pengembangan kepribadian, yaitu manajemen perilaku; emosi/psikologis: intelektual & spiritual; vocasional dan pendidikan; keterampilan untuk bertahan bersih dari narkoba (Lihat Tabel 12 Langkah).
Program ini dikenal pertama kali pada 1935 dan berasal dari program Alcoholics Anonymous (AA), yang sekarang telah berkembang menjadi berbagai anonymousnarcotics anonymous (NA), gambler anonymous, sexual anonymous. Program ini berasal dari suatu acara kebangunan rohani, maka nuansa spiritual dalam program ini terasa sangat kental. misalnya,
Di Amerika Serikat, jika seorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan narkoba, biasanya pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12 Langkah.
Bisa dalam bentuk rawat inap atau harus mengikuti pertemuanpertemuan 12 Langkah (alcoholic anonymous/AA; narcotic anonymous/ NA). Biasanya pecandu yang mengikuti program ini dimotivasi untuk mengimplementasi ke 12 langkah ini dalam kehidupannya sehari-hari.
Setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Saya berpendapat, semakin banyak metode, maka semakin baik bagi pecandu, karena pecandu dapat memilih metode yang sesuai dengan kebutuhannya.
Terapi dan rehabilitasi di Indonesia
Di Indonesia RSKO (rumah sakit ketergantungan obat), mulai menangani pecandu sejak 1972, yaitu menempati sebagian lahan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Fasilitas yang disediakan RSKO Fatmawati masih terbatas pada detoksifikasi dan prarehabilitasi.
Saat ini RSKO, telah memindahkan aktivitasnya ke Cibubur (Jakarta Timur), dengan fasilitas yang cukup lengkap. Selain melayani secara medis, juga mempunyai fasilitas rehabilitasi non medis (Halmahera House) dengan pendekatan TC.
Balai Kasih Sayang Parmadi Siwi, (Wisma Pamardi Siwi) berlokasi di Jl MT Haryono No 11 Cawang, Jakarta Timur, yang diresmikan Ibu Negara pada waktu itu, 31 Oktober 1974. Pada masa itu Wisma Pamardi Siwi adalah pilot proyek nasional DKI Jakarta yang merupakan realisasi dari Badan Koordinator Pelaksana (Bakolak) Instruksi Presiden (Inpres) 6 Tahun 1971. Wisma itu berada di bawah koordinasi pihak kepolisian dan dalam beberapa tahun terakhir diserahkan kepada Badan Narkotika Nasional.
Saat ini secara bertahap aktivitas panti rehabilitasi ini mulai dipindahkan ke daerah Lido, Jawa Barat, yang disebut sebagai Pusat Rehabilitasi Penanganan Korban Narkoba Lido (PRPKN Lido). PRPKN Lido adalah panti rehabilitasi narkoba terbesar se-Asia Tenggara.
* Di tempat ini digunakan empat pendekatan terapi yakni: hospital base,
* religy,
* alternative,
* therapeutic community.
Panti rehabilitasi milik pemerintah di Lido ini akan menjadi salah satu pusat rehabilitasi yang dapat memenuhi kebutuhan pecandu di Indonesia dan rencananya tempat tersebut selain menjadi pusat rujukan nasional, juga menjadi teaching hospital bagi masalah adiksi narkoba di Indonesia.
Menurut buku panduan tentang terapi dan rehabilitasi, yang diterbitkan Badan Narkotika Nasional, dokter yang dapat memberikan terapi medis adalah dokter yang telah melalui pelatihan tertentu, demikian juga konselor, pekerja sosial, perawat. Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta (bagian Terapi dan Rehabilitasi) mempunyai kebijakan, konselor yang ingin mendampingi pecandu, paling tidak telah melalui pelatihan selama 72 jam.
Selain tempat-tempat rehabilitasi milik pemerintah, peran masyarakat juga tidak kalah. Sejak tahun 1980-an mulai muncul tempat- tempat rehabilitasi milik swasta, dengan berbagai model pendekatan terapi dan rehabilitasi.
Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, setahu saya belum ada laporan tentang efektivitas dari program- program terapi dan rehabilitasi di Indonesia. Menurut hemat saya hal ini sangat penting sebagai bagian dari strategi penanganan pecandu secara nasional. Satu hal yang dapat digunakan sebagai tolok ukur ialah jangka waktu—misalnya tiga tahun—mantan pecandu hidup bersih dari narkoba (sober) dan perilakunya telah berubah.
Prinsip umum
* Dalam menghadapi kasus-kasus adiksi, paling tidak ada prinsip- prinsip umum yang saya gunakan: Pecandu (apa pun jenis adiksinya) dan keluarganya, adalah tetap manusia. Manusia, merupakan makhluk termulia yang pernah diciptakan sang pencipta. Dan sejak diciptakan, kita dapat melihat bahwa manusia mempunyai aspek fisik, jiwa, roh, dan sosial. Dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai tubuh, jiwa dan roh, yang terintegrasi menjadi satu kesatuan utuh.
Maka, dalam melakukan penanganan terhadap setiap masalah, keempat aspek tadi harus diperhatikan. Dalam penanganan kasus adiksi pun demikian. Ada baiknya dalam penanganan adiksi bukan hanya menggunakan satu disiplin ilmu saja, tapi empat disiplin ilmu bekerja bersama untuk menangani kasus adiksi. Sehingga betapa pun ahli dan berpengalamannya seorang profesor, dokter, konselor, dan lainnya, dia tidak berhak mengklaim seorang pecandu sembuh karena bantuan mutlak saya.
Hal lain tentang manusia ialah fakta bahwa di kolong langit ini, tidak ada dua manusia yang identik sama. Dengan kata lain manusia itu: “Sama dalam perbedaan, atau berbeda dalam kesamaan.” Inilah keunikan manusia. Itu sebabnya jika ada 50 pecandu, ke 50 orang ini mempunyai keunikan masing-masing, sehingga perlu diperhatikan dinamika dari setiap pecandu.
Saya berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kehendak (kebebasan untuk memilih) dan ini merupakan suatu anugerah yang diberikan kepada manusia, oleh karena itu saya sangat menghargai keputusan-keputusan yang diambil pecandu ketika pecandu (dan keluarganya) memilih untuk mengikuti suatu program terapi dan rehabilitasi (apapun jenis dan metodenya), demikian pula ketika pecandu memilih tidak mau ikut dalam program terapi dan rehabilitasi.
‘Don’t attack the person. Attack the problem!’
Permasalahan dalam adiksi ada pada perilaku, bukan pada pribadi (pecandu), sehingga yang perlu diperbaiki adalah perilaku adiksi, bukan siapa pecandu (suku, ras atau agamanya). Sehingga, dalam menangani pecandu, harus pula diperhatikan dan dihormati hak-hak pecandu sebagai manusia.
Yang menjadi soal bukan masalahnya tetapi bagaimana cara menghadapi masalah tersebut. Dalam menghadapi kasus-kasus pecandu, sering kali saya menemukan pecandu menjadi tertuduh, tetapi tidak jarang pula ayah atau ibu pecandu yang menjadi terdakwa. Sehingga, terjadi salah persepsi antara pecandu dengan keluarganya, atau sebaliknya. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kesabaran kebijaksanaan dan hikmat, supaya persoalan tidak bergeser lalu menyerang dan menyakiti pribadi-pribadi yang terlibat dalam permasalahan adiksi.
Bagi saya perpecahan dalam keluarga bukan suatu yang aneh karena dalam sesi-sesi konseling, saya sering berhadapan dengan masalah ini. Maka saya sering menggunakan kalimat: “Dalam menghadapi adiksi, kita akan berhadapan dengan roh pemecah!” Dan untuk melawan hal tersebut harus dilawan dengan bersatunya semua pihak yang terlibat dalam perlawanan adiksi ini.
Ada risiko penyakit penyerta (HIV/AIDS, hepatitis, gangguan jiwa, dll)
Hal-hal yang harus diperhatikan yaitu kemungkinan pecandu yang menggunakan alat suntik sudah terpapar HIV dan atau hepatitis (b atau c), sehingga secara fisik, bagi pecandu (yang menggunakan alat suntik) harus dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium secara lengkap. Hal lain yang juga harus diperhatikan ialah adanya diagnosa ganda. Istilah ini digunakan bagi pecandu yang mempunyai gangguan jiwa, sehingga masalah yang dihadapi semakin kompleks.
Peran keluarga
Dalam menghadapi pecandu harus tetap diingat bahwa keluarga pecandu biasanya mempunyai perilaku sama dengan pecandu, co-dependent. Idealnya keluarga pecandu harus dilibatkan secara aktif dalam proses pemulihan pecandu.
Betty Ford Foundation, yang memiliki suatu pusat rehabilitasi bagi pecandu, mempunyai program khusus bagi keluarga pecandu. Jelas bahwa pelayanan yang disediakan bukan hanya bagi pecandu.
Dalam beberapa kasus yang saya temui, keluarga pecandu sudah demikian putus asa, sehingga membiarkan pecandu berlama-lama di pusat rehabilitasi. Ada juga yang tidak mau lagi bertemu dengan si pecandu. Hal ini terjadi karena keluarga pecandu mempunyai bentuk kasih sayang yang sering disalahartikan oleh pecandu. Atau, sering kali cara keluarga mengasihi pecandu tidak tepat.
Cinta kasih memang sangat dibutuhkan seorang pecandu, tetapi pada kenyataannya manusia sering salah mengartikan makna cinta yang sesungguhnya. Dalam bahasa Ibrani digunakan kata hesed yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi love-kindness (Cinta dan kemurahan hati). Dalam salah satu bagian kitab suci dituliskan bahwa, ‘Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran; menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.’
Menurut saya cinta-kasih itu bukan sekadar perasaan belaka. Cinta itu merupakan tindakan aktif yang memberikan kebebasan memilih kepada orang yang dicintai, termasuk juga untuk tidak membalas cinta. Cinta yang demikianlah yang dapat menyatukan kembali keluarga yang pecah akibat masalah adiksi. Dengan kata lain semua yang terlibat dalam masalah adiksi, pecandu, keluarganya, dokter, konselor, rohaniwan perlu mempunyai konsep cinta-kasih yang benar, untuk membantu proses pemulihan. Perlu juga dipahami, keluarga yang terpecah akibat masalah adiksi sangat membutuhkan terapi keluarga, dan model terapi keluarga yang cukup efektif adalah metode Satir, yang ditemukan Virginia Satir. Dalam pendekatan metode ini ditekankan bahwa setiap anggota keluarga merupakan unit yang saling berhubungan satu dengan lainnya, jadi jika ada satu unit yang mengalami masalah, akan berdampak kepada unit-unit yang lainnya.
Berdasarkan hal ini maka keluarga pecandu akan mempunyai peran penting dalam proses pemulihan pecandu. Hipotesanya, jika keluarga tidak mengalami pemulihan, maka pecandu juga sulit untuk bertahan bersih. (https://kampungbenar.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar