Sudirman Nasir
Pengajar/peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar
Tanggal 26 Juni setiap tahun diperingarti di berbagai negara dan oleh berbagai kelompok dan individu sebagai Hari Anti Narkoba Internasionjal (HANI). HANI diinisiasi oleh Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)sebagai peringatan untuk melawan penyalahgunaan obat-obatan dan penjualan obat secara ilegal. Peringatan ini dimulai pada 26 Juni 1988. Tanggal tersebut dipilih untuk mengenang pengungkapan kasus besar perdagangan opium di Humen, Guangdong,Tiongkok, oleh seorang pejabat jujur bernama Lin Zexu, sebelum meletusnya Perang Candu di neregir tersebut. Lin Zexu (30 Agustus 1785-22 November 1851) adalah pejabat yang hidup pada masa Kaisar Daoguang dari Dinasti Qing. Ia juga seorang filsuf, ahli kaligrafi dan penyair. Ia terkenal akan perjuangannya menentang perdagangan opium di Tiongkok. Sosok seperti Lin Sexu ini sangat penting dalam upaya global mengatasi narkoba. Pencanangan HANI ditandai dengan dikeluarkannya resolusi PBB 42/112 pada 7 Desember 1987.
Di Indonesia saat ini masalah narkoba sedang mendapatkan sorotan tajam. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan banyak aparat negara menyebut kita berada dalam ‘darurat narkoba” karena besarnya tingkat peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Hukuman mati bahkan telah diberikan terhadap sejumlah pengedar narkoba. Jokowi dan aparat negara lainnya juga tak henti-hentinya mengingatkan kita bahwa saat ini terdapat sekitar 4,2 sampai 4,5 juta pengguna narkoba di Tanah Air. Diperkirakan terdapat 40 sampai 50 orang setiap hari meninggal terkait dengan dampak buruk penggunaan narkoba. Sementara itu kita hanya mampu melakukan rehabilitasi terhadap sekitar 18 ribu orang yang mengalami ketergantungan (kecanduan) terhadap narkoba setiap tahun.
Namun, tampaknya kita harus melihat masalah narkoba ini secara lebih dalam, bukan sekedar pemaparan angka-angka seperti di atas. Karena angka-angka seringkali hanya mengantar kita mereka-reka besaran masalah namun memiliki keterbatasan untuk memberi pemahaman lebih rinci. Terdapat pula adagium yang menyatakan “kematian seorang manusia adalah sebuah tragedi, kematian sejuta orang hanyalah sebuah statistik”. Di balik angka-angka di atas adalah pengalaman nyata dan (seringkali) penderitaan seseorang dan keluarganya (serta lingkungannya) akibat ketergantungan (kecanduan) narkoba. Tetapi untuk memahami pengalaman nyata dan penderitaan akibat narkoba itu, kita mesti memahami terlebih dahulu tingkatan-tingkatan atau perbedaan keterlibatan dalam penggunaan narkoba. Sesuatu yang seringkali dikaburkan dalam deretan angka-angka di atas.
Tingkatan Penggunaan
Dalam literatur (yang didasarkan pada banyak penelitian atau pengamatan empirik terhadap penggunaan/penyalahgunaan narkoba) terdapat paling sedikit tiga tingkatan penggunaan/penyalagunaan narkoba. Pertama adalah pengguna coba-coba (experimental users), yakni orang-orang (lebih banyak berupa orang-orang muda ataupun anak-anak dan remaja) yang mulai (inisiasi) menggunakan narkoba karena berbagai alasan seperti rasa penasaran atau ingin tahu (curiosity), pengaruh kawan-kawan sebaya (peer pressure/preference), atau keinginan mencari kesenangan (pleasure seeking) atau pengalaman baru (thrill seeking). Patut diingat bahwa hanya segelintir dari pengguna coba-coba ini yang kemudian keterusan terjerumus menjadi pecandu narkoba. Sebagian besar berhenti pada tahap ini ataupun berlanjut untuk beberapa saat namun kemudian berhenti. Alasan untuk berhenti sangat beragam, antara lain karena menganggap rasa ingin tahunya sudah terpenuhi, kesenangan yang didapatkan tidak sebanding dengan risiko yang mungkin terjadi atau terutama karena lingkungan sosial terdekatnya (significant others) tidak menyetujui penggunnaa narkoba. Alasan narkoba dapat membahayakan masa depan atau cita-cita yang ingin diacapai juga seringkali menjadi motivasi kuat.
Jenis pengguna yang kedua adalah pengguna terkontrol (controlled users). Pengguna jenis ini sudah beranjak dari pengguna coba-coba menjadi pengguna teratur namun berbeda dengan pecandu, pengguna terkontrol ini belum mengalamai kecanduan (ketergantungan) dan belum mengalami dampak-dampak merugikan (dari segi kesehatan, hukum maupun sosial) akibat penggunaan narkoba yang mereka lakukan.
Mereka mampu melakukan ‘kontrol’ atau ‘regulasi’ terhadap penggunaan narkobanya sehingga dampak-dampak buruk belum muncul. Mereka belum mengalami gejala-gejala putus zat (withdrawal symptoms), gejala-gejala menyakitkan secara fisik maupun psikis karena ketergantungan narkoba. Lagi-lagi patut diingat, sangat banyak orang yang mampu berada dalam fase ini dalam jangka waktu lama bahkan permanen, dalam pengertian tidak menjadi pecandu.
Tentu saja kondisi ini bukanlah kondisi ideal, namun pada kenyataan sehari-hari pengguna jenis ini sangat banyak, bahkan banyak penelitian menunjukkan pengguna jenis ini sebenarnya jauh lebih banyak di bandingkan pecandu. Mereka mampu menjadi pengguna terkontrol karena memiliki kapasitas pribadi maupun jaringan sosial yang membuat mereka mampu bertindak seperti itu.
Sebagian besar adalah orang-orang yang sudah memiliki pekerjaan dan identitas yang mapan dan tidak ingin mengorbankan hal-hal berharga tersebut dengan memakai narkoba berlebihan yang bisa mengantar mereka menjadi pecandu. Mereka misalnya hanya memakai narkoba tertentu sekali setiap pekan atau sekali setiap bulan bersama orang-orang tertentu atau dalam peristiwa-peristiwa tertentu.
Jenis pengguna yang ketiga adalah pecandu (dependent to drugs atau juga disebut problematic users). Pecandu atau pengguna problematik ini adalah orang-orang yang sudah mengalami ketergantungan dan sudah mengalami gejala-gejala putus zat yang menyakitkan. Merekapun umumnya sudah mengalami dampak-dampak buruk dari segi kesehatan, psikologis, ekonomi, hukum maupun sosial. Tidak sedikit yang bahkan mengalami dampak parah seperti overdosis, HIV, hepatitis C, radang kulit, radang pembuluh darah jantung, depresi dan sebagainya. Tidak sedikit pula yang mengalami dampak ekonomi seperti pengangguran berkepanjangan yang lalu mendorong mereka terlibat dalam berbagai tindakan kriminal untuk mendapatkan uang demi membeli narkoba. Hal-hal tersebut membuat mereka semakin terasing dari masyarakat dan mendapatkan stigma buruk.
Ketiga jenis pengguna narkoba ini membutuhkan strategi penanganan berbeda-beda. Pada intinya kita membutuhkan program-program untuk memperkuat faktor-faktor pelindung (protective factors) dan mengurangi faktor-faktor risiko (risk factors) untuk mencegah atau memperlambat anak-anak muda melakukan inisiaisi/eksperimentasi menggunakan narkoba dan mencegah orang-orang mengalami kecanduan/ketergantungan.
Terhadap mereka yang sudah mengalami ketergantungan/kecanduan, dibutuhkan program rehabilitasi medik dan sosial sehingga mereka dapat mengatasi kecanduannya dan kemudian bisa kembali ke masyarakat dan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Program-program terpadu seperti itu memang tidak mudah namun terbukti di banyak negara menurunkan angka ketergantungan dan dampak-dampak buruk narkoba.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar