28 Maret 2016

Anggota DPR Duga Mafia Narkoba di Balik Kerusuhan Lapas

Petugas gabungan TNI dan POLRI mengevakuasi tahanan saat kebakaran yang dipicu aksi tawuran dan tembak menembak antar napi di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II A Malabero Kota Bengkulu, Jumat 25 Maret 2016.


Petugas gabungan TNI dan POLRI mengevakuasi tahanan saat kebakaran yang dipicu aksi tawuran dan tembak menembak antar napi di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II A Malabero Kota Bengkulu, Jumat 25 Maret 2016. (Antara)
Merespons aksi kerusuhan yang memakam korban jiwa di sebuah lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Bengkulu, Anggota Komisi III DPR Aboebakar Al-Habsyi, menilai hal itu terjadi akibat adanya upaya perlawanan terhadap upaya pemberantasan narkoba oleh negara. Ditegaskannya, negara tak boleh kalah dan harus tegas.
"‎Negara tidak boleh kalah dengan jaringan narkoba, tidak boleh menyerah dengan aksi-aksi perlawanan seperti ini," tegas Aboebakar, Senin (28/3).
Diketahui, kebakaran melanda Rumah Tahanan Negara (Rutan ) Klas II B di Kelurahan Malabero, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu. Lima orang napi tewas akibat kejadian itu.
Rusuh itu sendiri berawal dari upaya penghuni lapas yang berusaha menahan upaya penangkapan gembong narkoba oleh petugas dari Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Bengkulu.
Bagi Aboebakar, sudah jelas indikasi adanya perlawanan terhadap upaya pemberantasan narkoba. Dalam konteks itulah, dia menilai aparat harus bertindak tegas terhadap pelaku perusakan lapas.
Dia juga mendorong agar koordinasi antara pihak lapas dengan Kepolisian setempat diintensifkan demi pengamanan dan pengusutan.
"Siapa saja yang terlibat dalam insiden tersebut, jangan ragu untuk memproses mereka secara hukum. Perusakan ataupun pembakaran aset negara adalah tindak pidana yang tidak bisa didiamkan," tandasnya.
Politikus PKS itu menegaskan dukungan pihaknya kepada BNN untuk menggilas jaringan narkoba di lapas.
"Karena selama ini memang terbukti banyak jaringan mafia narkoba yang ternyata dikendalikan dari lapas‎," tandasnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Sufmi dasco Ahmad, menilai bahwa ‎kejadian di Rutan Malabero semakin menegaskan bahwa ada kekurangan personil untuk menjaga serta mengawasi tempat itu.
Menurut Dasco, kejadian seperti di Malabero kemungkinan bisa dihindari apabila jumlah petugas lapas mencukupi.
"Info yang saya dapat secara nasional, saat ini satu pegawai lapas harus mengawasi sektar 55 warga binaan, tentu tidak akan cukup," ujar Dasco.
Dia mengaku kondisi serupa bisa terjadi di lapas manapun di Indonesia‎. Berdasarkan catatannya, ada dua lapas baru di Jawa Barat, di Cibinong dan Gunung Sindur, namun aparat petugas lapas tak ditambah.
Akibatnya, petugas yang sudah kurang jumlahnya, dibagi lagi untuk menjaga dua lapas baru itu. ‎Di LP Anak Bandung, dengan isi 189 warga binaan, hanya dijaga 12 petugas yang dibagi empat giliran jaga, dengan masing-masing tiga regu.
Secara terang-terangan, Dasco mengkritik Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandy, yang tetap mempertahankan kebijakan moratorium penerimaan PNS untuk semua lembaga. Seharusnya ada pengecualian untuk lembaga seperti Lapas.
"Padahal jumlah warga binaan, khususnya untuk kasus narkoba, terus bertambah. Ini perlu perhatian khusus kalau kita tak mau terulang lagi tragedi yang sama," tandas Dasco, sembari menyarankan, minimal rasio petugas dengan warga binaan minimal adalah satu berbanding 25.
Sebenarnya, keributan di Lapas Malabero itu bukan yang pertama kali terjadi. Juli 2013 lalu, seorang pengacara bernama Benaso Harefa, menolak untuk memakai ID Card pengunjung saat hendak masuk ke Lapas. Hal itu memicu kemarahan petugas Lapas hingga memukul Benaso dan memancing keributan.
BeritaSatu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar