MINUMAN keras alias miras kini jadi fenomena menakutkan. Hampir setiap pekan kita disuguhi berita tentang dampak negatif miras oplosan di berbagai daerah, baik yang meninggal, sekarat, cacat maupun melakukan kejahatan lantaran mabuk.
Ironisnya, minuman mematikan tersebut tetap saja beredar bebas merata sampai pelosok daerah.
Peristiwa belasan orang sekaligus meninggal dunia akibat menenggak miras oplosan, bukanlah hal yang baru. Di berbagai daerah seperti Subang, Garut, Sukabumi dan daerah lainnya puluhan orang direnggut maut usai pesta miras. Kasus yang paling mengejutkan, pada Februari 2016 di Yogyakarta tercatat 23 orang kehilangan nyawa.
Di wilayah Jabodetabek juga sama, miras oplosan menjadi penebar maut. Pada November 2016 tercatat 10 orang tewas akibat minuman oplosan di Jakarta Timur. Di penghujung tahun 2016, di Depok empat remaja salah satunya perempuan kritis sehabis mabuk-mabukan merayakan Tahun Baru 2017.
Peristiwa terbaru, pada Kamis (5/1/2017) lima pelajar SMP dan SMA di Karawang bergelimpangan sehabis minum miras racikan, dua di antaranya tewas. Fenomena ini membuat kita miris karena remaja-remaja kini juga menjadi konsumen minuman maut. Ancaman miras penebar maut menghantui siapa saja tanpa mengenal status ekonomi, pekerjaan maupun pendidikan.
Miras oplosan memang berbeda dengan minuman beralkohol yang dilegalkan pemerintah dan diawasi oleh BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan). Miras oplosan adalah hasil racikan pedagang atau pun racikan peminumnya sendiri, sehingga zat yang terkandung di dalamnya tidak terkontrol.
Minuman maut ini bisa beredar bebas karena memang belum ada hukuman tegas yang mengatur. Razia kerap dilakukan oleh polisi, tetapi pedagang minuman maut tetap saja bermunculan. Apalagi ancaman hukuman bagi pengedar sangatlah ringan, karena payung hukumnya hanya Peraturan Daerah. Kalau pun ada, itu hanya mendompleng UU lain seperti UU tentang kesehatan, UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan atau UU tentang Perlindungan Konsumen.
Solusi mengatasai kian maraknya miras oplosan, semestinya bukan pada sisi ‘hilir’ yaitu merazia pedagang. Hal yang paling utama adalah sisi hulu, dimulai dari keluarga, lingkungan permukiman, sekolah dan lainnya. Penyakit masyarakat ini harus disembuhkan melibatkan semua pihak, baik orangtua, tokoh masyarakat maupun tokoh agama, dengan cara terus mengawasi keluarga dan menyosialisasikan bahaya miras.
Sedangkan di sisi hilir, negara tidak bisa lepas dari tanggungjawab, karena miras oplosan kalau dibiarkan bisa menjadi bencana nasional. Harus ada hukuman tegas. Oleh karena itu baik eksekutif maupun legislatif mesti membuat keputusan cepat, membuat aturan hukum tegas bagi pengedar minuman maut. (http://poskotanews.com/2017/01/06/tumpas-minuman-penebar-maut/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar