Rumah Candu Lawang Ombo terletak di
Jalan Dasun, Desa Soditan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah. Jalan kampung yang tak terlalu lebar ini dikenal juga sebagai
heritage streetnya Lasem. Disini tersimpan berjuta kenangan sejarah
peradaban Lasem yang membisu dimakan waktu. Bangunan-bangunan kuno
tersebut masih dapat dilihat hingga kini, namun sebagian besar tak
terawat. Jalan Dasun bersebelahan dengan Sungai Bagan atau masyarakat
lokal menyebutnya dengan Kali Lasem. Konon, dahulunya sungai ini
merupakan jalur berlayar kapal-kapal dagang yang bersandar di dermaga
pantai Caruban Lasem, tak jauh dari Jalan Dasun. Maka tak heran jika
jalan ini memiliki peran penting bagi peradaban Lasem.
Halaman Lawang Ombo cukup rimbun oleh
pohon mangga dan beberapa jenis pohon lain. Terlihat sekali gaya
arsitektur tiongkok di rumah ini. Pintu utama dan dua buah jendela di
sisi kiri kanannya memang benar-benar lebar dan besar. Sepertinya dari
kayu jati pilihan. Begitu memasuki pintu utama, aroma hio menyeruak di
seluruh ruangan. Sebuah altar perabuan berhiaskan lampu warna-warni
menyambut kami. Altar ini untuk mengenang sang empunya rumah. Beberapa
furniture kuno berupa almari dan peralatan rumah tangga lainnya masih
tersimpan rapi di salah satu kamar. Ubin terakota merah yang sudah mulai
tergerus adalah saksi bisu langkah-langkah kejayaan masa lalu rumah
ini. Tapi, diantara rasa kagum ketika memasuki rumah ini, ada perasaan
aneh yang menghinggapi saya. Ah entahlah…
Rumah seluas 5.500 m2 ini terdiri dari
rumah induk bagian depan, rumah tinggal di bagian belakang dan gudang.
Disebut Rumah Candu Lawang Ombo karena pada sekitar tahun 1.800an rumah
ini merupakan salah satu pusat gudang candu/opium yang diselundupkan
dari kapal-kapal dagang yang berlabuh di Lasem untuk kemudian diedarkan
ke seluruh pulau Jawa, diantaranya ke Semarang, Parakan dan Magelang.
Salah satu bukti sejarah perdagangan candu di Lasem kala itu adalah
lubang kecil yang terletak di dalam bangunan induk. Lubang ini terhubung
langsung dengan Sungai Bagan yang ada di depan rumah. Konon dulunya
lubang ini berdiameter 3 meter dengan kedalaman 1,5 meter. Namun karena
sungai sering meluap ketika air laut pasang dan masuk ke rumah, saat ini
lubang diperkecil hanya menjadi berdiameter 1 meter saja.
Berjalan menuju halaman belakang,
perasaan aneh itu saya semakin menggelayut. Seperti memasuki dimensi
lain & sudah berbeda “frekuensi” dengan lingkungan luar. Sebuah
bangunan kuno beringkat dua berlantai kayu jati, dulunya dijadikan rumah
tinggal. Tangga menuju lantai dua sudut elevasinya cukup tajam, hampir
vertikal malah. Beberapa sudut lantai kayu jati sudah agak keropos dan
miring. Namun secara keseluruhan kondisi Omah Candu relatif terawat
karena beberapa waktu lalu generasi penerus pemilik rumah ini melakukan
renovasi di beberapa bagian.
Ketika saya mencoba jujur mengatakan ada
perasaan aneh kepada penjaga rumah, beliau malah tersenyum penuh arti.
Saya pun bingung jadinya. Katanya ya memang begitu aura banguan ini. Tak
lama saya diajak ke pekarangan disamping kanan rumah. Tanah becek sisa
hujan semalam membuat langkah kaki terasa sedikit berat karena banyak
tanah yang menempel di alas sepatu. Cahaya matahari menembus diantara
lebatnya daun pohon jati yang ditanam berjajar rapi.
Saat melihat beberapa meter kedepan,
rupanya pertanyaan saya mulai terjawab. Sebuah batu nisan makam khas
tiongkok berukir relief huruf cina berada di lahan pekarangan ini.
Diyakini, ini adalah makam keluarga Kapitan Liem sang pemilik rumah. Tak
jauh dari nisan, dua buah patung anjing langit dan tiang batu cukup
tinggi berujung kuncup teratai turut menghiasi makam ini. Makam itu
berciri khas siang gong (satu kuburan dua liang lahat). Dan
uniknya, sampai saat ini belum ada yang bisa membaca atau menterjemahkan
tulisan yang ada di nisan makam tersebut karena jenis huruf kanji nya
yang berbeda. Bahkan dari kalangan akademisi sekalipun.
Setelah dirasa cukup melakukan observasi
singkat di makam Kapitan Liem, saya kembali ke teras rumah tinggal Omah
Candu. Ada sebuah jangkar kapal yang berukuran cukup besar terbuat dari
besi. Diperkirakan merupakan salah satu jangkar kapal rombongan
Laksamana Cheng Ho saat melintasi pelabuhan Lasem kala itu.
Berkunjung ke rumah Lawang Ombo atau
Omah Candu merupakan salah satu trip yang sangat berkesan bagi saya.
Banyak pengatahuan tentang sejarah, arsitektur, sosial budaya,
antropologi dan bahkan pengalaman mistis. Sungguh, tidak heran jika
Lasem juga disebut sebagai tiongkok kecil du utara pulau Jawa. Begitu
banyak situs bersejarah disini. Sayang, seolah masih terpinggirkan dan
kurang mendapat perhatian. Padahal, sudah sepantasnya Lasem menyandang
gelar sebagai Heritage City in Indonesia. (fahmianhar.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar