SOSOK
pria tua itu tergolek di atas bale-bale bambu. Badannya kurus
kerontang, dimiringkan ke satu sisi. Ia melepaskan ikat kepalanya,
rambutnya yang panjang tergerai di bantal dekil. Seorang wanita muda,
dengan kerling mata menggoda, datang menghampirinya. Wanita pelayan ini
menating sebuah kotak kecil berisi opium, alias candu.
Ia mengambil secuil benda mirip dodol itu
dari kotak, dan mencampurnya dengan tembakau rajangan halus.
Jari-jemari wanita muda itu kemudian memilin campuran tadi menjadi
bola-bola kecil, kira-kira seukuran biji kacang. Bola-bola candu ini
lalu dimasukkan ke dalam mangkuk pipa pengisap opium, lalu dibakar
dengan nyala api lampu minyak.
Dengan sabar, wanita berparas manis itu
melayani tamunya. Sang pecandu menyodot gumpalan asap opium dari ujung
pipa, yang biasa disebut bedutan. Usai menghirup candu itu,
lelaki tua tadi meninggalkan pondok tempat mengisap opium. Pondok
berdinding bambu, beratap daun nyiur, ini berdiri di jantung kota
Semarang awal abad ke-19, tak jauh dari alun-alun.
Pondok ini memiliki belasan bilik kecil,
tempat mengisap opium, lengkap dengan peralatan sekaligus pelayannya.
Setiap hari pengunjung datang ke sana silih berganti, semata-mata untuk
membius diri. Semuanya sah belaka. Dan pondok opium semacam ini
bertebaran di seluruh pelosok Jawa, sejak 1800-an hingga 100 tahun
kemudian.
Bunga opium (poppy), yang dalam bahasa Latin disebut Papaver somniferum,
memang tidak ditanam di Pulau Jawa. Meski begitu, orang Jawa ditengarai
sudah menggunakan opium jauh sebelum kedatangan Belanda. Setelah orang
Belanda mendarat di Pulau Jawa, pada akhir adad ke-17, mereka bersaing
keras dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium di Jawa.
Pada 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda
(VOC) memenangkan persaingan ini. Kompeni berhasil memaksa Raja Mataram,
Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Isi
perjanjian itu adalah: Raja Mataram memberikan hak monopoli kepada
Kompeni untuk memperdagangkan opium di wilayah kerajaannya.
Para Prajurit Perang Jawa
SETAHUN kemudian, Kerajaan Cirebon juga
menyepakati perjanjian serupa. Inilah tonggak awal monopoli opium
Belanda di Pulau Jawa. Hanya dalam tempo dua tahun, lalu lintas
perdagangan opium meningkat dua kali lipat. Rata-rata setiap tahun, 56
ton (!) opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Tetapi, opium yang
masuk sebagai barang selundupan bisa dua kali lipat dari jumlah impor
resmi itu.
Pada awal
1800, peredaran opium sudah menjamur di seluruh pesisir utara Jawa, dari
Batavia hingga ke Tuban, Gresik, Surabaya di Jawa Timur, bahkan Pulau
Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa di
seantero wilayah Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta saja
terdapat 372 tempat penjualan opium.
Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan
memberikan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium
dipandang sebagai peranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat.
Di pesta-pesta kalangan atas, jamak belaka jika para tetamu pria
disuguhi opium. Bahkan, menurut sebuah laporan, para prajurit Pangeran
Diponegoro, selama Perang Jawa berlangsung, banyak yang jatuh sakit
ketika pasokan opium terganggu.
Permukiman Cina, yang semula hanya
terpusat di sepanjang pesisir utara, pada pertengahan abad ke-19 mulai
menyebar ke kota-kota pedalaman Jawa. Bahkan, justru kawasan pedalaman
inilah yang kemudian berkembang menjadi lahan subur bagi para bandar
opium. Pasar opium paling ramai terletak di kawasan Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Bandar opium Surakarta, misalnya, bersama
wilayah Keresidenan Kediri dan Madiun, Jawa Timur, selalu menghasilkan
pajak opium tertinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sejak
awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kawasan itu juga mencatat rekor
jumlah pengguna opium, dibandingkan dengan wilayah mana pun di Pulau
Jawa.
Peringkat kedua diduduki oleh penduduk
yang bermukim di wilayah pesisir: Semarang, Rembang, hingga Surabaya.
Tapi, di peringkat yang sama juga tercatat kawasan pedalaman Yogyakarta,
dan wilayah Keresidenan Kedu. Kemudian disusul wilayah Batavia, hingga
pantai utara bagian timur, Rembang, Tuban, Besuki, Pasuruan,
Probolinggo, Madura, juga pedalaman Ponorogo.
Larangan Paku Buwono II
PADA masa itu, mengisap opium seperti
menjadi ciri umum kehidupan kota dan desa. Opium dipasarkan bahkan
sampai ke tengah masyarakat desa yang tergolong miskin. Pesta panen,
misalnya, seringkali dibarengi dengan pesta candu. Bahkan dalam hajatan
pernikahan, tak jarang tuan rumah menyediakan candu untuk para tetamu
yang dikenal sudah biasa menghirup madat. Para pemimpin desa pun dijamu
dengan cara ini.
Opium masuk ke dalam kehidupan masyarakat
Jawa tanpa memandang pangkat dan derajat. Candu dijajakan dari rumah ke
rumah. Hampir di setiap desa ada pondok tempat mengisap opium. Orang
Jawa membeli opium dengan duit yang didapat dari memeras keringat
sebagai petani, pedagang, buruh, dan kuli perkebunan. Padahal,
penghasilan seorang buruh pada 1885 rata-rata hanya 20 sen per hari.
Sementara itu, belanja opium rata-rata
orang Jawa pada masa itu mencapai 5 sen per hari. Artinya, sekitar
seperempat pendapatan dijajankan untuk opium. Diperkirakan, satu dari 20
lelaki Jawa mengisap opium hanya sebagai kenikmatan sesaat, tak sampai
terjerat menjadi pecandu. Ibarat kata, kedudukan opium pada masa itu
mirip dengan posisi rokok pada masa kini.
Tapi, ada juga manusia Jawa yang
membelanjakan hingga 20 sen per hari hanya untuk opium. Karena itu,
tidaklah mengherankan bila banyak orang Jawa yang jatuh papa lantaran
opium. Mulai insaf akan ancaman obat bius ini, pada abad ke-18, Raja
Surakarta, Paku Buwono II, bertekad melarang semua keturunannya mengisap
opium.
Larangan itu, rupanya, ibarat gaung jatuh
ke lembah. Terdengar selintas angin, lalu lenyap ditelan kegelapan.
Sebab, pada masa pemerintahan Paku Buwono IV, 1788-1820, Raja Surakarta
ini menerbitkan buku Wulang Reh, yang berisi ajaran tentang perilaku. Dalam buku yang berisi tembang, dan sangat populer di kalangan orang Jawa, itu sang raja mengingatkan rakyatnya jangan sampai terjerat candu.
Di kalangan masyarakat Cina pada masa
itu, mengisap opium malah bisa dikatakan sudah menjadi semacam
”kebudayaan”. Baik untuk kalangan yang tinggal di kota besar, maupun di
kota kecil dan pedesaan. Para hartawan Cina menikmati opium di rumah
mereka, atau di klub-klub opium yang bersifat eksklusif. Sedangkan Cina
miskin mengisap opium di pondok-pondok opium umum, bersama penduduk
setempat.
Priangan dan Banten Tak Tergoda
HANYA sedikit Cina kaya yang terbebas
dari opium pada masa itu. Adalah sebuah kehormatan besar bagi tamu-tamu
di rumah tangga Cina, bila mereka disuguhi candu. Dibandingkan dengan
orang Jawa, secara individu orang Cina memang lebih banyak mengonsumsi
opium. Tetapi, di lapisan pecandu berat opium, orang Jawa tetap
menduduki peringkat paling atas.
Di masa-masa awal, orang Sunda ternyata
tak mempan oleh godaan opium. Masyarakat tanah Pasundan bahkan
menyatakan kebenciannya terhadap opium dengan membuat larangan resmi.
Sepanjang abad ke-19, kawasan ini dinyatakan bebas opium. Pemerintah
kolonial Belanda melarang bandar opium Cina masuk beroperasi di wilayah
Keresidenan Priangan dan Banten.
Barulah pada awal abad ke-20, opium resmi
masuk Priangan dan Banten, setelah pemerintah kolonial Belanda mencabut
hak monopoli peredaran dari para pedagang Cina. Sebagai gantinya, sejak
saat itu Belanda mengizinkan agen opium pemerintah beroperasi secara
resmi di kedua wilayah keresidenan itu. Jawa Barat pun, akhirnya, tak
bisa lepas dari rayuan opium.
Belanda mulai mendirikan bandar-bandar
opium resmi di pedalaman Jawa pada 1830. Kompeni mengimpor opium mentah
yang dilelang dari pasar opium di Calcutta, India, dan Singapura.
Pengolahan bahan mentah itu diserahkan kepada para pedagang, yang
sekaligus bertindak sebagai distributor opium di tanah Jawa.
Pemerintah kolonial menunjuk para
pedagang Cina untuk mengawasi peredaran opium di dearah tertentu.
Penunjukan ini dilakukan lewat lelang, yang berlangsung di pendapa
kediaman resmi para bupati setempat. Ketika lelang berlangsung,
berkumpullah para bupati, pejabat kolonial, dan para pedagang Cina.
Mereka mengenakan pakaian kebesaran,
lengkap dengan lambang kekuasaan dan pengawalnya. Banyak yang
dipertaruhkan di meja lelang. Bagi residen Belanda, penawaran tertinggi
berarti sumbangan melimpah akan masuk ke pundi-pundi pemerintah. Hal ini
ditafsirkan sebagai sebuah keberhasilan pemerintah. Sebab, pajak opium
dijadikan alat ukur bagi kemakmuran wilayah.
Lelang Perang Antar Raja
MAKIN banyak duit dikutip dari pajak
opium di daerah itu, berarti makin makmur pula warga setempat. Pedagang
Cina yang memberikan penawaran tertinggi akan menguasai bandar pajak
pemerintah di daerah setempat. Dan yang paling menguntungkan, mereka
akan mendapatkan patronase serta kewibawaan di wilayahnya.
Para pejabat Jawa pun bersaing ketat
memperebutkan bandar Cina yang bonafide. Sehingga, di kalangan orang
Cina sendiri, lelang opium itu disebut ”peperangan antarraja”.
Contohnya, dalam lelang di Kediri, residen setempat menyarankan agar
pemerintah mendukung Tan Kok Tong, yang memonopoli kebandaran lokal
selama bertahun-tahun.
Tetapi, Direktur Keuangan Hindia Belanda
merekomendasikan Tio Siong No, bandar pendatang baru asal Solo, yang
telah memenangkan lelang di daerahnya. Tawaran dalam lelang diajukan
dengan cara menyebutkan jumlah pajak, yang dalam bahasa Belanda disebut pachtshat, yang akan dibayar bandar dalam jangka waktu setahun.
Jumlah angka pajang yang disebutkan di
dalam lelang memang bisa sangat fantastis. Sebutlah, misalnya, pajak
bandar opium di Semarang pada 1881 yang mencapai 26 juta gulden. Dari
pajak yang dikutip dari para bandar opium ini saja, pemerintah kolonial
Belanda sudah mampu membayar gaji seluruh pegawainya di Hindia Belanda.
Pemenang lelang berhak atas monopoli
peredaran candu di wilayah yang dimenangkannya. Bandar opium mendapat
izin mendirikan pabrik pengolahan candu, yang bahan bakunya harus dibeli
dari pemerintah kolonial. Untuk jalur distribusi, para bandar membentuk
jaringan di wilayahnya masing-masing. Mereka pun menunjuk agen-agen
opium di setiap kota, yang bertindak selaku distributornya.
Pondok-pondok tempat mengisap opium juga
dimonopoli bandar. Toko-toko opium hanya boleh menjual opium yang
diproduksi bandar setempat. Tapi, dalam prakteknya, banyak toko opium
yang menjual barang selundupan. Di seluruh Jawa, pada 1850 terdapat
sekitar 3.000 toko opium gelap. Bahkan, pondok opium gelap pun
bertebaran di desa-desa.
Oei Tiong Ham, Bandar Terakhir
UNTUK memberantas opium selundupan di
wilayahnya, para bandar opium menebar mata-mata, bekerja sama dengan
polisi Belanda. Pengedar opium gelap yang tertangkap diseret ke
pangadilan Belanda. Tapi, sejauh itu, polisi Belanda hanya dapat
menangkap pengedar kelas teri. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa
peredaran opium gelap itu merupakan ulah seorang bandar untuk
menghancurkan bisnis bandar pesaingnya.
Tio Siong Mo, bandar asal Solo, mengeluh
karena wilayahnya dibanjiri opium gelap asal Semarang, yang diproduksi
Be Biauw Tjoan. Banjir opium gelap itu mengakibatkan Tio bangkrut, dan
terancam dicabut kontraknya pada 1854. Ia minta keringanan pajak dari
Gubernur Jenderal Belanda. Tetapi, keluh kesah Tio itu dianggap sepi.
Ia justru dipenjarakan, lantaran tak
sanggup membayar kewajiban pajaknya. Sebaliknya, di Negeri Belanda
sendiri, parlemen Belanda menuduh pemerintah kolonial menganakemaskan Be
Biauw Tjoan. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda baru
berhasil mengungkap peran kunci Be Biauw Tjoan dalam lingkaran
penyelundupan candu.
Pangkat Be Biauw Tjoan sebagai mayoor de Chinesen
dicopot. Para bandar opium pada masa itu umumnya memang merangkap
”opsir” Cina. Pangkat ini tidak ada hubungannya dengan dunia
kemiliteran, meskipun pangkat itu mulai dari ”luitenant” (letnan), ”kapitein” (kapten), sampai ”mayoor” (mayor). Para ”opsir” ini hanya ditugasi memimpin komunitas Cina di kota tertentu.
Meski begitu, Be Biauw Tjoan tidak keluar
dari bisnis candu. Bandar opium yang kaya raya ini terus mendominasi
bisnis opium di Jawa Tengah. Ia sangat agresif di meja lelang, dan
menyerang bandar-bandar opium saingan lewat ”opium ilegal”. Be
dilaporkan bandar opium Banyumas mengedarkan opium di kawasan ini pada
1867. Tapi, ia sudah telanjur tak terjamah. Pada tahun itu, ia justru
diangkat kembali sebagai mayor, hingga meninggal pada 1904.
Di setiap kota di Jawa ada keluarga opsir
Cina kaya yang secara turun-temurun mencari nafkah dari bisnis candu.
Bandar opium terakhir yang terbesar adalah Oei Tiong Ham. Ayahnya, Oei
Tjie Sien, tiba di Semarang pada 1858. Lima tahun kemudian, Oei Tjie
Sien mendirikan kongsi dagang Kian Gwan, yang bergerak di bidang
perdagangan gula. Pada 1886, Oie Tiong Ham, yang baru berumur 20 tahun,
diangkat sebagai ”letnan” Cina.
Keluarga Oei masuk ke bisnis candu pada
1880, ketika sebagian besar bandar opium bangkrut. Oie membeli lima
kebandaran opium yang menguasai Semarang, Solo, Yogyakarta, Rembang, dan
Surabaya. Dari bisnis opium ini, Oei Tiong Ham berhasil mengeruk
keuntungan sekitar 18 juta gulden. Tetapi, bandar opium hanyalah
sebagian dari kerajaan bisnis Oei yang terus berkembang.
Pada 1893, Oie Tiong Ham menggabungkan
kongsi Kian Gwan, membentuk Handel Maatschappij Kian Gwan, yang bergerak
di bidang perdagangan gula, pelayaran, dan perbankan. Oei menguasai
perdagangan gula di Jawa, memiliki lima pabrik gula di Jawa Timur. Ia
mendominasi kebandaran opium Jawa Tengah dan Jawa Timur, hingga
kebandaran opium yang dipegang orang-orang Cina dibubarkan pemerintah
kolonial, pada 1902. Heddy Lugito [Gatra Nomor 13 Tahun ke 7, beredar 12 Februari 2001]
Gambar : bataviase dan http://www.drugs-opium.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar