Tuak
merupakan jenis minuman beralkohol yang juga disebut sebagai arak
tradisional hasil racikan masyarakat pesisir pada umumnya. Minuman ini
menyimpan sejarah panjang dan sangat tersohor di Nusantara. Sebab,
minuman ini sudah akrab dengan budaya pribumi jauh sebelum masa kolonial
Belanda.
Salah satu daerah penghasil tuak adalah Tuban, Jawa
Timur. Konon menurut cerita tutur masyarakat setempat, tradisi membuat
tuak sudah ada sejak berabad-abad silam. Bahkan ada yang langsung
menyebut sejak abad XI M, ketika tentara Tar-Tar dari Mongolia
mengalahkan tentara Kerajaan Daha (Kediri).
Orang-orang Tar-Tar
itu kemudian singgah di Tuban dan merayakan pesta kemenangan dengan
minum tuak dan arak. Pada masa keemasan Kerajaan Singasari, Raja
Kertanegara juga gemar minum tuak untuk perayaan-perayaan kerajaan.
Ilmuan
Jepang, Shigehiro Ikegami Shigehiro dari Universitas Shizuoka, pernah
menuliskan tradisi produksi dan minum tuak pada Komunitas Adat Batak.
Diceritakan oleh Ikegami, Komunitas Adat Batak Toba menggunakan tradisi
minum tuak dalam acara-acara keagamaan yang telah berlangsung lama, dari
generasi ke generasi.
Bahkan, dalam tradisi Batak Toba,
perempuan Batak Toba yang baru saja melahirkan diwajibkan untuk minum
tuak dalam ukuran yang terbatas. Sementara di komunitas adat lainnya
seperti beberapa suku di Bali dan Lombok, juga memiliki kebiasaan minum
minuman beralkohol. Sampai kini, sangat dikenal jenis arak Bali.
Tuak
merupakan hasil fermentasi dari bahan minuman buah mengandung gula.
Tuak dibuat dari bahan baku beras atau cairan yang diambil dari tanaman
seperti nira kelapa atau aren, legen dari pohon siwalan atau tal, atau
sumber lain. Dulu, tuak ini dijual secara bebas oleh masyarakat.
Hasil
penelusuran di internet, banyak bukti foto-foto lama, terutama pada
masa kolonial Belanda, penjual tuak berkeliaran di pasar-pasar dan
perkampungan warga di Jawa, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali
dan berbagai tempat di Nusantara. Bahkan ada pula yang membangun kedai
khusus menjual tuak.
Tapi keberadaan warung tuak dan penjaja
tuak keliling pada masa kini mungkin hanya tinggal kenangan. Sejak
penjajah Belanda masuk ke bumi Nusantara, lalu membawa minuman
beralkohol lainnya, maka seiring waktu pamor tuak kalah. Apalagi,
kemudian ada larangan pemerintah mengonsumsi minuman jenis ini.
Ahmad
Choji dalam bukunya berjudul: Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, juga
menulis tentang tuak yang sudah digemari sejak zaman dulu, sebelum
kedatangan bangsa Eropa. "Hanya tuak itu sebagai sarana mabuk-mabukan
sebelum kedatangan bir dan jenis minuman beralkohol impor lainnya." (www.merdeka.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar