Upaya
penyelundupan pil setan itu nyaris sempurna. Sebanyak 400.000 butir
ekstasi kualitas satu dikemas dalam plastik, kemudian dimasukkan ke
dalam empat tabung kompresor udara. Lalu masing-masing tabung logam itu
dilas dan dicat kembali dengan rapi. Siapa yang menduga, alat pemampat
udara yang dikirim dari Belanda melalui kargo pesawat udara itu berisi
narkoba? Apalagi, keempat tabung kompresor itu lolos dari pemeriksaan
sinar-X di Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta.
Seandainya aparat keamanan kurang awas, bisa dipastikan butiran pil
laknat itu akan makin membanjiri negeri ini dan kian meracuni warganya.
Untunglah, polisi mendapat info perihal kiriman narkoba dari Belanda
tersebut dan menindaklanjutinya dengan waspada. Walhasil, penyelundupan
itu dapat digagalkan. Selain mengamankan 400.000 butir ekstasi senilai
Rp 70 milyar, polisi juga meringkus sembilan tersangka, termasuk Fredy,
terpidana narkoba di Lapas Narkotika Cipinang, Jakarta Timur.
''Narkoba jenis ekstasi ini dikirim Laosan dan Boncel dari Belanda,
dipesan oleh Fredy,'' kata Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri,
Komisaris Jenderal Sutarman, Jumat pekan lalu. Sedianya, semua ektasi
itu akan diserahkan kepada Jefri Siregar alias Robert, yang membeli
benda haram itu dari Fredy. Robert adalah pengedar yang beroperasi di
sejumlah tempat hiburan di Jakarta.
Informasi
penting perihal penyelundupan ekstasi itu diterima Satgas Direktorat
Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri, awal Februari lalu.
Informasi itu ditindaklanjuti dengan membentuk tim gabungan dan
melakukan Operasi Windmill 2013. Tim gabungan yang terdiri dari Satgas
Narkoba Bareskrim Polri, Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Brigade
Mobil Mabes Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai ini segera bergerak cepat.
Mereka disebar di tiga bandara yang diperkirakan bakal digunakan
sebagai pintu masuk, yakni bandara di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Tim juga menurunkan anggotanya guna mengikuti gerak-gerik kaki tangan
sindikat narkoba di Tanah Air. Dan, yang tak kalah penting, tim bekerja
sama dengan partner kerja di luar negeri untuk memastikan kapan,
bagaimana, dan lewat mana narkoba itu akan masuk ke Indonesia.
Upaya keras tim ini tidak sia-sia. Pada Senin 11 Maret lalu, diperoleh
informasi sahih bahwa hari itu akan datang narkoba jenis ekstasi melalui
kiriman kargo dari Belanda menuju Bandara Soekarno-Hatta. Informasi
tadi menyebutkan pula, barang selundupan yang dipasok Boncel dan Laosan
itu disembunyikan di dalam tabung kompresor. Itulah sebabnya, meski
kompresor luput dari deteksi sinar-X, petugas sudah siaga dan membuntuti
barang kiriman tersebut.
Barang kiriman itu
kemudian diangkut dengan mobil boks yang dikemudikan Kusno bersama kenek
bernama Asep. Petugas terus membuntuti ke mana kiriman itu diberikan.
Mobil boks bernomor polisi B-9827-PCD itu melaju ke Rumah Makan
Sederhana di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.
Di rumah makan masakan Padang itu telah menunggu Robert bersama kaki
tangannya bernama Abdul Gani alias Udin. Di situ telah menunggu pula
sopir Empon Supriyatna dan keneknya, Iful, beserta mobil boks bernomor
polisi B-9177-PCE. Sedianya, di halaman rumah makan itu, kompresor
berisi ekstasi dari mobil boks yang dikemudikan Kusno akan dipindahkan
ke mobil boks yang dibawa Empon.
Di tempat
yang sama, sejumlah polisi berpakaian preman diam-diam bersiaga.
Keberadaan polisi ini rupanya tercium Robert, yang lantas mencoba kabur
dengan melompati tembok hingga kakinya patah. Kepada polisi yang
membekuknya, Robert mengaku sebagai pembeli 400.000 butir ekstasi yang
sedang diangkut mobil boks dari bandara itu. Polisi lalu meringkus Udin,
Empon, dan Iful.
Para tersangka, termasuk
sopir dan kenek mobil boks yang baru tiba dari bandara itu,
ditelungkupkan di jalan, di bawah todongan senjata laras panjang, oleh
sejumlah petugas berpakaian preman. Mereka semua, termasuk Fredy dan
kedua kurirnya bernama Ahmad Bachrudin dan Budiono yang ditangkap
belakangan, kemudian diamankan di tahanan Direktorat Tindak Pidana
Narkoba Bareskrim Polri. Sementara itu, untuk mengeluarkan barang bukti
ekstasi, tabung kompresor dipotong menggunakan gerinda listrik.
Menurut Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri, Brigadir
Jenderal Arman Depari, yang memimpin penangkapan itu, sebanyak 200.000
butir ekstasi sedianya akan disimpan Robert di sebuah gudang di daerah
Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, dan dijaga Ahmad Bachrudin.
''Yang 200.000 butir lagi dipersiapkan untuk diedarkan ke Medan, Bali,
dan Surabaya,'' ujar Arman kepada GATRA.
Dari
penyidikan terhadap tersangka Fredy dan kawan-kawan, dipastikan ekstasi
itu dikirim bandar ekstasi kelas kakap di Belanda, yakni Bahari Piong
alias Boncel dan Laosan, seperti telah diduga polisi. Boncel dulu warga
negara Indonesia, tapi kini menjadi warga negara Belanda. Sedangkan
Laosan warga negara Belgia. Hukum di "negeri kincir angin" itu
memungkinkan Boncel dan Laosan leluasa meracik narkoba dan menjadi salah
satu pemasok besar ke Indonesia.
Menurut
catatan kepolisian, setidaknya Boncel yang disebut bekerja sama dengan
sindikat narkoba dari Iran, Thailand, Cina, dan Hong Kong ini telah tiga
kali menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Pertama, pada 14 April 2006,
Boncel menyelundupkan narkoba jenis sabu seberat 7 kilogram dan 60.110
butir ekstasi. Lalu, pada 26 Februari 2008, ia menyelundupkan 600.000
butir ekstasi. Kemudian, teranyar, ia mencoba menyelundupkan 400.000
butir ekstasi.
Dibandingkan dengan
peredarannya di Tanah Air, temuan 400.000 butir ekstasi itu terbilang
kecil. Untuk pasar Jakarta saja, dari berbagai informasi yang
dikumpulkan GATRA, diperkirakan setiap bulan ratusan ribu pil ekstasi
diedarkan di sejumlah tempat hiburan. Ini belum termasuk sejumlah
narkoba jenis lain, seperti sabu. Komjen Sutarman menyatakan prihatin
atas kondisi ini. Dia meminta upaya pencegahan perlu ditingkatkan dan
dilakukan bersama-sama oleh instansi terkait serta masyarakat.
***
Terungkapnya kasus penyelundupan ekstasi itu kembali menunjukkan bahwa
serbuan narkoba tak pernah berhenti. Bahkan bisa dibilang gempuran benda
laknat berbagai jenis itu kian menggila. Lihat saja, beberapa hari
berselang, petugas menemukan 8,45 kg sabu yang ditinggalkan pemiliknya
di Bandara Hang Nadim, Batam, lantaran keberadaan benda itu tercium
petugas. Sabu itu diperkirakan masuk dari Cina melalui pelabuhan tikus
di Batam dan akan dibawa ke Surabaya.
Beberapa
hari sebelumnya, seperti dilaporkan Jenar Kiansantang dari GATRA,
petugas Kepolisian Sektor Johar Baru, Jakarta Pusat, meringkus kawanan
pengedar ganja dan menyita 1 ton ganja kering asal Aceh yang tersimpan
di sebuah gudang di kawasan Cianjur, Jawa Barat. Di luar ini, masih
terdapat beberapa kasus narkoba yang diungkap aparat kepolisian.
Meski data dari Mabes Polri menunjukkan bahwa pada 2012 jumlah kasus
narkoba menurun menjadi 28.623 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
29.713 kasus, dari segi jumlah barang bukti yang disita justru
meningkat tajam. Barang bukti heroin tercatat 38.014 gram, meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 27.439 gram. Sabu 1.977.864
gram (tahun sebelumnya 1.092.029 gram). Adapun ekstasi meningkat paling
tajam, menjadi 2.850.947 butir (tahun sebelumnya 826.096 butir).
Terlepas dari teori gunung es bahwa pengungkapan kasus narkoba hanya
sebagian kecil dari jumlah kasus sebenarnya, peningkatan jumlah barang
bukti itu menandakan bahwa barang-barang haram ini secara kasatmata kian
meningkat, baik serbuan maupun penyalahgunaannya. Serbuan terbesar, ya,
lewat penyelundupan dengan berbagai modus.
Selain melalui pelabuhan udara, para penyelundup narkoba juga menyasar
pelabuhan laut, baik yang besar maupun yang kecil atawa pelabuhan tikus.
Penyelundupan narkoba (jenis ekstasi) terbesar lewat pelabuhan resmi
terjadi Mei tahun lalu. Sebanyak hampir 1,5 juta ekstasi coba dimasukkan
dari Cina ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Penyelundupan ini digagalkan.
Menurut Deputi
Pemberantasan BNN, Inspektur Jenderal Benny Mamoto, luasnya perairan dan
banyaknya pelabuhan kecil menjadikan modus penyelundupan lewat
pelabuhan tikus paling sering digunakan sindikat narkoba. Benny
memperkirakan, 80% modus pengiriman narkoba dari luar negeri dilakukan
melalui jalur laut.
''Risikonya lebih rendah, daya angkut
lebih besar. Inilah kenapa sindikat banyak yang menggunakan modus ini,''
kata Benny. Modus ini, Benny menambahkan, semakin subur karena luasnya
perairan Indonesia yang tidak diimbangi dengan sarana-prasarana patroli
laut lantaran terbatasnya anggaran.
Mungkin
karena minimnya sarana-prasarana patroli laut, jarang terdengar kabar
pengungkapan kasus penyelundupan narkoba melalui pelabuhan tikus.
Sedikit sekali kasus yang diungkap. Antara lain, Januari tahun lalu,
dibekuk komplotan penyelundup sabu dari Iran yang menyusup lewat
perairan Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Tiga pelaku ditembak mati,
60 kg sabu disita. Sebelumnya, tahun 2006, digagalkan penyelundupan 955
kg sabu dari Cina melalui Teluk Naga, Tangerang, Banten.
Berpijak pada prediksi Benny Mamoto bahwa 80% pengiriman narkoba dari
luar negeri melalui jalur laut, sedangkan kasus yang terungkap masih
sangat sedikit, maka anggapan bahwa serbuan narkoba kian menggila
sesungguhnya tidaklah berlebihan. Ini senada dengan peningkatan
prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia, hasil penelitian BNN
dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Tahun 2008,
angka prevalensinya masih 0,21%, tapi tahun 2011 melonjak tajam menjadi
2,2% atau setara dengan 3,8-4,2 juta orang. Tahun ini, jumlahnya
diperkirakan makin membengkak.
Banyaknya celah
pintu masuk narkoba, harganya yang tinggi, dan peminatnya yang
membludak, ditambah penegakan hukum yang kurang bergigi, praktis makin
menyuburkan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Tanah Air. Sudah
jadi rahasia umum maraknya transaksi narkoba di lapas yang melibatkan
oknum petugas. Sudah jamak pula hakim menjatuhkan vonis ringan atau
menganulir hukuman mati bagi terpidana narkoba. Bahkan grasi pun
diberikan presiden (lihat: Antara Hak Asasi dan Kejahatan Berat).
Walhasil, menurut data teranyar dari Kejaksaan Agung, sampai 18 Maret
lalu, jumlah terpidana mati kasus narkoba menyusut dari 71 orang menjadi
49 orang lantaran mengalami peringanan hukuman. Empat di antaranya
sudah berkekuatan hukum tetap dan akan dieksekusi tahun ini, menyusul
eksekusi terhadap terpidana mati Adami Wilson, Jumat pekan lalu.
Menggilanya gempuran narkoba di Tanah Air membuat Ketua Gerakan
Nasional Anti-Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, kian prihatin. Ia
melihat bobroknya mental aparat menjadi salah satu faktor utama
suburnya narkoba di negeri ini. ''Lemahnya komitmen moral aparat penegak
hukum ini sudah diketahui dunia luar. Indonesia gampang diatur. Inilah
salah satu alasan mengapa Indonesia begitu digemari dan dijadikan
sebagai surga bagi pengedar narkoba,'' kata Henry, geram.
Menurut Henry, untuk menekan kejahatan narkoba, seluruh instansi
pemerintah perlu dilibatkan. Bahkan, idealnya, presiden meminta semua
menterinya membuat job description menyangkut upaya penanggulangan
narkoba, dan perkembangannya secara rutin dibahas dalam sidang kabinet.
Selain itu, pembentukan komitmen para penegak hukum harus dilakukan
sejak dini.
Dari sisi represif, kata Henry,
perlu ditegakkan hukum yang tegas. Para pelaku kejahatan narkoba harus
dihukum seberat-beratnya hingga hukuman mati, tergantung tingkat
kesalahannya. Bagi terpidana mati yang kasusnya telah inkracht,
eksekusinya jangan ditunda-tunda. Semua itu dimaksudkan agar memberi
efek jera bagi pelaku lain. ''Kondisi kita bukan lagi darurat narkoba,
tapi bencana narkoba. Kita harus bersatu (melawannya),'' Henry
menegaskan. (http://indonesian.irib.ir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar