31 Mei 2014

Vonis Mati Penjahat Narkoba Tak Berefek Jera


Upaya penyelundupan pil setan itu nyaris sempurna. Sebanyak 400.000 butir ekstasi kualitas satu dikemas dalam plastik, kemudian dimasukkan ke dalam empat tabung kompresor udara. Lalu masing-masing tabung logam itu dilas dan dicat kembali dengan rapi. Siapa yang menduga, alat pemampat udara yang dikirim dari Belanda melalui kargo pesawat udara itu berisi narkoba? Apalagi, keempat tabung kompresor itu lolos dari pemeriksaan sinar-X di Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta.
 
Seandainya aparat keamanan kurang awas, bisa dipastikan butiran pil laknat itu akan makin membanjiri negeri ini dan kian meracuni warganya. Untunglah, polisi mendapat info perihal kiriman narkoba dari Belanda tersebut dan menindaklanjutinya dengan waspada. Walhasil, penyelundupan itu dapat digagalkan. Selain mengamankan 400.000 butir ekstasi senilai Rp 70 milyar, polisi juga meringkus sembilan tersangka, termasuk Fredy, terpidana narkoba di Lapas Narkotika Cipinang, Jakarta Timur.
 
''Narkoba jenis ekstasi ini dikirim Laosan dan Boncel dari Belanda, dipesan oleh Fredy,'' kata Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Sutarman, Jumat pekan lalu. Sedianya, semua ektasi itu akan diserahkan kepada Jefri Siregar alias Robert, yang membeli benda haram itu dari Fredy. Robert adalah pengedar yang beroperasi di sejumlah tempat hiburan di Jakarta.
 
Informasi penting perihal penyelundupan ekstasi itu diterima Satgas Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri, awal Februari lalu. Informasi itu ditindaklanjuti dengan membentuk tim gabungan dan melakukan Operasi Windmill 2013. Tim gabungan yang terdiri dari Satgas Narkoba Bareskrim Polri, Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, Brigade Mobil Mabes Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ini segera bergerak cepat.
 
Mereka disebar di tiga bandara yang diperkirakan bakal digunakan sebagai pintu masuk, yakni bandara di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Tim juga menurunkan anggotanya guna mengikuti gerak-gerik kaki tangan sindikat narkoba di Tanah Air. Dan, yang tak kalah penting, tim bekerja sama dengan partner kerja di luar negeri untuk memastikan kapan, bagaimana, dan lewat mana narkoba itu akan masuk ke Indonesia.
 
Upaya keras tim ini tidak sia-sia. Pada Senin 11 Maret lalu, diperoleh informasi sahih bahwa hari itu akan datang narkoba jenis ekstasi melalui kiriman kargo dari Belanda menuju Bandara Soekarno-Hatta. Informasi tadi menyebutkan pula, barang selundupan yang dipasok Boncel dan Laosan itu disembunyikan di dalam tabung kompresor. Itulah sebabnya, meski kompresor luput dari deteksi sinar-X, petugas sudah siaga dan membuntuti barang kiriman tersebut.
 
Barang kiriman itu kemudian diangkut dengan mobil boks yang dikemudikan Kusno bersama kenek bernama Asep. Petugas terus membuntuti ke mana kiriman itu diberikan. Mobil boks bernomor polisi B-9827-PCD itu melaju ke Rumah Makan Sederhana di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.
 
Di rumah makan masakan Padang itu telah menunggu Robert bersama kaki tangannya bernama Abdul Gani alias Udin. Di situ telah menunggu pula sopir Empon Supriyatna dan keneknya, Iful, beserta mobil boks bernomor polisi B-9177-PCE. Sedianya, di halaman rumah makan itu, kompresor berisi ekstasi dari mobil boks yang dikemudikan Kusno akan dipindahkan ke mobil boks yang dibawa Empon.
 
Di tempat yang sama, sejumlah polisi berpakaian preman diam-diam bersiaga. Keberadaan polisi ini rupanya tercium Robert, yang lantas mencoba kabur dengan melompati tembok hingga kakinya patah. Kepada polisi yang membekuknya, Robert mengaku sebagai pembeli 400.000 butir ekstasi yang sedang diangkut mobil boks dari bandara itu. Polisi lalu meringkus Udin, Empon, dan Iful.
 
Para tersangka, termasuk sopir dan kenek mobil boks yang baru tiba dari bandara itu, ditelungkupkan di jalan, di bawah todongan senjata laras panjang, oleh sejumlah petugas berpakaian preman. Mereka semua, termasuk Fredy dan kedua kurirnya bernama Ahmad Bachrudin dan Budiono yang ditangkap belakangan, kemudian diamankan di tahanan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri. Sementara itu, untuk mengeluarkan barang bukti ekstasi, tabung kompresor dipotong menggunakan gerinda listrik.
 
Menurut Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri, Brigadir Jenderal Arman Depari, yang memimpin penangkapan itu, sebanyak 200.000 butir ekstasi sedianya akan disimpan Robert di sebuah gudang di daerah Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, dan dijaga Ahmad Bachrudin. ''Yang 200.000 butir lagi dipersiapkan untuk diedarkan ke Medan, Bali, dan Surabaya,'' ujar Arman kepada GATRA.
 
Dari penyidikan terhadap tersangka Fredy dan kawan-kawan, dipastikan ekstasi itu dikirim bandar ekstasi kelas kakap di Belanda, yakni Bahari Piong alias Boncel dan Laosan, seperti telah diduga polisi. Boncel dulu warga negara Indonesia, tapi kini menjadi warga negara Belanda. Sedangkan Laosan warga negara Belgia. Hukum di "negeri kincir angin" itu memungkinkan Boncel dan Laosan leluasa meracik narkoba dan menjadi salah satu pemasok besar ke Indonesia.
 
Menurut catatan kepolisian, setidaknya Boncel yang disebut bekerja sama dengan sindikat narkoba dari Iran, Thailand, Cina, dan Hong Kong ini telah tiga kali menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Pertama, pada 14 April 2006, Boncel menyelundupkan narkoba jenis sabu seberat 7 kilogram dan 60.110 butir ekstasi. Lalu, pada 26 Februari 2008, ia menyelundupkan 600.000 butir ekstasi. Kemudian, teranyar, ia mencoba menyelundupkan 400.000 butir ekstasi.
 
Dibandingkan dengan peredarannya di Tanah Air, temuan 400.000 butir ekstasi itu terbilang kecil. Untuk pasar Jakarta saja, dari berbagai informasi yang dikumpulkan GATRA, diperkirakan setiap bulan ratusan ribu pil ekstasi diedarkan di sejumlah tempat hiburan. Ini belum termasuk sejumlah narkoba jenis lain, seperti sabu. Komjen Sutarman menyatakan prihatin atas kondisi ini. Dia meminta upaya pencegahan perlu ditingkatkan dan dilakukan bersama-sama oleh instansi terkait serta masyarakat.
 
***
 
Terungkapnya kasus penyelundupan ekstasi itu kembali menunjukkan bahwa serbuan narkoba tak pernah berhenti. Bahkan bisa dibilang gempuran benda laknat berbagai jenis itu kian menggila. Lihat saja, beberapa hari berselang, petugas menemukan 8,45 kg sabu yang ditinggalkan pemiliknya di Bandara Hang Nadim, Batam, lantaran keberadaan benda itu tercium petugas. Sabu itu diperkirakan masuk dari Cina melalui pelabuhan tikus di Batam dan akan dibawa ke Surabaya.
 
Beberapa hari sebelumnya, seperti dilaporkan Jenar Kiansantang dari GATRA, petugas Kepolisian Sektor Johar Baru, Jakarta Pusat, meringkus kawanan pengedar ganja dan menyita 1 ton ganja kering asal Aceh yang tersimpan di sebuah gudang di kawasan Cianjur, Jawa Barat. Di luar ini, masih terdapat beberapa kasus narkoba yang diungkap aparat kepolisian.
 
Meski data dari Mabes Polri menunjukkan bahwa pada 2012 jumlah kasus narkoba menurun menjadi 28.623 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 29.713 kasus, dari segi jumlah barang bukti yang disita justru meningkat tajam. Barang bukti heroin tercatat 38.014 gram, meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 27.439 gram. Sabu 1.977.864 gram (tahun sebelumnya 1.092.029 gram). Adapun ekstasi meningkat paling tajam, menjadi 2.850.947 butir (tahun sebelumnya 826.096 butir).
 
Terlepas dari teori gunung es bahwa pengungkapan kasus narkoba hanya sebagian kecil dari jumlah kasus sebenarnya, peningkatan jumlah barang bukti itu menandakan bahwa barang-barang haram ini secara kasatmata kian meningkat, baik serbuan maupun penyalahgunaannya. Serbuan terbesar, ya, lewat penyelundupan dengan berbagai modus.
 
Selain melalui pelabuhan udara, para penyelundup narkoba juga menyasar pelabuhan laut, baik yang besar maupun yang kecil atawa pelabuhan tikus. Penyelundupan narkoba (jenis ekstasi) terbesar lewat pelabuhan resmi terjadi Mei tahun lalu. Sebanyak hampir 1,5 juta ekstasi coba dimasukkan dari Cina ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Penyelundupan ini digagalkan.
 
Menurut Deputi Pemberantasan BNN, Inspektur Jenderal Benny Mamoto, luasnya perairan dan banyaknya pelabuhan kecil menjadikan modus penyelundupan lewat pelabuhan tikus paling sering digunakan sindikat narkoba. Benny memperkirakan, 80% modus pengiriman narkoba dari luar negeri dilakukan melalui jalur laut.
''Risikonya lebih rendah, daya angkut lebih besar. Inilah kenapa sindikat banyak yang menggunakan modus ini,'' kata Benny. Modus ini, Benny menambahkan, semakin subur karena luasnya perairan Indonesia yang tidak diimbangi dengan sarana-prasarana patroli laut lantaran terbatasnya anggaran.
 
Mungkin karena minimnya sarana-prasarana patroli laut, jarang terdengar kabar pengungkapan kasus penyelundupan narkoba melalui pelabuhan tikus. Sedikit sekali kasus yang diungkap. Antara lain, Januari tahun lalu, dibekuk komplotan penyelundup sabu dari Iran yang menyusup lewat perairan Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Tiga pelaku ditembak mati, 60 kg sabu disita. Sebelumnya, tahun 2006, digagalkan penyelundupan 955 kg sabu dari Cina melalui Teluk Naga, Tangerang, Banten.
 
Berpijak pada prediksi Benny Mamoto bahwa 80% pengiriman narkoba dari luar negeri melalui jalur laut, sedangkan kasus yang terungkap masih sangat sedikit, maka anggapan bahwa serbuan narkoba kian menggila sesungguhnya tidaklah berlebihan. Ini senada dengan peningkatan prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia, hasil penelitian BNN dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Tahun 2008, angka prevalensinya masih 0,21%, tapi tahun 2011 melonjak tajam menjadi 2,2% atau setara dengan 3,8-4,2 juta orang. Tahun ini, jumlahnya diperkirakan makin membengkak.
 
Banyaknya celah pintu masuk narkoba, harganya yang tinggi, dan peminatnya yang membludak, ditambah penegakan hukum yang kurang bergigi, praktis makin menyuburkan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Tanah Air. Sudah jadi rahasia umum maraknya transaksi narkoba di lapas yang melibatkan oknum petugas. Sudah jamak pula hakim menjatuhkan vonis ringan atau menganulir hukuman mati bagi terpidana narkoba. Bahkan grasi pun diberikan presiden (lihat: Antara Hak Asasi dan Kejahatan Berat).
 
Walhasil, menurut data teranyar dari Kejaksaan Agung, sampai 18 Maret lalu, jumlah terpidana mati kasus narkoba menyusut dari 71 orang menjadi 49 orang lantaran mengalami peringanan hukuman. Empat di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan akan dieksekusi tahun ini, menyusul eksekusi terhadap terpidana mati Adami Wilson, Jumat pekan lalu.
 
Menggilanya gempuran narkoba di Tanah Air membuat Ketua Gerakan Nasional Anti-Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, kian prihatin. Ia melihat bobroknya mental aparat menjadi salah satu faktor utama suburnya narkoba di negeri ini. ''Lemahnya komitmen moral aparat penegak hukum ini sudah diketahui dunia luar. Indonesia gampang diatur. Inilah salah satu alasan mengapa Indonesia begitu digemari dan dijadikan sebagai surga bagi pengedar narkoba,'' kata Henry, geram.
 
Menurut Henry, untuk menekan kejahatan narkoba, seluruh instansi pemerintah perlu dilibatkan. Bahkan, idealnya, presiden meminta semua menterinya membuat job description menyangkut upaya penanggulangan narkoba, dan perkembangannya secara rutin dibahas dalam sidang kabinet. Selain itu, pembentukan komitmen para penegak hukum harus dilakukan sejak dini.
 
Dari sisi represif, kata Henry, perlu ditegakkan hukum yang tegas. Para pelaku kejahatan narkoba harus dihukum seberat-beratnya hingga hukuman mati, tergantung tingkat kesalahannya. Bagi terpidana mati yang kasusnya telah inkracht, eksekusinya jangan ditunda-tunda. Semua itu dimaksudkan agar memberi efek jera bagi pelaku lain. ''Kondisi kita bukan lagi darurat narkoba, tapi bencana narkoba. Kita harus bersatu (melawannya),'' Henry menegaskan. (http://indonesian.irib.ir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar