22 Juni 2014

Captikus Khas Daru



“Pena? Siap., buku catatan? Siap., kamera? Siap.!” Setelah berkali-kali mengecek dan melengkapi semuanya, akhirnya kini saya yang yakin telah siap.
Hari ini saya punya janji untuk berkunjung dan melihat proses pembuatan alkohol dari bahan baku nira aren. Seorang bapak yang memang tukang buat minuman beralkohol ini –atau minuman keras tradisional, membolehkan saya untuk menyimaknya membuat minuman beralkohol itu hari ini.

Di kabupaten Halmahera Utara (Halut), desa Daru ini memang dikenal sebagai desa dengan jumlah pembuat minuman keras (miras) tradisional terbanyak. Di kawasan Halut sendiri, miras tradisional ini lebih beken dengan nama Captikus. Bahkan dari hasil jual captikus ini, banyak masyarakat desa yang meningkatkan taraf hidupnya, dan banyak juga anak-anak desa yang sampai berhasil menyelesaikan studi pendidikan tingginya sebagai buah hasil “usaha” captikus ini lho #kagum

Tidak jelas kapan persisnya awal captikus dikenal dikabupaten Halut. Namun dari beberapa sumber, miras tradisional ini berasal dari daerah Sangihe (propinsi Sulawesi Utara), dan kemudian –mungkin– dibawa masyarakatnya ketika merantau ke wilayah Halut. Nama captikus sendiri menurut contekan google, dipakai karena proses pembuatan miras ini dilakukan disela-sela hutan, mirip dengan tikus yang sukanya sembunyi-sembunyi dihutan. Jadilah miras tradisional ini dinamakan captikus. Hmmm…, mungkin penjelasan saya kurang meyakinkan bagi anda, tapi jangankan anda, saya juga belom yakin dengan contekan google itu hihi *kaboorr 
Untuk sampai ke tempat pembuatan captikus milik si Om, dari kampung kami harus terlebih dulu berjalan kaki sekitar 30 menit, karena memang tempat pembuatan captikusnya yang tidak berada dalam perkampungan, tetapi ada ditengah kebun si Om yang merupakan kebun campuran kayak agroforestri gitu. Kebunnya sendiri pas dipinggiran kali Giwe (untuk mengetahui tentang kali Giwe, klik aja Masyarakat Daru dan Kali Giwe).
Tempat pembuatan captikus milik si Om hanyalah berupa satu gubuk kecil yang berkesan agak reot, dan disana saya hanya melihat peralatan yang amat-sangat tradisional. Sampai digubuk itu, setelah menaroh bawaan, kami langsung beranjak ke beberapa pohon aren untuk mengambil nira aren yang telah ditadah semenjak kemarin sore. O iya, karena di Halut pohon aren lebih dikenal dengan nama seho, dan nira aren biasa disebut saguer, maka sebagai penghormatan, mulai dari sini saya akan menyebut pohon dan nira aren dengan sebutan yang biasa dipakai masyarakat Halut itu yaks. Sepakat…? Ok, sip :)
Om kemudian naik keatas pohon seho dan berusaha menurunkan bambu sepanjang sekitar 1,5 meter yang digunakan sebagai penampung tetes saguer sedari kemarin sore. Tidak mau kehilangan moment, saya pun turut naik keatas pohon dengan kondisi jantung yang dag-dig-dug karena tangga untuk naik hanyalah satu bambu panjang yang pijakannya adalah buku-buku bambu itu. Meski lambat, saya berhasil sampai atas, dan memotret si Om yang sedang menurunkan bambu yang telah berisi saguer. Begitulah kegiatan awal kami, yakni mengumpulkan saguer dibeberapa pohon milik Om.
Om membuka bambu penampung tetesan nira aren. 
**ini saya yang poto lho, jadi saya juga diatas pohon hehe
si Om waktu naik pohon saguer, menurunkan bambu penampungan yang udah semalem, dan menampung nira arennya dalam jerigen2 yg telah disiapkan.

Saguer-saguer yang telah diturunkan dan sebelumnya telah kami tuang kedalam beberapa jerigen itu, kemudian kami bawa kembali ke gubuk tempat pembuatan captikus milik si Om.
Menurut buku yang saya baca, berubahnya saguer menjadi captikus adalah merupakan hasil dari proses yang bahasa kerennya disebut destilasi (atau bahasa “ga keren” disebut penyulingan). Si Om mulai menunjukan alat dan bahan pembuatan captikus kepada saya. (1) Ada belanga dari drum yang dipotong setengah, (2) ada stoples: tempat untuk menampung hasil penyulingan, (3) ada bambu tinggi (sekitar 3 meter) berada diatas tutup belanga yang telah dilobang seukuran bambu itu, (4) ada bambu lain hampir diujung bambu sebelumnya yang dirancang membengkok membentuk sudut sekitar 600 dari bambu pertama, dan (5) ada bambu ketiga  sebagai tempat menetesnya hasil penyulingan (bambu ketiga ini dipasang pada ujung bambu kedua tadi). Konstruksi bambu-bambu yang saya sebutkan, dibuat dengan tujuan agar uap saguer yang akan dipanaskan nantinya mengalami kondensasi dan menghasilkan tetes captikus pada akhirnya. Attention: memang saya akui, butuh orang dengan imajinasi tinggi untuk bisa mendapat gambaran persis apa yang saya coba ilustrasikan barusan, jadi jika anda masih belum dapat gambarannya, maka tingkat imajinasi anda patut saya pertanyakan HaHaHaHa :D 

Konstruksi "pabrik" Captikus milik Om.

Saya sedang mengambil gambar konstruksi "pabrik" Captikus.

Bahan untuk membuat captikus sendiri hanyalah (1) saguer, (2) bahan bakar yang berupa sabut kelapa atau kayu-kayu, yang dapat dengan mudah diperoleh disekitaran kebun. Hanya itu saja, mudah tooh? :p
Si Om kemudian menuang saguer dari dalam jerigen ke belanga. Belanga yang dibuat dari drum yang dipotong setengahnya ini, dapat menampung sekitar 50 liter saguer. Om menggunakan saringan untuk menyaring saguer yang dituang kedalam belanga. Saringan ini berguna agar serangga-serangga atau kotoran yang tercampur dalam saguer dapat tersaring, dan tidak mengotori saguer   ataupun hasil captikusnya nanti. Ketika dirasa cukup, om mulai mengumpulkan bahan bakar untuk dibuat api. Api dinyalakan tepat dibawah belanga yang telah terisi saguer.
Inilah saringan saguer yang digunakan.
Menuang saguer kedalam belanga syuuuurrrtt...
Saguer yang telah berada dalam belanga pemasakan.
Pengawasan terhadap besarnya nyala api adalah sangat penting perannya untuk menentukan kualitas captikus. Dan tanpa alat canggih semisal pengukur suhu, si Om bisa dengan yakin mengetahui api yang cocok dalam pembuatan captikus ini. Inilah yang tambah meyakinkan saya bahwa pengalaman dapat menjadi guru yang paling baik *salut 
Setelah dipanaskan dengan api selama sekitar 15 menit, nampak busa (baca: buih) dari saguer yang telah panas mulai keluar dari tutup belanga yang berlubang. Buih itu kemudian diambil dengan semacam sendok dari bambu dan ditampung disuatu wadah lain. Lubang ditutup belanga masih dibiarkan terbuka selama pemanasan awal ini hingga buih saguer itu berkurang dan dirasa cukup oleh si Om. Teori sederhananya adalah: selama masih terdapat buih didalam belanga, maka uap alkohol yang pada akhirnya captikus, belum dapat naik. Sehingga belum layak lubang pada tutup belanga itu ditutup/dipasangi bambu jalur kondensasi.
Ketika cukup panas, buih saguer keluar dari mulut belanga yang dilobang.
Ketika buih berkurang dan dirasa cukup oleh si Om, maka dipasang tepat dilubang tutup belanga itu bambu untuk kondensasi uap alkohol. Setelah terpasang rapi, proses atau kerja untuk menghasilkan captikus ini menjadi relatif lebih mudah, karena dari sini aktifitas utama hanyalah menjaga api agar tetap pada kondisi yang ideal. Ketika nyala api kurang, maka bahan bakar harus ditambah. Saat nyala api berlebih, maka nyala api harus dikurangi. Kurang lebih begitulah yang saya maksud dengan “menjaga api tetap ideal”, dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh si Om yang telah makan ‘asam garam’ untuk urusan ini –saya mah nyerah aja hohoho *piisss… 
Sekitar 20 menit setelah bambu kondensasi dipasang, dan kemudian sibuk “menjaga api” itu, mulailah terlihat tetes demi tetes captikus keluar dari bambu kondensasi, dan jatuh dalam stoples yang memang telah disiapkan tepat dibawah tempat menetesnya captikus. Melihat hal itu, saya seperti mendapat panorama menakjubkan yang membuat saya tidak henti-henti memfotonya.
Om menempatkan stoples penampung Captikus pada posisinya.
Captikus mulai menetes tuh :)
Selain harus sigap “menjaga api”, hal lain yang harus dilakukan adalah memperhatikan stoples agar tidak terlanjur penuh bahkan tumpah oleh captikus yang telah jadi. Ketika stoples telah penuh, maka isinya harus segera dituang kedalam jerigen atau wadah lain yang memang telah disiapkan, kemudian stoplesnya ditaroh ketempat semula untuk menampung tetes captikus lagi, begitu seterusnya hingga tidak ada lagi tetes captikus yang keluar.
Untuk mengetahui kapan waktunya kendungan alkohol (atau captikus) telah habis, maka perhatikan saja tetesnya. Jika pada suhu (baca: nyala api) yang sama tetesnya tidak lagi keluar, maka tidak ada lagi kandungan alkohol, dan didalam belanga hanya tersisa air. Hal ini disebabkan karena titik didih alkohol itu lebih rendah daripada titik didih air, sehingga pada suhu (atau nyala api) dimana uap alkohol dibelanga naik, uap air tertinggal dibelanga. Jadi, jika tetes captikus tidak lagi keluar pada suhu ideal menguapnya alkohol, maka dapat dipastikan bahwa yang tersisa dibelanga hanyalah air. Dan jika ingin menguapkan air, maka perlu diperbesar nyala apinya (baca: suhu). Begitu lho… Paham? Oke, saya anggap anda pintar aja yak hehe
O iya, karena mungkin lapar –ya memang demikian, ditengah proses pembuatan captikus ini, si Om juga membuat nasi bambu. Nasi bambu yang saya sebut ini adalah beras yang dicuci bersih, dibungkus dengan daun kelapa/sagu, dimasukan dalam bambu sepanjang 0,5 meter yang telah diisi air, kemudian dibakar. Untuk mengetahui bagaimana nasi dapat dikatakan sudah matang ketika dibakar, itu mudah. Liat saja air dalam bambunya, jika sudah mendidih, maka nasi didalamnya dijamin telah layak untuk masuk ke perut anda :p Yang membuat rasa nasi bambu berbeda dari nasi biasanya adalah terdapat bau wangi bambu di nasinya, dan rasanya seperti nasi bercampur sayur dedaunan. Pokoknya top-markotop dah. Tanpa lauk pun kelar saya libas nasi bambu buatan Om ini *yummmiyy

Diajarin buat nasi_bambu sama si Om. *asyiiikk *laparrr...
Saya berada dilokasi pembuatan captikus milik si Om ini hingga sore hari, atau sampe memang kelar satu belanga saguer yang dimasak tadi. Menurut si Om, dalam sehari biasanya satu belanga saguer menghasilkan 20 – 25 liter captikus. Captikus ini kemudian dijual dengan harga Rp. 7000 – Rp. 10000 per 350 ml. Jadi dengan harga demikian, setiap hari si Om dapat dikatakan memiliki penghasilan sekitar Rp. 200000 sampai Rp. 250000, ya lumayan menurut saya. “Harga captikus biasanya melonjak tinggi ketika menjelang tahun baru,” kata si Om.
Menurut kesaksian si Om, dari mengusahakan captikus ini, dia bisa membangun rumah yang cukup besar, memiliki sepeda motor dan benda-benda berharga lainnya, bahkan ada satu anaknya yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi lho. Wah salut deh sama Om yang satu ini.!
Sore hari, ketika tidak ada lagi tetesan yang keluar dari bambu kondensasi, tandanya jam kerja hari ini telah selesai. Maka saya dan Om mulai membereskan segala macam alat dan bahan yang sebelumnya digunakan dan masih berserakan dilokasi kerja. Seluruh captikus yang telah jadi dimasukan kedalam jerigen yang telah disediakan, mencuci belanga yang sudah selesai dipakai, membereskan peralatan, dan kemudian siap-siap untuk kembali ke kampung. Sementara bersiap-siap, anak si Om datang dengan menggunakan sepeda motor untuk mengangkut captikus yang telah jadi tadi. Ternyata anak ini memang bertugas rutin untuk mengangkut captikus yang telah jadi setiap sore harinya.
Setelah captikus diangkut, kami memeriksa lagi sekeliling gubuk tempat membuat captikus kalau2 ada yang belum beres atau tertinggal, sebelum akhirnya saya dan si Om kembali gerak-jalan pulang menuju perkampungan.
Satu lagi pengalaman yang berkesan telah saya dapatkan di desa Daru. Minuman keras (baca: captikus) yang selama ini oleh sebagian orang dianggap sebagai “setan”, ternyata bagaikan malaikat bagi sebagian orang lainnya. Terlepas dari kontroversi itu, sekarang saya tahu bagaimana proses membuat captikus khas masyarakat Daru, dan kini saya secara sukarela memberitahu anda. haha :p  (http://echotingginehe.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar