“Pena? Siap., buku catatan? Siap., kamera? Siap.!” Setelah berkali-kali mengecek dan melengkapi semuanya, akhirnya kini saya yang yakin telah siap.
Hari
ini saya punya janji untuk berkunjung dan melihat proses pembuatan alkohol dari
bahan baku nira aren. Seorang bapak yang memang tukang buat minuman beralkohol ini –atau minuman keras tradisional,
membolehkan saya untuk menyimaknya membuat minuman beralkohol itu hari ini.
Di kabupaten Halmahera Utara (Halut), desa Daru ini memang dikenal sebagai desa dengan jumlah pembuat minuman keras (miras) tradisional terbanyak. Di kawasan Halut sendiri, miras tradisional ini lebih beken dengan nama Captikus. Bahkan dari hasil jual captikus ini, banyak masyarakat desa yang meningkatkan taraf hidupnya, dan banyak juga anak-anak desa yang sampai berhasil menyelesaikan studi pendidikan tingginya sebagai buah hasil “usaha” captikus ini lho #kagum
Tidak jelas kapan persisnya awal captikus dikenal dikabupaten Halut. Namun dari beberapa sumber, miras tradisional ini berasal dari daerah Sangihe (propinsi Sulawesi Utara), dan kemudian –mungkin– dibawa masyarakatnya ketika merantau ke wilayah Halut. Nama captikus sendiri menurut contekan google, dipakai karena proses pembuatan miras ini dilakukan disela-sela hutan, mirip dengan tikus yang sukanya sembunyi-sembunyi dihutan. Jadilah miras tradisional ini dinamakan captikus. Hmmm…, mungkin penjelasan saya kurang meyakinkan bagi anda, tapi jangankan anda, saya juga belom yakin dengan contekan google itu hihi *kaboorr
Untuk
sampai ke tempat pembuatan captikus milik si Om, dari kampung kami harus
terlebih dulu berjalan kaki sekitar 30 menit, karena memang tempat pembuatan
captikusnya yang tidak berada dalam perkampungan, tetapi ada ditengah kebun si
Om yang merupakan kebun campuran kayak
agroforestri gitu. Kebunnya sendiri
pas dipinggiran kali Giwe (untuk mengetahui tentang kali Giwe, klik aja Masyarakat Daru dan Kali Giwe).
Tempat
pembuatan captikus milik si Om hanyalah berupa satu gubuk kecil yang berkesan
agak reot, dan disana saya hanya melihat peralatan yang amat-sangat
tradisional. Sampai digubuk itu, setelah menaroh bawaan, kami langsung beranjak
ke beberapa pohon aren untuk mengambil nira aren yang telah ditadah semenjak kemarin sore. O iya, karena
di Halut pohon aren lebih dikenal dengan nama seho, dan nira aren biasa disebut saguer, maka sebagai penghormatan, mulai dari sini saya akan
menyebut pohon dan nira aren dengan sebutan yang biasa dipakai masyarakat Halut
itu yaks. Sepakat…? Ok, sip :)
Om
kemudian naik keatas pohon seho dan berusaha menurunkan bambu sepanjang sekitar
1,5 meter yang digunakan sebagai penampung tetes saguer sedari kemarin sore.
Tidak mau kehilangan moment, saya pun turut naik keatas pohon dengan kondisi jantung
yang dag-dig-dug karena tangga untuk
naik hanyalah satu bambu panjang yang pijakannya adalah buku-buku bambu itu.
Meski lambat, saya berhasil sampai atas, dan memotret si Om yang sedang
menurunkan bambu yang telah berisi saguer. Begitulah kegiatan awal kami, yakni
mengumpulkan saguer dibeberapa pohon milik Om.
Om membuka bambu penampung tetesan nira aren. **ini saya yang poto lho, jadi saya juga diatas pohon hehe |
si Om waktu naik pohon saguer, menurunkan bambu penampungan yang udah semalem, dan menampung nira arennya dalam jerigen2 yg telah disiapkan. |
Saguer-saguer yang telah diturunkan dan sebelumnya telah kami tuang kedalam beberapa jerigen itu, kemudian kami bawa kembali ke gubuk tempat pembuatan captikus milik si Om.
Menurut
buku yang saya baca, berubahnya saguer menjadi captikus adalah merupakan hasil
dari proses yang bahasa kerennya
disebut destilasi (atau bahasa “ga keren” disebut penyulingan). Si Om mulai
menunjukan alat dan bahan pembuatan captikus kepada saya. (1) Ada belanga dari
drum yang dipotong setengah, (2) ada stoples: tempat untuk menampung hasil
penyulingan, (3) ada bambu tinggi (sekitar 3 meter) berada diatas tutup belanga
yang telah dilobang seukuran bambu itu, (4) ada bambu lain hampir diujung bambu
sebelumnya yang dirancang membengkok membentuk sudut sekitar 600
dari bambu pertama, dan (5) ada bambu ketiga
sebagai tempat menetesnya hasil penyulingan (bambu ketiga ini dipasang
pada ujung bambu kedua tadi). Konstruksi bambu-bambu yang saya sebutkan, dibuat
dengan tujuan agar uap saguer yang akan dipanaskan nantinya mengalami
kondensasi dan menghasilkan tetes captikus pada akhirnya. Attention: memang saya akui, butuh orang dengan imajinasi tinggi
untuk bisa mendapat gambaran persis apa yang saya coba ilustrasikan barusan, jadi jika anda masih belum
dapat gambarannya, maka tingkat imajinasi anda patut saya pertanyakan HaHaHaHa
:D
Konstruksi "pabrik" Captikus milik Om. |
Saya sedang mengambil gambar konstruksi "pabrik" Captikus. |
Bahan untuk membuat captikus sendiri hanyalah (1) saguer, (2) bahan bakar yang berupa sabut kelapa atau kayu-kayu, yang dapat dengan mudah diperoleh disekitaran kebun. Hanya itu saja, mudah tooh? :p
Si
Om kemudian menuang saguer dari dalam jerigen ke belanga. Belanga yang dibuat
dari drum yang dipotong setengahnya ini, dapat menampung sekitar 50 liter
saguer. Om menggunakan saringan untuk menyaring saguer yang dituang kedalam
belanga. Saringan ini berguna agar serangga-serangga atau kotoran yang
tercampur dalam saguer dapat tersaring, dan tidak mengotori saguer ataupun hasil captikusnya nanti. Ketika
dirasa cukup, om mulai mengumpulkan bahan bakar untuk dibuat api. Api
dinyalakan tepat dibawah belanga yang telah terisi saguer.
Menuang saguer kedalam belanga syuuuurrrtt... |
Saguer yang telah berada dalam belanga pemasakan. |
Setelah
dipanaskan dengan api selama sekitar 15 menit, nampak busa (baca: buih) dari saguer
yang telah panas mulai keluar dari tutup belanga yang berlubang. Buih itu
kemudian diambil dengan semacam sendok dari bambu dan ditampung disuatu wadah
lain. Lubang ditutup belanga masih dibiarkan terbuka selama pemanasan awal ini hingga
buih saguer itu berkurang dan dirasa cukup oleh si Om. Teori sederhananya
adalah: selama masih terdapat buih didalam belanga, maka uap alkohol yang pada
akhirnya captikus, belum dapat naik. Sehingga belum layak lubang pada tutup
belanga itu ditutup/dipasangi bambu jalur kondensasi.
Ketika
buih berkurang dan dirasa cukup oleh si Om, maka dipasang tepat dilubang tutup
belanga itu bambu untuk kondensasi uap alkohol. Setelah terpasang rapi, proses
atau kerja untuk menghasilkan captikus ini menjadi relatif lebih mudah, karena
dari sini aktifitas utama hanyalah menjaga api agar tetap pada kondisi yang
ideal. Ketika nyala api kurang, maka bahan bakar harus ditambah. Saat nyala api
berlebih, maka nyala api harus dikurangi. Kurang lebih begitulah yang saya
maksud dengan “menjaga api tetap ideal”, dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh
si Om yang telah makan ‘asam garam’ untuk urusan ini –saya mah nyerah aja hohoho *piisss…
Sekitar
20 menit setelah bambu kondensasi dipasang, dan kemudian sibuk “menjaga api”
itu, mulailah terlihat tetes demi tetes captikus keluar dari bambu kondensasi,
dan jatuh dalam stoples yang memang telah disiapkan tepat dibawah tempat
menetesnya captikus. Melihat hal itu, saya seperti mendapat panorama
menakjubkan yang membuat saya tidak henti-henti memfotonya.
Captikus mulai menetes tuh :) |
Untuk
mengetahui kapan waktunya kendungan alkohol (atau captikus) telah habis, maka
perhatikan saja tetesnya. Jika pada suhu (baca: nyala api) yang sama tetesnya
tidak lagi keluar, maka tidak ada lagi kandungan alkohol, dan didalam belanga
hanya tersisa air. Hal ini disebabkan karena titik didih alkohol itu lebih
rendah daripada titik didih air, sehingga pada suhu (atau nyala api) dimana uap
alkohol dibelanga naik, uap air tertinggal dibelanga. Jadi, jika tetes captikus
tidak lagi keluar pada suhu ideal menguapnya alkohol, maka dapat dipastikan
bahwa yang tersisa dibelanga hanyalah air. Dan jika ingin menguapkan air, maka
perlu diperbesar nyala apinya (baca: suhu). Begitu lho… Paham? Oke, saya
anggap anda pintar aja yak hehe
O
iya, karena mungkin lapar –ya memang demikian, ditengah proses pembuatan
captikus ini, si Om juga membuat nasi bambu. Nasi bambu yang saya sebut ini
adalah beras yang dicuci bersih, dibungkus dengan daun kelapa/sagu, dimasukan
dalam bambu sepanjang 0,5 meter yang telah diisi air, kemudian dibakar. Untuk
mengetahui bagaimana nasi dapat dikatakan sudah matang ketika dibakar, itu
mudah. Liat saja air dalam bambunya, jika sudah mendidih, maka nasi didalamnya dijamin
telah layak untuk masuk ke perut anda :p Yang membuat rasa nasi bambu berbeda
dari nasi biasanya adalah terdapat bau wangi bambu di nasinya, dan rasanya
seperti nasi bercampur sayur dedaunan. Pokoknya top-markotop dah. Tanpa lauk pun kelar saya libas nasi bambu buatan
Om ini *yummmiyy
Saya
berada dilokasi pembuatan captikus milik si Om ini hingga sore hari, atau sampe memang kelar satu belanga saguer yang dimasak tadi. Menurut si Om, dalam
sehari biasanya satu belanga saguer menghasilkan 20 – 25 liter captikus.
Captikus ini kemudian dijual dengan harga Rp. 7000 – Rp. 10000 per 350 ml. Jadi
dengan harga demikian, setiap hari si Om dapat dikatakan memiliki penghasilan
sekitar Rp. 200000 sampai Rp. 250000, ya lumayan menurut saya. “Harga captikus
biasanya melonjak tinggi ketika menjelang tahun baru,” kata si Om.
Menurut
kesaksian si Om, dari mengusahakan captikus ini, dia bisa membangun rumah yang
cukup besar, memiliki sepeda motor dan benda-benda berharga lainnya, bahkan ada
satu anaknya yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi lho. Wah salut deh sama Om yang satu ini.!
Sore
hari, ketika tidak ada lagi tetesan yang keluar dari bambu kondensasi, tandanya
jam kerja hari ini telah selesai. Maka saya dan Om mulai membereskan segala
macam alat dan bahan yang sebelumnya digunakan dan masih berserakan dilokasi
kerja. Seluruh captikus yang telah jadi dimasukan kedalam jerigen yang telah
disediakan, mencuci belanga yang sudah selesai dipakai, membereskan peralatan,
dan kemudian siap-siap untuk kembali ke kampung. Sementara bersiap-siap, anak
si Om datang dengan menggunakan sepeda motor untuk mengangkut captikus yang
telah jadi tadi. Ternyata anak ini memang bertugas rutin untuk mengangkut
captikus yang telah jadi setiap sore harinya.
Setelah
captikus diangkut, kami memeriksa lagi sekeliling gubuk tempat membuat captikus
kalau2 ada yang belum beres atau tertinggal, sebelum akhirnya saya dan si Om
kembali gerak-jalan pulang menuju perkampungan.
Satu
lagi pengalaman yang berkesan telah saya dapatkan di desa Daru. Minuman keras (baca:
captikus) yang selama ini oleh sebagian orang dianggap sebagai “setan”,
ternyata bagaikan malaikat bagi sebagian orang lainnya. Terlepas dari
kontroversi itu, sekarang saya tahu bagaimana proses membuat captikus khas
masyarakat Daru, dan kini saya secara sukarela memberitahu anda. haha :p (http://echotingginehe.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar