29 Juni 2014

Mabuk-mabukan dalam Sejarah

Oleh Kasijanto Sastrodinomo

Pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0603/18/pustaka/2517543.htm
———————————————————-
Di tengah upaya keras aparat kepolisian membasmi peredaran minuman
beralkohol, ada baiknya kita ingat sebuah buku tua karangan J Kats,
seorang pejabat kolonial Belanda. Seperti layaknya buku yang ditulis,
disponsori (dipesan), dan diterbitkan oleh pemerintah kolonial pada
masa-masa awal abad ke-20, Het alcoholkwaad dapat dilihat sebagai
bagian dari kebijakan politik etis.
Politik yang digagas oleh kaum “humanis” Belanda itu sendiri
mengamanatkan agar pemerintah meningkatkan kesejahteraan penduduk
pribumi di tanah jajahan antara lain melalui pendidikan. Buku ini
merupakan salah satu wujud pemenuhan program politik pemerintah
tersebut.
Dalam pendahuluannya, Kats menyebutkan bahwa bukunya dimaksudkan
untuk memberikan informasi mengenai manfaat dan mudarat minuman keras
bagi manusia sehingga patut diketahui oleh pejabat, pegawai
pemerintah, kaum muda, dan seluruh anak negeri pada umumnya.
Intinya, Kats menekankan bahwa meskipun alkohol memiliki manfaat
tertentu (misalnya untuk pengobatan), cairan memabukkan itu lebih
banyak mudaratnya bagi manusia.
Untuk lebih meyakinkan uraiannya, Kats mengutip hasil penelitian
tentang dampak negatif penggunaan alkohol di beberapa negara di
Eropa. Ditunjukkan antara lain adanya hubungan antara kebiasaan
meminum alkohol dan merosotnya daya tahan tubuh penggunanya sehingga
mudah menimbulkan sakit.
Di rumah-rumah sakit Perancis pada 1899, misalnya, 30 persen pasien
yang dirawat adalah pecandu alkohol. Di Inggris pada kurun yang sama,
sekitar 10 persen tentara di negeri itu ternyata pemabuk berat yang
membuat tubuh mereka lembek. Sementara di Jerman, penyebab gila pada
sekitar seperempat bagian pasien rumah-rumah sakit jiwa di sana
ternyata alkohol.
Supaya sasaran buku bisa tercapai secara efektif, Kats merasa
perlu “mencari dukungan” dari organisasi masyarakat dan elite
pribumi. Dikutipnya salah satu hasil keputusan Kongres Sarekat Islam
pada 1915, yang menyerukan agar pemerintah memberlakukan undang-
undang untuk melarang anak negeri menggunakan minuman keras; juga
pernyataan Muhammadiyah di Yogyakarta yang menginginkan agar
pemerintah memberlakukan sistem monopoli perdagangan minuman keras
seperti halnya monopoli pada perdagangan candu.
Sikap Boedi Oetomo juga tegas, yakni mendesak pemerintah agar
membatasi tempat penjualan minuman keras dan mempermahal harga
minuman jenis itu dengan cara menaikkan cukai. Tidak kalah
pentingnya, organisasi itu menyerukan kepada masyarakat, jika hendak
memilih pamong atau pemimpinnya supaya memilih yang “bebas alkohol”
sehingga layak dijadikan suri teladan bagi rakyatnya.
Sementara itu, sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 1918, dua
tahun sebelum buku Kats terbit, pemerintah membentuk Komisi
Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes- trijdings-commissie) yang ditugasi
untuk menyelidiki dan memerangi penggunaan dan penyalahgunaan alkohol
di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Yang menarik, komisi diketuai
oleh pejabat pribumi, yaitu PTA Koesoemo Joedo, Bupati Ponorogo,
dengan anggota yang terdiri dari berbagai unsur pemerintah dan
masyarakat, seperti inspektur, priayi, zending, militer, dan
organisasi sosial.
Dalam laporannya, Komisi menemukan bahwa konsumsi minuman keras telah
meluas di kalangan masyarakat. Di Batavia, misalnya, pembuatan,
penjualan, dan penggunaan minuman jenis itu sudah sampai pada taraf
mengkhawatirkan. Kawasan Senen disebut-sebut sebagai tempat jual-beli
minuman beralkohol secara gelap. Demikian juga lokalisasi pelacuran
(broedplat-sen) tidak salah lagi menjadi ajang hura-hura yang
meruapkan bau alkohol (lihat arsip Rapport van de Alcoholbestrijdings-
commissie, Weltevreden, Landsdrukkerij, 1922).
Upaya pemberantasan minuman beralkohol juga dilancarkan di beberapa
daerah di Pulau Jawa. Sasaran utamanya adalah minuman keras
tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi, seperti
arak, badèg, ciu, dan sejenisnya, yang menurut polisi digolongkan
sebagai “gelap” alias tidak berizin.
Operasi pemberantasan yang digelar dalam lima tahun (1920-1925)
berlangsung “seru” karena melibatkan pamong setempat, seperti lurah,
camat, bahkan wedana, dan telik sandi penduduk desa yang diberi iming-
iming hadiah uang apabila berhasil memberikan informasi mengenai
keberadaan pembuat arak kepada polisi. Saking semangatnya mengintai
sasaran, para telik sandi kadang-kadang tidak akurat dengan
melaporkan pembuat tape singkong sebagai “produsen arak gelap”,
seperti yang terjadi di Madiun, Gombong, dan Distrik Bekonang di
Surakarta.
Tape singkong memang mengandung alkohol, tetapi bukan maksud penjual
tape itu untuk membuat arak. Pada titik ini tidak jarang terjadi
konflik antara mata-mata desa yang memburu gulden dan simbok bakul
tape yang sekadar mengais beberapa sen (lihat arsip proses verbal
Algemeene Politie Batavia atau laporan mantri polisi di sejumlah
daerah di Jawa; koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI,
Jakarta).
Namun, Komisi Pemberantasan Alkohol juga menengarai bahwa agen polisi
kebanyakan diangkat dari bekas tentara Belanda yang diterjunkan di
daerah remang-remang di kota-kota tampak “malas” menjalankan
tugasnya, padahal mereka diharapkan dapat menyikat bersih berbagai
jenis minuman keras yang banyak diperjualbelikan di kedai-kedai kopi
(kroegjes) di kawasan perkotaan. Repotnya lagi, masih menurut laporan
Komisi, para pemilik dan pengunjung kedai lama-kelamaan “kenal”
dengan agen-agen polisi yang bertugas di situ.
Dalam keadaan seperti itu, bukan tidak mungkin timbul sikap “tahu
sama tahu” di antara mereka sehingga mustahil untuk melakukan
tindakan pembersihan. Adapun agen polisi pribumi lebih sulit lagi
diharapkan keandalannya untuk menghadapi pemilik, penjual, dan
pengunjung warung-warung kumuh itu. Sementara itu, minuman keras
tradisional juga terus diproduksi.
Alhasil, upaya memerangi minuman keras tersebut tampaknya tidak
terlalu efektif kalaupun bukan gagal sama sekali. Letak persoalannya
barangkali pertama-tama pada tradisi mengonsumsi minuman beralkohol
yang sudah lama berakar di kalangan masyarakat pribumi di Nusantara.
Dalam naskah kuno Nagarakertagama yang ditulis pada zaman keemasan
Kerajaan Majapahit, misalnya, diketahui bahwa minuman keras pada masa
itu selalu menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton.
Biasanya, dalam pesta tahunan seusai panen raya, raja akan membuka
persamuan besar itu dengan menyuguhkan tampo, yakni arak keras yang
terbuat dari beras jenis terbaik. Di lain pihak, orang-orang Belanda
sendiri, termasuk para “oknum” pejabatnya, mempunyai interes dalam
bisnis impor minuman keras “modern” dari Eropa, seperti brendi dan
jenever. Itu berarti mendatangkan ribuan gulden cukai masuk ke kas
pemerintah selama bertahun-tahun (lihat arsip dokumen Departement van
Financiën yang tersimpan di Kantor ANRI, Jakarta).
Dengan demikian, pihak pemerintah ikut andil dalam menebarkan bau
alkohol di tanah Hindia. Bahkan dapat dibaca bahwa operasi
pemberantasan terhadap minuman keras “gelap” tersebut sebagai bagian
dari strategi pengusaha dan pemerintah kolonial untuk mengamankan
bisnis mereka.
Pada 1905, seorang pengusaha Belanda, Th F van Vloten, yang
menjalankan bisnisnya dari Cairo, Mesir, mengajukan proposal kepada
Departement van Financiën agar pemerintah memberlakukan monopoli
perdagangan arak. Belakangan diketahui bahwa pengusaha itu ternyata
berminat membuka pabrik arak di bawah bendera “industri spiritus”.
Sebelum menjawab proposal tersebut, pihak Departement van Financiën
merasa perlu mendengarkan pertimbangan dari Direktur Departement OEN
(Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid; Pendidikan, Keagamaan, dan
Industri). Direktur OEN JH Abendanon ternyata memberikan jawaban yang
bernada negatif bahwa pihaknya tidak ingin ikut campur dalam rencana
pembangunan “industri spiritus” tersebut.
Alasan pembangunan pabrik yang diajukan Van Vloten, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan akan bahan bakar (spiritus antara lain digunakan
untuk menyalakan lampu petromaks) di Hindia Belanda, juga diragukan
Abendanon. “Di sini [Hindia Belanda],” katanya, “harga kayu bakar dan
minyak tanah amat murah dan banyak tersedia bahan bakar lainnya”
(lihat “Consideratiën en advis van den Directeur OEN”, Nomor 753,
Batavia, 15 Januari 1906; arsip koleksi ANRI, Jakarta).
Penolakan Direktur OEN tersebut didasarkan pada argumen bahwa
bidang “industri” yang berada di bawah kewenangannya lebih diarahkan
pada pengertian “kerajinan seni” (kunstnijverheid) dalam rangka
pendidikan pertukangan bagi penduduk anak negeri. Jadi tidak ada
urusan dengan pabrik.
Sebagai “Bapak Politik Etis”, Abendanon tentu saja berkewajiban
mengamankan kebijakan politik yang dia sendiri ikut menggagasnya.
Namun, ketidaksetujuannya terhadap proposal pembangunan
pabrik “cairan yang membuat bersemangat” tersebut tidak menjadi
penghalang bagi pengusaha yang meminatinya. Nyatanya, di Surabaya
telah beroperasi Nederlandsch-Indische Spiritus-Maatschappij (NISM,
Perusahaan Spiritus Hindia Belanda) yang menunjukkan sikap
antipatinya terhadap usaha arak tradisional.
Pihak NISM melihat usaha arak itu “mengganggu” bisnis mereka. NISM
berdalih bahwa industri penyulingan seperti spiritus dan minuman
keras merupakan industri berteknologi tinggi dan berbiaya mahal.
Karena itu, menurut mereka, selayaknya jika usaha “yang kecil-kecil”
dihentikan saja dan segera “membangun pabrik dengan kapasitas yang
besar di atas reruntuhan [ruinen] dari usaha sebelumnya” (Surat NISM,
Surabaya, 22 Februari 1915, kepada Direktur Departement van
Financiën; arsip koleksi ANRI, Jakarta).
Sementara itu, menurut petugas cukai impor-ekspor (In- en
Uitvoerrechtensac-cijnzen) Departement van Financiën, sejak awal abad
ke-20, cukai minuman beralkohol sebenarnya terus menurun. Rasanya
berlebihan bahkan tidak masuk akal ketika penyebab merosotnya cukai
itu ditimpakan kepada usaha arak tradisional milik pribumi dan
menjadikannya alasan untuk membasmi mereka.
Pemerintah sendiri sebenarnya juga mencurigai bahwa telah
terjadi “permainan gelap” di lingkungan aparat duane di
pelabuhan. “Untuk ‘memotong’ arak gelap sampai habis sama sekali
pastilah tidak mungkin,” ujar Vermeulen, petugas cukai, dalam nota
yang ditulis 27 Februari 1904 kepada atasannya, Direktur Van
Financiën (arsip koleksi ANRI, Jakarta). Kalau begitu, bagaimana
pemerintah bisa membersihkan apa yang mereka anggap “kotor” kalau
pada tubuh aparatnya sendiri tidak bersih?
Kini, setelah lebih dari tiga perempat abad tersimpan pada sedikit
rak perpustakaan (antara lain di Perpustakaan KITLV, Leiden,
Belanda), Het alcoholkwaad mungkin tak lebih sebagai dokumen sejarah
yang berdebu. Demikian juga arsip-arsip penunjang tambahan yang telah
dikutip. Akan tetapi, bagaimanapun masih ada pelajaran yang
sesungguhnya dapat kita petik sekarang: suatu perintah larangan akan
dipatuhi apabila pemberi perintah juga tidak melanggarnya. (http://paramadina.wordpress.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar