6 Juni 2014

Menikmati Sate Anjing, Ditemani Wedang ’Lapen’

Menu kuliner yang tengah marak. Menjelajahi selera, menghampiri kegilaan. Inilah sebuah potret ironi di tanah berpendidikan.

Warung berbilik bambu di jalanan menuju dusun tempatku tinggal itu selalu temaram ketika buka. Terletak di seberang beringin di sudut gapura dan ujung jalan masuk dusun tetangga. Lokasi strategis sekaligus kesepian. Lampu lima watt, menambah kesan sepi warung itu. Tulisan ”sate jamu” digores dengan cat berwarna merah di bilik.
Namun jangan salah sangka bila warung itu tak perlu berjam-jam untuk buka. Petang jelang maghrib hingga tak lebih pukul sepuluh malam, warung itu beroperasi. Tak butuh lama untuk undang bejibun manusia ke dalam warung.

Pernah ketika saya berjalan melewati di maghrib hari, motor-motor berjejer di muka warung. Puluhan orang bersibuk-ria di dalamnya. Inilah awal sebuah kegilaan; kegilaan yang berulang-ulang, mungkin, setiap menjelang malam dari warga di sebuah tanah yang disebut berpredikat berbudaya dan berpendidikan.
Jika pembaca blog masih samar-samar dari deskripsi di atas, baiklah saya ungkap dengan bahasa lugas. Buang jauh-jauh penafsiran Anda tentang ”sate jamu” sebagai suplemen yang menyehatkan. Tak ada kaitan sama sekali antara sate ini dengan racikan jamu yang galib ditawarkan oleh perempuan-perempuan penggendong yang acap keliling di gang-gang kota. Tidak, tidak ada kaitan sama sekali!
Bayangkan: anjing hidup dimasukkan ke karung. Lalu, si anjing dipukul keras-keras hingga dia tak sadarkan diri selamanya. Si pemukul kemudian berkolaborasi dengan temannya yang akan mengolah daging si doggy yang sudah tak bernyawa itu. Singkat cerita, dipadupadankan dengan sedikit bumbu ala rica-rica, jadilah sebuah menu hewan penjaga keamanan ini.
Buang jauh-jauh rasa jijik Anda, karena tokh sang penikmat adalah rakyat dari negeri berbudaya dan melek pendidikan. Tak sedikit di antara mereka bisa dikatakan kaum intelektual. Di tempat yang lebih ”elit”, di seberang sebuah hotel di Jalan Mataram, kegilaan itu bahkan dirayakan sebagai sebuah sensasi tersendiri. Tak kenal sepi warung itu dikunjungi para pegila sate anjing, alias ”sate jamu.” pandang dan tatapi wajah-wajah mereka; bermobil atau bermotor, berdompet tebal, dan masih aktif di kampus atau lulusan perguruan tinggi beken.
Ini Yogyakarta, Bung! Anda bebas ekspresikan memakan apa pun selagi enak, karena di sini adalah surga pluralisme. Surga untuk membuang jauh-jauh kata ”halal” dari kamus penggunungan besaran usus perut kita. Anda bebas memilih untuk menyesatkan diri di menu-menu yang vulgar atau semivulgar jajakan makanan berbahan haram bagi Muslimin.
Tentu bukan Yogyakarta bila tidak ada multikulturalisme. Tak paripurna bila sebutan kebhinekaan pudar hanya homogenisasi makanan. Benarlah, makanan menjadi arena simbolisasi sebutan-sebutan yang memartabatkan itu. Tentu menabrak pakem halal-haram, untuk sebuah kawasan yang pernah menjadi pusat kebudayaan Islam di Jawa, tidak lagi agenda prioritas. Halal-haram nomor kesekain, nomor wahid bagaimana makanan enak dan spirit kebhinekaan itu terwakili.
Karena itu, jangan terkaget-kaget bila di banyak antero di Yogyakarta, Anda agak kesulitan untuk mencari makanan yang lebih bermartabat. Saya katakan ”agak kesulitan” mengingat belakangan ini sudah ada sebagian warga yang menentang arus dan mendorong arus berbeda: mengampanyekan gerakan makanan/minuman halal dan thayyib. Di Yogyakarta Anda akan lebih mudah dapati makanan enak. Yang murah juga tidak pernah menghilang. Ada saja pedagang yang mau berbaik hati menyubsidi pembeli dengan mengurangi porsi keuntungannya. Di Yogyakarta Anda akan lebih gampang mendapai restoran, warung makan, atau gerai makanan, yang tawarkan makanan modern hingga tradisional ala Jawa.
Namun, untuk soal mendapatkan makanan yang halal-thayyib, ini butuh kesigapan kita dalam berburunya. Sudah jamak, orang Yogyakarta menyukai ayam. Apa pun dan bagaimana pun pengolahannya, selagi menu ayam, orang Yogya akan melahapnya. Saya bahkan bisa sebutkan bahwa kesukaan mereka pada ikan laut tidak ada apa-apanya dibandingkan kegemaran melahapi daging ayam. Itu sebabnya mengapa konsumsi ikan laut di Yogyaakrta jauh di bawah kota-kota besar di Jawa, atau provinsi di negeri ini. Memang, mereka bisa melahap ikan, tapi ini ikan darat dengan asupan yang sebetulnya tak banyak pula.
Kegemaran pada daging ayam, akan melahirkan kefanatikan bila si koki rumah makan itu piawai. Belum lagi soal harga murah dan ada iming-iming minum gratis. Sebuah gerai penyaji daging ayam di Bantulan , Godean Sleman, langsung laris meski baru awal dibuka. Gratisan es teh manis, bagi orang Yogyakarta, menjadi semacam anugerah tersendiri. Ayam bakar (apa pun cara mengolahnya, dan tak mau peduli apakah masih ada darah dalam olahannya itu) disenyawakan minum es teh manis menjadi menu favorit banyak kawula dan priyayi Mataram. Tak pandang belum paham ataukah sudah pola makan tersebut tak sehat, mereka melahap modus konsumsi itu. 
Sejujurnya saya agak kecewa dengan daftar kuliner ala Yogyakarta. Menurut saya, makanan yang ditawarkan kandungan gizinya biasa-biasa saja. Gudeg misalnya, bagi saya kalah moncer dengan lalapan ala Sunda. Celakanya, lalapan yang menjadi menu wajib di Sunda, di Yogyakarta sering diolok-olok sebagai makanan kambing. Istri saya yang sering meminta daun katuk, pada awalnya diherani tetangga. Bukan apa-apa, di dusun kami tinggal katuk tak lebih pajangan atau jumputan bagi ternak. Bahwa mereka mengerti kandungan katuk untuk ASI para ibu, boleh jadi kurang begitu diindahkan.
Kala teman kantor mengajak makan di sebuah warung pawonan terkemuka di dekat kampus ISI, di sana saya bisa temukan orisinalitas makanan Yogyakarta. Manut lele, gori hingga olahan ayam, tersaji nikmat di mata. Namun tidak demikian halnya pada saya. Nikmat di perut, tidak diragukan lagi. Karena memang soal enaknya makanan menjadi kiblat kuliner warga Yogya. Tapi apakah demikian berbanding lurus dengan gizi? Jangan tanya dulu. Meski yang hadir kalangan berpendidikan, mereka langsung serbu olahan ayam kampung, tanpa peduli soal cara masak, kombinasi dengan sayur, atau kehalalan.
Makanan cemilan Yogyakarta, saya rasakan lebih fungsional betul-betul sebagai teman berdikusi. Bakpia, entahlah berapa kandungan gizinya, yang terang jangan harap tersaji dengan memikirkan soal kesehatan. Pokoknya enak dan enak.
Karena enak sebagai panglima itulah, tak peduli ”sate jamu” itu menjijikkan (bayangkan, yang disantap adalah hewan yang selama ini penunggu di halaman rumah) atau sekadar enak di perut (konon untuk penambah stamina; masalahnya sejak kapan orang Yogya loyo dalam bekerja?), lebih-lebih bagi yang Muslim, terkait hukum memakannya.
Bila soal kesehatan diabaikan, atau kurang menjadi prioritas, apalagi soal kehalalan. Karena soal ini menjadi manifestasi sebuah hukum yang mengindahkan etika dan dimensi medis-mental, diniscayakan hadir pada sebuah keyakinan yang komprehensif dan bersifat visioner. Syariat Islam dalam konteks ini memberikan jaminan dan wana-wanti soal makanan. Sayangnya, meski di Yogyakarta bertaburan banyak kelompok Islam yang memiliki ribuan aktivis, soal makanan halal tidak automatis menjadi perhatian. 
Tidak jarang, pemahaman Islam yang relatif baik namun masih abai dalam soal makanan dan minuman. Anda yang paham dan mempraktikkan soal kepahaman, ketika beranjangsana ke Yogyakarta, saya sarankan tidak perlu berprasangka baik dulu pada teman atau saudara yang aktivis Islam. Jangan ragu atau malu, tanyakan mengenai kehalalan makanan yang ditawarkan pada Anda itu. Dalam banyak kasus, toleransi ala Yogyakarta berlaku pula di kalangan aktivis Islam. 
Saya teringat cerita istri saya, yang dikeluhi teman sepengajiannya hanya karena selalu menanyakan sumber makanan yang ditawarkan. Menurut teman istri saya, selagi penjual makanan jelas-jelas Muslim—dan apalagi taat—kita tidak perlu mempersoalkan. 
Yang berpemikiran seperti teman istri saya itu tidak satu-dua orang. Ustadz-ustadzah pun bukan parameter halal dan haram. Tak jarang para pembimbing rohani umat ini menyederhanakan persoalan kehalalan dengan sekadar ucapan basmala saat menyembelih hewan. Tidak, ini salah kaprah fatal! Mereka lupa bahwa makanan dan minuman halal di negeri kita—menurut data Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana dikutip media—tak lebih dari 20%! Sisanya masih tidak jelas alias syubhat dan haram. Jika soal sembelih amatlah mudah. Katakan jika tukang jagal lupa basmalah, ya kita tinggal ucapkan basmala. Namun yang menjadi sorotan saya bukan ini, melainkan bagaimana sate yang disajikan aktivis memakai kecap yang belum jelas kehalalannya; memakan roti bakar buatan aktivis partai Islan tapi memakai kuas yang diduga dari bulu babi; dan seterusnya.
Alhamdulillah, saya bersyukur, di Yogyakarta akhir-akhir ini ada kesadaran yang mulai berkembang soal pengadaan makanan halal dan thayyib. Saya lihat tiga tahun trerakhir bermunculan warung-warung makan yang pengelolanya berhati-hati dalam memilih dan menyajikam. Demikian pula pagi pemodal besar, mereka bahkan membuat warung yang disertifikasi MUI. Saya salut pada langkah dakwah Mas Jodi yang mengenalkan makanan bercitarasa modern namun tradisional, dengan balutan halal. Memang, saya lihat yang mengunjungi BeBaQaran beliau saya yakin pertama-tama bukan karena soal halal, tapi soal enak dan harga terjangkau. Dasar Yogya!
Harus disadari, tidak semua pembuka warung halal itu mendapat respons positif. Gerai di Jogja Halal Food Center (JHFC) hingga sejam sebelum tulisan ini diunggah, masih sepi dan kalah ramai dari Sambal Pedas yang tak jelas sudah bersertifikat halal MUI atau belum. Beberapa gerai di JHFC memilih tutup dan pindah lokasi ke tempat yang lebih ramai.
Sampai kapan kesadaran untuk membudayakan makanan halal dan thayyib itu menjadi gaya hidup warga Yogyakarta, baik asli maupun pendatang? Ini merupakan soal yang tidak bisa dijawab saat ini. Berharap para pemihakan pemerintah daerah, bisa dikatakan seperti mimpi di siang bolong. Apa pasal? Karena pejabat di daerah kebanyakan bercitarasa Yogya: makan asal enak, harga terjangkau, atau kalau tidak menampilkan gaya hidup modern. Perkara halal dan thayyib adalah wacana dari luar angkasa!
Saya salut dengan teman saya, Heri, lewat bendera Hias-nya. Dia acap menjadi event organizer seminar-seminar kehalalan makanan bersama pakarnya, Dr Nanung Danardono. Meski dalam skala tidak sebesar tabligh akbar dai ibukota, acara yang diadakan Heri dan Hias sedikit banyak membuka wawasan dan keagamaan para aktivis Islam. Bicara halal dan haram makanan tidak lagi asal bertenggang rasa dan berpasangka. Ini bukan seperti ceramah seorang ustdaz di Yogya yang cenderung permisif dalam soal makanan.
Gerakan seperti ini memang belum ekstensif. Mengawali di kalangan berpendidikan dan telah mengenal agama, menurut saya masih bisa dimaklumi. Dengan andil yang kecil, saya pun ingin terlibat. Memberikan contoh kepada tamu dan teman ketika berkunjung ke rumah. Atau ketika saya berdiskusi dengan mereka. Gerakan kultural dan komunal ini insya Allah bisa menjadi wacana tanding dari moda konsumsi di Yogyakarta yang menyebalkan dan menjijikkan.
Jadi dari pada muak menyaksamai mereka yang tetap asyik menikmati sate jamu lalu minum lapen, hingga maut menjemput, lebih baik kita tetap getol memberikan masukan dan menawarkan gaya hidup halal-thayyib kita kepada teman. Jangan malu, karena orang Yogya dalam soal ini terbilang awam. Jagan takut, karena orang Yogya tidak akan mengusiri Anda hanya lantaran soal ini.[sumber: http://www.yusufmaulana.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar