Menu kuliner yang tengah marak. Menjelajahi selera, menghampiri kegilaan. Inilah sebuah potret ironi di tanah berpendidikan.
Warung
berbilik bambu di jalanan menuju dusun tempatku tinggal itu selalu
temaram ketika buka. Terletak di seberang beringin di sudut gapura dan
ujung jalan masuk dusun tetangga. Lokasi strategis sekaligus kesepian.
Lampu lima watt, menambah kesan sepi warung itu. Tulisan ”sate jamu” digores dengan cat berwarna merah di bilik.
Namun
jangan salah sangka bila warung itu tak perlu berjam-jam untuk buka.
Petang jelang maghrib hingga tak lebih pukul sepuluh malam, warung itu
beroperasi. Tak butuh lama untuk undang bejibun manusia ke dalam warung.
Pernah
ketika saya berjalan melewati di maghrib hari, motor-motor berjejer di
muka warung. Puluhan orang bersibuk-ria di dalamnya. Inilah awal sebuah
kegilaan; kegilaan yang berulang-ulang, mungkin, setiap menjelang malam
dari warga di sebuah tanah yang disebut berpredikat berbudaya dan
berpendidikan.
Jika
pembaca blog masih samar-samar dari deskripsi di atas, baiklah saya
ungkap dengan bahasa lugas. Buang jauh-jauh penafsiran Anda tentang
”sate jamu” sebagai suplemen yang menyehatkan. Tak ada kaitan sama
sekali antara sate ini dengan racikan jamu yang galib ditawarkan oleh
perempuan-perempuan penggendong yang acap keliling di gang-gang kota. Tidak, tidak ada kaitan sama sekali!
Bayangkan:
anjing hidup dimasukkan ke karung. Lalu, si anjing dipukul keras-keras
hingga dia tak sadarkan diri selamanya. Si pemukul kemudian
berkolaborasi dengan temannya yang akan mengolah daging si doggy yang
sudah tak bernyawa itu. Singkat cerita, dipadupadankan dengan sedikit
bumbu ala rica-rica, jadilah sebuah menu hewan penjaga keamanan ini.
Buang jauh-jauh rasa jijik Anda, karena tokh
sang penikmat adalah rakyat dari negeri berbudaya dan melek pendidikan.
Tak sedikit di antara mereka bisa dikatakan kaum intelektual. Di tempat
yang lebih ”elit”, di seberang sebuah hotel di Jalan Mataram, kegilaan
itu bahkan dirayakan sebagai sebuah sensasi tersendiri. Tak kenal sepi
warung itu dikunjungi para pegila sate anjing, alias ”sate jamu.”
pandang dan tatapi wajah-wajah mereka; bermobil atau bermotor, berdompet
tebal, dan masih aktif di kampus atau lulusan perguruan tinggi beken.
Ini
Yogyakarta, Bung! Anda bebas ekspresikan memakan apa pun selagi enak,
karena di sini adalah surga pluralisme. Surga untuk membuang jauh-jauh
kata ”halal” dari kamus penggunungan besaran usus perut kita. Anda bebas
memilih untuk menyesatkan diri di menu-menu yang vulgar atau semivulgar
jajakan makanan berbahan haram bagi Muslimin.
Tentu bukan Yogyakarta
bila tidak ada multikulturalisme. Tak paripurna bila sebutan
kebhinekaan pudar hanya homogenisasi makanan. Benarlah, makanan menjadi
arena simbolisasi sebutan-sebutan yang memartabatkan itu. Tentu menabrak
pakem halal-haram, untuk sebuah kawasan yang pernah menjadi pusat
kebudayaan Islam di Jawa, tidak lagi agenda prioritas. Halal-haram nomor
kesekain, nomor wahid bagaimana makanan enak dan spirit kebhinekaan itu
terwakili.
Karena itu, jangan terkaget-kaget bila di banyak antero di Yogyakarta,
Anda agak kesulitan untuk mencari makanan yang lebih bermartabat. Saya
katakan ”agak kesulitan” mengingat belakangan ini sudah ada sebagian
warga yang menentang arus dan mendorong arus berbeda: mengampanyekan
gerakan makanan/minuman halal dan thayyib. Di Yogyakarta Anda akan lebih
mudah dapati makanan enak. Yang murah juga tidak pernah menghilang. Ada
saja pedagang yang mau berbaik hati menyubsidi pembeli dengan
mengurangi porsi keuntungannya. Di Yogyakarta Anda akan lebih gampang
mendapai restoran, warung makan, atau gerai makanan, yang tawarkan
makanan modern hingga tradisional ala Jawa.
Namun, untuk soal mendapatkan makanan yang halal-thayyib, ini butuh kesigapan kita dalam berburunya. Sudah jamak, orang Yogyakarta
menyukai ayam. Apa pun dan bagaimana pun pengolahannya, selagi menu
ayam, orang Yogya akan melahapnya. Saya bahkan bisa sebutkan bahwa
kesukaan mereka pada ikan laut tidak ada apa-apanya dibandingkan
kegemaran melahapi daging ayam. Itu sebabnya mengapa konsumsi ikan laut
di Yogyaakrta jauh di bawah kota-kota besar di Jawa, atau provinsi di
negeri ini. Memang, mereka bisa melahap ikan, tapi ini ikan darat dengan
asupan yang sebetulnya tak banyak pula.
Kegemaran
pada daging ayam, akan melahirkan kefanatikan bila si koki rumah makan
itu piawai. Belum lagi soal harga murah dan ada iming-iming minum
gratis. Sebuah gerai penyaji daging ayam di Bantulan , Godean Sleman,
langsung laris meski baru awal dibuka. Gratisan es teh manis, bagi orang
Yogyakarta,
menjadi semacam anugerah tersendiri. Ayam bakar (apa pun cara
mengolahnya, dan tak mau peduli apakah masih ada darah dalam olahannya
itu) disenyawakan minum es teh manis menjadi menu favorit banyak kawula
dan priyayi Mataram. Tak pandang belum paham ataukah sudah pola makan
tersebut tak sehat, mereka melahap modus konsumsi itu.
Sejujurnya saya agak kecewa dengan daftar kuliner ala Yogyakarta.
Menurut saya, makanan yang ditawarkan kandungan gizinya biasa-biasa
saja. Gudeg misalnya, bagi saya kalah moncer dengan lalapan ala Sunda.
Celakanya, lalapan yang menjadi menu wajib di Sunda, di Yogyakarta
sering diolok-olok sebagai makanan kambing. Istri saya yang sering
meminta daun katuk, pada awalnya diherani tetangga. Bukan apa-apa, di
dusun kami tinggal katuk tak lebih pajangan atau jumputan bagi ternak.
Bahwa mereka mengerti kandungan katuk untuk ASI para ibu, boleh jadi
kurang begitu diindahkan.
Kala teman kantor mengajak makan di sebuah warung pawonan terkemuka di dekat kampus ISI, di sana saya bisa temukan orisinalitas makanan Yogyakarta.
Manut lele, gori hingga olahan ayam, tersaji nikmat di mata. Namun
tidak demikian halnya pada saya. Nikmat di perut, tidak diragukan lagi.
Karena memang soal enaknya makanan menjadi kiblat kuliner warga Yogya.
Tapi apakah demikian berbanding lurus dengan gizi? Jangan tanya dulu.
Meski yang hadir kalangan berpendidikan, mereka langsung serbu olahan
ayam kampung, tanpa peduli soal cara masak, kombinasi dengan sayur, atau
kehalalan.
Makanan cemilan Yogyakarta,
saya rasakan lebih fungsional betul-betul sebagai teman berdikusi.
Bakpia, entahlah berapa kandungan gizinya, yang terang jangan harap
tersaji dengan memikirkan soal kesehatan. Pokoknya enak dan enak.
Karena
enak sebagai panglima itulah, tak peduli ”sate jamu” itu menjijikkan
(bayangkan, yang disantap adalah hewan yang selama ini penunggu di
halaman rumah) atau sekadar enak di perut (konon untuk penambah stamina;
masalahnya sejak kapan orang Yogya loyo dalam bekerja?), lebih-lebih
bagi yang Muslim, terkait hukum memakannya.
Bila
soal kesehatan diabaikan, atau kurang menjadi prioritas, apalagi soal
kehalalan. Karena soal ini menjadi manifestasi sebuah hukum yang
mengindahkan etika dan dimensi medis-mental, diniscayakan hadir pada
sebuah keyakinan yang komprehensif dan bersifat visioner. Syariat Islam
dalam konteks ini memberikan jaminan dan wana-wanti soal makanan.
Sayangnya, meski di Yogyakarta bertaburan banyak kelompok Islam yang memiliki ribuan aktivis, soal makanan halal tidak automatis menjadi perhatian.
Tidak
jarang, pemahaman Islam yang relatif baik namun masih abai dalam soal
makanan dan minuman. Anda yang paham dan mempraktikkan soal kepahaman,
ketika beranjangsana ke Yogyakarta,
saya sarankan tidak perlu berprasangka baik dulu pada teman atau
saudara yang aktivis Islam. Jangan ragu atau malu, tanyakan mengenai
kehalalan makanan yang ditawarkan pada Anda itu. Dalam banyak kasus,
toleransi ala Yogyakarta berlaku pula di kalangan aktivis Islam.
Saya
teringat cerita istri saya, yang dikeluhi teman sepengajiannya hanya
karena selalu menanyakan sumber makanan yang ditawarkan. Menurut teman
istri saya, selagi penjual makanan jelas-jelas Muslim—dan apalagi
taat—kita tidak perlu mempersoalkan.
Yang
berpemikiran seperti teman istri saya itu tidak satu-dua orang.
Ustadz-ustadzah pun bukan parameter halal dan haram. Tak jarang para
pembimbing rohani umat ini menyederhanakan persoalan kehalalan dengan
sekadar ucapan basmala saat menyembelih hewan. Tidak, ini salah kaprah
fatal! Mereka lupa bahwa makanan dan minuman halal di negeri
kita—menurut data Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sebagaimana dikutip media—tak lebih dari 20%! Sisanya masih tidak jelas
alias syubhat dan haram. Jika soal sembelih amatlah mudah. Katakan jika
tukang jagal lupa basmalah, ya kita tinggal ucapkan basmala. Namun yang
menjadi sorotan saya bukan ini, melainkan bagaimana sate yang disajikan
aktivis memakai kecap yang belum jelas kehalalannya; memakan roti bakar
buatan aktivis partai Islan tapi memakai kuas yang diduga dari bulu
babi; dan seterusnya.
Alhamdulillah,
saya bersyukur, di Yogyakarta akhir-akhir ini ada kesadaran yang mulai
berkembang soal pengadaan makanan halal dan thayyib. Saya lihat tiga
tahun trerakhir bermunculan warung-warung makan yang pengelolanya
berhati-hati dalam memilih dan menyajikam. Demikian pula pagi pemodal
besar, mereka bahkan membuat warung yang disertifikasi MUI. Saya salut
pada langkah dakwah Mas Jodi yang mengenalkan makanan bercitarasa modern
namun tradisional, dengan balutan halal. Memang, saya lihat yang
mengunjungi BeBaQaran beliau saya yakin pertama-tama bukan karena soal
halal, tapi soal enak dan harga terjangkau. Dasar Yogya!
Harus
disadari, tidak semua pembuka warung halal itu mendapat respons
positif. Gerai di Jogja Halal Food Center (JHFC) hingga sejam sebelum
tulisan ini diunggah, masih sepi dan kalah ramai dari Sambal Pedas yang
tak jelas sudah bersertifikat halal MUI atau belum. Beberapa gerai di
JHFC memilih tutup dan pindah lokasi ke tempat yang lebih ramai.
Sampai kapan kesadaran untuk membudayakan makanan halal dan thayyib itu menjadi gaya hidup warga Yogyakarta,
baik asli maupun pendatang? Ini merupakan soal yang tidak bisa dijawab
saat ini. Berharap para pemihakan pemerintah daerah, bisa dikatakan
seperti mimpi di siang bolong. Apa pasal? Karena pejabat di daerah
kebanyakan bercitarasa Yogya: makan asal enak, harga terjangkau, atau
kalau tidak menampilkan gaya hidup modern. Perkara halal dan thayyib adalah wacana dari luar angkasa!
Saya
salut dengan teman saya, Heri, lewat bendera Hias-nya. Dia acap
menjadi event organizer seminar-seminar kehalalan makanan bersama
pakarnya, Dr Nanung Danardono. Meski dalam skala tidak sebesar tabligh
akbar dai ibukota, acara yang diadakan Heri dan Hias sedikit banyak
membuka wawasan dan keagamaan para aktivis Islam. Bicara halal dan haram
makanan tidak lagi asal bertenggang rasa dan berpasangka. Ini bukan
seperti ceramah seorang ustdaz di Yogya yang cenderung permisif dalam
soal makanan.
Gerakan
seperti ini memang belum ekstensif. Mengawali di kalangan berpendidikan
dan telah mengenal agama, menurut saya masih bisa dimaklumi. Dengan
andil yang kecil, saya pun ingin terlibat. Memberikan contoh kepada tamu
dan teman ketika berkunjung ke rumah. Atau ketika saya berdiskusi
dengan mereka. Gerakan kultural dan komunal ini insya Allah bisa menjadi
wacana tanding dari moda konsumsi di Yogyakarta yang menyebalkan dan menjijikkan.
Jadi
dari pada muak menyaksamai mereka yang tetap asyik menikmati sate jamu
lalu minum lapen, hingga maut menjemput, lebih baik kita tetap getol
memberikan masukan dan menawarkan gaya
hidup halal-thayyib kita kepada teman. Jangan malu, karena orang Yogya
dalam soal ini terbilang awam. Jagan takut, karena orang Yogya tidak
akan mengusiri Anda hanya lantaran soal ini.[sumber: http://www.yusufmaulana.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar