Bhisma Adinaya
Ilustrasi Sopi
Minuman alkohol dari proses penyulingan nira aren dan kelapa mendominasi minuman keras lokal Indonesia. Selain itu, ada juga yang berasal dari fermentasi dari buah-buahan dan beras. Kadang disebut juga tuak atau arak.
Di Manado, kita kenal minuman Cap Tikus yang berasal dari penyulingan nira aren, atau di daerah setempat disebut sagoer. Di Maluku, Papua, dan Flores, minuman suling nira aren ini disebut sopi.
Sopi sendiri berasal dari bahasa Belanda, yaitu zoopje, yang berarti alkohol cair. Almascatie, blogger, penulis, sekaligus pemerhati budaya Maluku menyebutkan, warna sopi ada yang bening, ada juga yang bening kekuningan. Konon, degradasi warna ini menentukan kadar alkoholnya. Semakin tinggi kadar alkoholnya, semakin bening sopi tersebut. Kadar alkohol dalam sopi mulai dari 30% ke atas.
Sopi ini merupakan minuman keras yang dilarang, termasuk di Maluku. Almascatie mengisahkan, alasan utama kenapa minuman sopi ini dilarang adalah karena efek sampingnya. “Pada saat mabuk, mereka berkelahi, bikin ribut. Makanya dilarang,” tuturnya.
Sejatinya minuman sopi ini sudah mendarah daging bagi orang Maluku, termasuk dari suku Ambon. Sopi dianggap sebagai minuman adat. Pada upacara adat Pukul Sapu, Kampung Soya di Pulau Ambon yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, sopi itu disajikan sebagai “anggur persaudaraan” untuk menjamu gandong (saudara) mereka dari Kampung Salemang di Pulau Seram yang mayoritas muslim datang.
Begitu juga pada saat upacara Panas Pela, ritual kerukunan antar negeri di Maluku yang berbeda agama, sopi selalu disajikan di sana, sebagai simbol persaudaraan dan kerukunan.
Di Ambon, Almascatie mengisahkan, ada komunitas yang berusaha untuk melegalkan minuman sopi, supaya bisa dijual dan bisa dikontrol. “Sekarang ‘kan dijual secara sembunyi-sembunyi, siapapun bisa beli. Kalau dilegalkan, bisa diberi peraturan yang membatasi dan mengontrol pembeli. Sekarang anak SMP aja bisa beli,” kata Almascatie.
Di daerah Tual ada beberapa kampung yang penghasilan utamanya adalah pembuat sopi. Ketika dilarang, masyarakat di kampung ini kesulitan mencari penghasilan lain. “Bahkan sampai ada lagu yang dibuat kawan di sana, yang mengisahkan bagaimana mereka bisa sekolah sampai sarjana karena sopi, bukan karena hasil laut atau ladang,” kata Almascatie dengan logat Ambonnya.
“Di Ambon, sopi mempunyai nilai adat yang lebih tinggi ketimbang hanya dianggap sebagai minuman memabukkan,” kata Almascatie. Kerukunan antar suku dan pemeluk agama memang bukan hal yang mudah, apalagi di Ambon, saat-saat ini. (Sumber: http://intisari-online.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar