Dan minuman keras adalah salah satu persoalan yang kami hadapi saat itu. Sebagai anak-anak tidak banyak yang bisa kami lakukan. Mekanisme menolak kami masih dalam level yang sangat rendah. Begitu pula yang terjadi pada Teman-teman seusia saya saat itu pun tak punya daya tolak terhadap tawaran miras. Alasannya demi dianggap sudah gede, biar keren kayak artis hollywood mereka pun bertualang dengan minuman keras di usia yang sangat dini. Seingat saya, teman-teman mulai mengkonsumsi dari kelas anggur cap orang tua. Saya sendiri tak tahu pasti darimana teman-teman mendapat minuman yang mestinya untuk orang dewasa itu.
Saya akhirnya memilih menyingkir, tidak mau mencoba-coba, apalagi menyentuhnya. Bagi saya batasan yang dibuat agama saya dan diajarkan kedua ortu dan guru ngaji sudah begitu tegas dan tak bisa dilanggar. Saya akui pemahaman saya mengenai bahaya miras memang masih abstrak. Yang saya tahu miras itu dilarang agama, titik.
Memilih berkata “tidak” pada komunitas teman dekat tentu beresiko. Saya pelan-pelan menepi, keluar dari pergaulan teman-teman kecil saya. Berbagai ejekan bernada melecehkan kerap dilekatkan pada diri saya. Saya dibilang banci lah, gak macho lah. Pokoknya banyak atribut disematkan pada diri saya karena enggan bermiras ria.
Beruntung saya punya komunitas teman bermain lain yang tak kalah asyiknya saat itu yakni teman sekolah. Dengan teman-teman sekolah, saya kemudian menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan, mulai dari kepramukaan, Osis maupun baris-berbaris. Hasilnya, saya beberapa kali ikut berkontribusi mengharumkan nama sekolah dalam berbagai event kejuaraan antar sekolah di Jakarta.
Saat itu saya punya tekad kuat bakal membuktikan pada kawan-kawan tak perlu ikut-ikutan menenggak miras atau minol (minuman beralkohol) untuk bisa diakui dalam peer group kita. Saya memilih jalur prestasi untuk mendapat pengakuan itu.
Pilihan saya itu ternyata tak salah, karena teman-teman masa kecil saya kemudian satu persatu kacau kehidupannya. Pengaruh alkohol membuat minat belajar tak ada, mereka kemudian putus sekolah di usia muda. Jalan hidup mereka kemudian seperti bisa ditebak, banyak yang jadi pengangguran, lontang-lantung tak ada aktivitas berarti.
Kriminalitas akhirnya jadi sahabat mereka sehari-hari. Jika tak punya uang untuk ‘minum’ jalan pintasnya adalah mencuri. Kriminalitas jadi lekat pada mereka yang kerap mengkonsumsi miras.
Belakangan saya kurang tahu pasti bagaimana masa tua kawan-kawan saya tadi, sebab kami sekeluarga kemudian pindah rumah dari kampung tersebut. Bapak saya menilai lingkungan kampung itu sudah tidak sehat lagi untuk tumbuh kembang kami sekeluarga. Alhamdulillah keputusan itu saya nilai tepat di kemudian hari.
Kisah lain lagi juga pernah saya alami saat kuliah di kota Bandung. Saya sempat kost dalam satu rumah dengan seorang kawan yang sebelumnya sempat lama tinggal di Papua. Dia mengaku akrab dengan miras sejak tinggal di Papua. Bahkan menurut pengakuannya dia mengakrabi miras sejak Smp. Karena lingkungan bergaulnya peminum, iapun terbentuk menjadi seorang peminum pula. Meski seorang muslim, ia tak bisa lepas dari miras karena sudah menjadi bĂ gian dari gaya hidupnya.
Di Bandung ia memperlihatkan betapa alkohol telah menjadi berhala. Ia tak bisa konsentrasi belajar jika tak menenggak miras. Begitu pula saat ujian. Ia kerap membawa sebotol miras dalam tas dan menenggaknya di kantin sebelum ujian dimulai. Menurutnya, itu bisa menambah kepercayaan diri. Sebuah alasan yang menurut saya aneh! Logika berfikir yang sesat.
Karena sudah berteman dengan alkohol, teman saya pernah suatu kali ‘terpaksa’ mengutil sebotol miras dari sebuah swalayan. Ini ia lakukan lantaran tak punya uang, sementara keinginan ‘minumnya’ sudah diubun-ubun.
Apa yang saya utarakan diatas menunjukkan bahwa minuman keras jika dikonsumsi berkala akan membangun kesadaran di benak penggunanya secara terus menerus sehingga dapat menyebabkan kecanduan. Ia tak akan bisa melepaskan diri dari jerat miras karena alkohol mempengaruhi sirkulasi berfikir otak manusia.
Kalau mekanisme menolak cukup kuat seperti yang pernah saya lakukan, mungkin tidak akan banyak orang yang mabuk di luar sana. Tapi coba hitung berapa banyak abege yang mampu dan mau menolak dipinggirkan dari peer groupnya? Perasaan tersingkir dari kelompok adalah masalah besar bagi remaja. Dalam kasus yang saya alami, beruntung saya bisa mencari pelampiasan dan teman baru di sekolah untuk mengobati rasa tersisih dari pergaulan di lingkungan rumah. Tapi berapa banyak yang bisa seperti itu?
Karenanya, saya amat tidak setuju jika minuman keras dibiarkan secara terbuka peredarannya seperti yang kita lihat sekarang di ibukota. Begitu mudahnya anak-anak tanggung membeli miras tanpa ada ketentuan apapun soal batasan usia. Bagi produsen atau pihak toko yang hanya peduli soal keuntungan bisnis, mereka pasti acuh soal ini. Mungkin mereka berpendapat yang penting mereka bisa bayar, selesai!
Padahal masalahnya tidak sesederhana itu. Sikap ini jelas menunjukkan ada yang salah dari mindset masyarakat kita. Sama dengan persoalan yang kerap kita lihat di bioskop. Meski memutar film untuk dewasa namun pihak bioskop tak menyeleksi dengan ketat anak di bawah umur yang menonton film dewasa.
Contoh yang saya paparkan di atas juga sekaligus membuktikan masih rendahnya kesadaran masyarakat kita terhadap bahaya konsumsi miras. Masyarakat belum mempunyai action plan yang jelas terkait persoalan miras. Beda misalnya dengan persoalan narkoba yang jadi musuh bersama sehingga pemerintah pun perlu membuat badan tersendiri anti narkotiba (BNN).
Itu mengapa tak banyak warga masyarakat yang peduli dengan menjamurnya tempat-tempat nongkrong anak muda yang menjajakan miras secara bebas. Padahal justru dari tempat tersebut biasanya anak muda berkenalan dengan miras.
Oya, ada yang menuding gerakan anti miras sebagai persoalan yang khas bagi warga muslim saja. Padahal tidak sepenuhnya benar. Memang dalam Islam miras atau minuman beralkohol dikategorikan sebagai minuman yang dilarang (haram). Namun pengharaman jenis minuman ini karena ada dasarnya yang cukup kuat, yakni miras bisa memabukkan.
Dan persoalan mabuk tidak hanya dilihat dari kacamata satu agama Islam saja, namun semua agama dan keyakinan pastinya kontra dengan efek yang ditimbulkan miras. Efek merugikan orang lain, bahkan bisa menyebabkan kematian diri sendiri dan orang lain.
Ada beberapa fakta terkait miras yang mesti jadi perhatian kita bersama:
1. Miras menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus kecelakaan di jalan raya? Biasanya kecelakaan terjadi akibat pengemudi mabuk usai minum minuman keras? Ingat kasus Afriani Susanti, yang menabrak 12 pejalan kaki dengan 9 diantaranya tewas di kawasan Gambir Jakarta Pusat. Kasus ini diduga terjadi setelah Afriani tak bisa mengendalikan mobilnya akibat pengaruh alkohol.
Kasus lain menimpa Novi Amelia, yang menabrak 7 orang sekaligus di kawasan Jakarta kota. Ini juga akibat menyetir dalam kondisi mabuk. Bahkan Novi saat menabrak para korbannya hanya mengenakan pakaian dalam saja tanpa risih sedikitpun. Pengaruh alkohol ternyata begitu menguasai Novi sehingga menghilangkan batas kesadaran terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Selain mabuk, miras menurut berbagai sumber juga menjadi penyebab munculnya penyakit di dalam tubuh manusia. Konsumsi alkohol yang banyak dapat menyebabkan korban mengalami sakit kepala, mual, muntah serta nyeri pada bagian tubuh tertentu.
4. Minuman beralkohol juga dapat menyebabkan berat badan penggunanya naik, karena pada umumnya minuman beralkohol memiliki kadar kalori dan gula yang tinggi. Mitos bahwa menggunakan miras bisa membuat badan langsing dengan sendirinya gugur. Tak benar tuh diet dengan miras!
5. Alkohol juga merupakan pemicu tekanan darah. Zat-zat yang terkandung di dalam alkohol jika dikonsumsi berlebihan bisa memicu naiknya tekanan darah penggunanya.
6. Minum miras juga dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh menurun. Artinya, dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, maka tubuh anda akan mudah terserang penyakit.
7. Semakin sering dan banyak jumlah alkohol yang dikonsumsi, maka semakin besar pula resiko terjangkit kanker, penyakit jantung, gangguan pernafasan dan gangguan pada organ hati.
Masyarakat Abai
Selain bahaya bagi kesehatan, hal yang perlu diperketat adalah peredarannya. Peredaran miras (khususnya di kota besar) sudah sangat mengkhawatirkan. Jika tak ditata dan diperketat, pengguna miras akan makin muda usianya. Sekarang saja anak-anak muda makin mudah memeperoleh miras di tempat-tempat nongkrong ibukota yang letaknya dekat dengan perumahan. Tempat yang semula dijadikan meeting point anak muda itu kini identik dengan kemudahan akses terhadap miras.
Rak-rak di toko tersebut bahkan tak memberi batasan khusus antara minuman ringan dengan minuman keras. Semua terpajang (terdisplay) sejajar, nyaris tak ada beda. Bahkan beberapa merk miras saya perhatikan memiliki desain botol yang menarik dan membuat konsumen dibawah umur mudah menjangkaunya.
Sekedar usulan bagi pebisnis ritel, pisahkan konter minuman ringan dan minuman keras. Lebih baik konter miras berada di area kasir, sehingga jika ada anak dibawah umur yang membelinya bisa dicegah atau ditolak.
Pihak toko juga mesti membekali pengetahuan petugas penjaga toko terhadap bahaya miras, khususnya bahaya bagi anak di bawah umur. Ini perlu dilakukan agar mereka berani berargumen dengan pembeli anak-anak yang memaksa membeli miras. Ketegasan sikap ini menurut saya jauh lebih penting dari sekedar keuntungan bisnis.
Sebagai pebisnis memang hak mereka mengeruk keuntungan dari konsumen. Tapi apakah mereka tega jika salah satu konsumen miras itu adalah anak mereka sendiri?
Karena itu menolak miras diperdagangkan secara bebas bagi anak dibawah umur itu adalah sikap. Dan sikap ini akan menunjukkan sejauh mana kita peduli pada nasib bangsa ini. Tentunya kita tak ingin kehilangan satu generasi anak bangsa hanya lantaran mereka dijajah miras.
Butuh Ketegasan Pemerintah
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah selaku pemangku kebijakan dalam hal ini? Berikut yang menurut saya penting dilakukan pemerintah:
1. Batasi peredaran miras.
Membatasi peredaran miras dengan hanya membolehkan penjualannya di kawasan tertentu saja, misalnya hanya bisa dijumpai di tempat hiburan malam, cafe, atau sejenisnya. Kalaupun peritel harus menjual miras, mesti ada syarat ketat, misalnya hanya boleh peritel kelas tertentu yang letaknya tudak berdekatan dengan pemukiman ataupun tempat nongkrong anak muda. Kalaupun di tempat retail umum, miras diletakkan di sebuah lemari kaca khusus yang hanya bisa diakses oleh pembeli dewasa saja. Meletakkan miras di rak sembarang akan mempermudah kalangan yang tak seharusnya menjangkaunya.
2. Perketat Syarat Pemilikan Miras
Selain membatasi peredaran, pembelian miras pun mesti dibatasi dengan syarat umur. Misalnya hanya mereka yang berusia dewasa, diatas 18 tahun keatas. Jika penjual meragukan usia pembeli, wajib bagi mereka meminta pembeli menunjukkan tanda pengenal resmi untuk melihat usia pembeli. Penjual tak perlu takut kehilangan rejeki. Toh pembeli anak/remaja sesungguhnya bukanlah kalangan yang potensial sebagai konsumen.
3. Naikkan Pajak Impor Miras
Untuk membatasi peredaran miras juga bisa dilakukan dengan menaikkan pajak impor miras sehingga nantinya berakibat tingginya harga sebotol miras. Tingginya harga miras bisa mencegah atau menyeleksi secara ketat penggunanya. Sehingga orang akan berfikir sekian kali untuk menenggak miras karena harganya yang sangat mahal.
4. Bentuk Lembaga Anti Miras
Sebuah lembaga independen yang mengawasi peredaran serta penyalahgunaan miras mendesak dibentuk mengingat peredaran miras makin merajalela. Efeknya pun sudah menyentuh ke banyak kalangan, bahkan mereka yang berusia muda. Lembaga semacam BNN di bidang pengawasan narkoba itu, nantinya diharapkan bisa efektif mengkampanyekan kehidupan yang bersih anti miras. Yang lebih penting sebenarnya adalah bagaimana lembaga semacam ini nantinya efektif dan dihormati pihak-pihak terkait.
Lembaga ini nantinya juga harus secara rutin masuk ke kantong-kantong anak muda mengadvokasi bahaya konsumsi miras bagi kesehatan. Tentunya hal ini dilakukan dengan cara-cara anak muda yang menarik kegiatannya dalam balutan dinamika khas anak muda.
Advokasi juga tidak melulu ditujukan bagi anak muda, namun juga masyarakat secara luas untuk menyatukan pandangan bahwa miras itu berbahaya, bahwa peredaran miras itu perlu diatur, diperketat dan dijauhkan dari usia yang belum sepatutnya.
5. Publikasi Anti Miras
Ini juga yang selama ini masih kurang. Publikasi anti miras perlu lebih digalakkan, agar gerakan ini makin masif, makin menular ke semua kalangan. Gunakan semua media yang ada, entah itu media mainstream maupun media sosial. Kampanye komunikasi yang cerdas melalui media lintas platform bukan saja lebih mudah dan murah, namun hasilnya pun bisa dituai lebih cepat.
Konsep kampanye anti mirasnya bukan sekedar menggurui, melarang atau menolak. Namun berikan contoh-contoh nyata betapa ruginya menggunakan miras, bahayanya mengkonsumsi miras bagi kesehatan maupun bagi orang lain di sekitar kita. Tujuannya bukan menakut-nakuti namun lebih kepada penyadaran.
6. Ajak tokoh Publik
Melibatkan tokoh publik dalam gerakan ini juga dimungkinkan. Sebagai kalangan yang dikenal publik secara luas, diharapkan tujuan sosialisasi gerakan ini akan makin mudah sampai ke publik. Tentunya tokoh publik yang diajak dalam kampanye ini adalah mereka yang dikenal tak menggunakan miras dan concern pada pengembangan kemanusiaan.
Tidak mudah memang menjalankan sebuah amanah sosial semacam gerakan anti miras. Namun tak ada perjuangan yang tak membutuhkan keringat, dan tak ada keberhasilan tanpa sebuah perjuangan. Saya yakin dengan bahu-membahu, kita bisa menjadikan anti miras bukan lagi sebagai wacana namun gerakan nyata yang memiliki action plan yang jelas.
Bermimpi untuk Indonesia yang lebih baik bisa melalui pembenahan generasi anti miras. Mari kita teguhkan sikap anti miras dengan gerakan nyata yang damai. Dan ingat, jangan pernah lakukan gerakan sosial semacam ini dengan anarkis. Rangkul sebanyak mungkin kalangan demi terciptanya sebuah masyarakat anti miras.
Sudahkah anda #AntiMiras 
(http://syaifuddin.com/tag/anti-miras/)