Oleh: AKBP Kristian P. Siagian,S.I.K., M.Si.
ALAM dua tahun belakangan ini, Badan Narkotika Nasional gencar menyuarakan paradigama rehabilitasi bagi pecandu narkoba sebagai ujung tombak upaya penanganan narkoba di negeri kita. Dalam berbagai kesempatan, BNN menyatakan bahwa paradigma ini dibangun atas dasar pemikiran adanya 2,2% penduduk Indonesia yang menjadi penyalahguna narkoba yang segera direhabilitasi untuk menutup pasar yang terbuka.
Latar belakang lainnya dimulai dari kenyataan bahwa angka penyalahguna narkoba terus bertumbuh. Meski upaya pemberantasan terus dilakukan, situasi lapas yang tidak steril dan minus rehabilitasi pecandu hingga konsepsi pemidanaan yang tidak memberikan efek jera bagi pecandu narkoba.
Paradigma rehabilitasi ini kemudian disosialisasikan secara luas di masyarakat dengan basis amanat Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 25 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor yang pada dasarnya ditujukan bagi para pecandu yang tidak (belum) tersandung dengan masalah hukum. Sedangkan bagi mereka yang tersandung dengan permasalahan hukum, pada tahun 2014 dikeluarkan peraturan bersama 7 kelembagaan untuk mengatur rehabilitasi bagi para penyalahguna yang tersandung dengan permasalahan hukum (ditangkap).
Tulisan ini tidak akan menyoroti argumentasi antara perlu tidak nya penerapan rehabilitasi bagi pencandu narkoba. Namun, tulisan ini akan mencoba melihat sejauh mana kesungguhan pemerintah (BNN) dalam menerapkan paradigma rehabilitasi ini terkait langkah-langkah yang diambil.
Dua pendekatan
Ada dua pendekatan dalam memandang hal ini. Pertama, pascadikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 25/ 2011 tentang Pelaksa naan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Dan kedua, pascaditandatanganinya Peraturan Bersama 7 (tujuh) kementerian/lembaga tentang penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi.
Dalam pendekatan pertama, PP ini ditindaklanjuti dengan keluarnya penunjukan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. Terkait dengan penerapan PP ini, ada beberapa permasalahan yang patut dicermati. Ketentuan dalam PP ini, pada dasarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Selain mengatur mekanisme pecandu untuk mendapatkan perawatan, PP ini juga memberikan penekanan mengenai dapatnya seorang pecandu narkoba direhabilitasi manakala sedang tersangkut masalah hukum dengan kewenangan penunjukan yang ada pada institusi di masing-masing tahap pemeriksaan.
Namun hasil penerimaan sosialisasi di masyarakat, menjadikan PP ini seolah sebuah privillage yang dimiliki oleh pecandu narkoba, khususnya bagi mereka yang telah mengikuti program wajib lapor namun masih tetap mengonsumsi narkoba secara illegal.
Pada titik ini, institusi Polri yang menjadi baris terdepan penegakan hukum dan mayoritas berhubungan langsung dengan masyarakat (pecandu atau keluarga pecandu) menjadi sasaran tembak, seolah Polri anti terhadap paradigma rehabilitasi. Lebih lanjut, kesiapan institusi yang ditunjuk menjadi IPWL juga menjadi satu masalah tersendiri. Bahkan hingga saat ini, masih banyak IPWL yang belum mampu melakukan layanan wajib lapor sebagaimana ditentukan. Pada perkembangan selanjutnya, PP ini seperti mati suri dan kehilangan gaungnya baik di lintas sektoral maupun di masyarakat.
Sudut pandang berikutnya melihat pada Peraturan Bersama 7 (tujuh) K/L mengenai penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang ditandatangani pada tanggal 16 Maret 2014 oleh Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kemenkes, Kemensos, Kejaksaan Agung, Polri dan BNN. Sebagai upaya untuk terus mengedepankan upaya rehabilitasi bagi pecandu narkoba, peraturan bersama ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Asesmen Terpadu.
Dari pantauan sederhana terhadap pelaksanaan peraturan bersama ini, sebagian besar otoritas K/L terkait di tingkat kewilayahan bahkan ada yang belum memahami maksud dari peraturan ini. Kenyataan masih relatif rendahnya permintaan asesmen tersebut, setidaknya menimbulkan pertanyaan atas preparasi yang semestinya dilakukan oleh masing-masing K/L. Hal ini menyangkut pada kesiapan peraturan pelaksanaan baik internal dan eksternal K/L dalam menginterpretasikan peraturan bersama tersebut maupun produk perundangan yang menjadi rujukannnya.
Dari kedua sudut pandang tersebut, adalah menjadi pertanyaan yang sangat wajar mengenai keseriusan pemerintah, dalam hal ini pihak-pihak yang menginisiasi dan mendorong paradigma rehabilitasi bagi pengguna/pecandu narkoba. Apakah paradigma rehabilitasi ini memang merupakan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh akan dijalankan atau sekadar melemparkan wacana. Banyak pihak termasuk masyarakat luas yang berharap ketentuan mengenai rehabilitasi ini dapat segera berjalan dengan dampak negatif yang seminim mungkin.
Penulis sendiri merupakan individu yang mendukung terlaksananya rehabilitasi bagi pengguna narkoba dengan mekanisme yang jelas dan tidak melanggar ketentuan perundangan. Bila perundangan yang ada sekarang masih menyisakan pertentangan antara pihak yang pro dan kontra rehabilitasi, penulis menyarankan dua langkah yang dapat diambil. Pertama, lakukan revisi terhadap ketentuan Undang-Undang 35/ 2009 melalui mekanisme legislatif di DPR. Kedua, ajukan perubahan ke Mahkamah Konstitusi atas pasal-pasal yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan menghambat upaya penanganan narkoba di negeri kita.
Sejarah akan mencatat mereka yang melahirkan ide, namun sejarah akan mengingat secara jelas mereka yang mewujudkan ide tersebut, dicatat atau tidak dicatat.
(Penulis, Perwira Siswa Sespimen Dikreg 54 Tahun 2014 Sespim Polri Lembang)**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar