10 Oktober 2014

Rehabilitasi Setengah Hati


Oleh: AKBP Kristian P. Siagian,S.I.K., M.Si.

ALAM dua tahun belakangan ini, Badan Narkotika Nasional gencar menyuarakan paradigama rehabilitasi bagi pecandu narkoba sebagai ujung tombak upaya pe­na­nganan narkoba di negeri kita. Da­lam berbagai kesempatan, BNN menyatakan bahwa paradigma ini dibangun atas dasar pemi­kiran adanya 2,2% penduduk Indonesia yang menjadi penya­lah­guna nar­koba yang segera direhabilitasi untuk menutup pasar yang terbuka.
Latar belakang lainnya dimulai dari kenyataan bahwa angka pe­nya­lahguna narkoba terus ber­tum­buh. Meski upaya pemberantasan terus dilakukan, situasi lapas yang tidak steril dan minus rehabilitasi pecandu hingga kon­sepsi pemida­naan yang tidak memberikan efek jera bagi pe­candu narkoba.
Paradigma rehabilitasi ini ke­mu­dian disosialisasikan secara luas di masyarakat dengan basis amanat Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Hal ini kemudian ditindaklanjuti de­ngan PP No. 25 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor yang pada dasarnya ditujukan bagi para pe­candu yang tidak (belum) tersandung dengan masalah hu­kum. Sedangkan bagi mereka yang tersandung dengan perma­sa­lahan hukum, pada tahun 2014 dikeluarkan peraturan bersa­ma 7 ke­lem­bagaan untuk meng­atur rehabilitasi bagi para penya­lah­gu­na yang tersandung dengan perma­­salahan hukum (ditangkap).
Tulisan ini tidak akan menyo­roti argumentasi antara perlu ti­dak nya penerapan rehabilitasi bagi pencandu narkoba. Namun, tulisan ini akan mencoba melihat sejauh ma­na kesungguhan peme­rintah (BNN) dalam menerapkan paradigma rehabilitasi ini terkait lang­kah-langkah yang diambil.
Dua pendekatan
Ada dua pende­kat­an dalam memandang hal ini. Pertama, pascadikeluar­kannya Peraturan Pemerintah RI No­mor 25/ 2011 tentang Pelaksa naan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Dan kedua, pascaditandatanganinya Per­aturan Bersama 7 (tujuh) kemen­terian/lembaga tentang pena­ngan­­an pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi.
Dalam pendekatan pertama, PP ini ditindaklanjuti dengan keluar­nya penunjukan Institusi Pene­rima Wajib Lapor (IPWL) oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. Terkait dengan penerapan PP ini, ada beberapa permasalahan yang patut dicermati. Ketentuan dalam PP ini, pada dasarnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Selain me­ngatur mekanisme pecandu untuk mendapatkan perawatan, PP ini juga memberikan penekan­an me­ngenai dapatnya seorang pe­candu narkoba direhabilitasi ma­nakala sedang tersang­kut ma­sa­lah hukum dengan kewenang­an penunjukan yang ada pada institusi di masing-masing tahap pemeriksaan.
Namun hasil penerimaan sosi­alisasi di masyarakat, menjadi­kan PP ini seolah sebuah privillage yang dimiliki oleh pecandu narkoba, khususnya bagi mereka yang telah mengikuti program wajib lapor namun masih tetap mengonsumsi narkoba secara ­illegal.
Pada titik ini, institusi Polri yang menjadi baris terdepan penegak­an hukum dan mayoritas ber­hu­bung­an langsung dengan masyara­kat (pecandu atau keluarga pecandu) menjadi sasaran tembak, seolah Polri anti ter­ha­dap paradigma rehabilitasi. Lebih lanjut, kesi­apan ins­titusi yang ditunjuk menjadi IPWL juga menjadi satu masa­lah tersendiri. Bah­kan hingga saat ini, ma­sih banyak IPWL yang belum mampu melakukan layan­an wajib lapor sebagai­mana di­ten­tu­kan. Pada perkembang­an selanjutnya, PP ini seperti mati suri dan kehilangan ga­ungnya baik di lintas sektoral maupun di masyarakat.
Sudut pandang berikutnya melihat pada Peraturan Bersama 7 (tujuh) K/L mengenai penang­anan pecandu narkotika dan korban pe­nyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang ditandatangani pada tanggal 16 Maret 2014 oleh Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kemen­kes, Kemensos, Kejaksaan Agung, Polri dan BNN. Sebagai upaya untuk terus mengedepankan ­upaya rehabilitasi bagi pecandu narkoba, per­aturan bersama ini kemudian di­tindaklanjuti dengan pembentuk­an Tim Asesmen Terpadu.
Dari pantauan sederhana terhadap pelaksanaan peraturan ber­sama ini, sebagian besar otoritas K/L terkait di tingkat kewilayahan bahkan ada yang belum me­ma­hami maksud dari peraturan ini. Kenyataan masih relatif rendahnya permintaan ­asesmen ter­sebut, setidaknya me­nimbul­kan perta­nyaan atas preparasi yang semes­tinya dilakukan oleh masing-masing K/L. Hal ini me­nyang­kut pada kesiapan peratur­an pe­laksa­naan baik internal dan eks­ternal K/L dalam menginterpretasikan per­aturan bersama tersebut maupun produk perundangan yang menjadi rujukannnya.
Dari kedua sudut pandang ter­sebut, adalah menjadi perta­nya­an yang sangat wajar mengenai keseriusan pemerintah, dalam hal ini pihak-pihak yang meng­inisiasi dan mendorong paradigma rehabilitasi bagi pengguna/pecandu narkoba. Apakah paradigma rehabilitasi ini memang merupakan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh akan dijalankan atau se­kadar melemparkan wacana. Ba­nyak pihak termasuk masyarakat luas yang berharap ketentuan mengenai rehabilitasi ini dapat segera berjalan dengan dampak negatif yang seminim mungkin.
Penulis sendiri merupakan individu yang mendukung terlaksananya rehabilitasi bagi pengguna narkoba dengan mekanisme yang jelas dan tidak melanggar ketentuan perundangan. Bila perundangan yang ada sekarang masih menyisakan pertentangan antara pihak yang pro dan kontra rehabilitasi, penulis menyaran­kan dua langkah yang dapat diambil. Pertama, lakukan revisi terhadap ketentuan Undang-Undang 35/ 2009 melalui mekanis­me legislatif di DPR. Kedua, ajukan perubahan ke Mahkamah Konstitusi atas pa­sal-pasal yang dianggap tidak se­suai dengan per­kem­bang­an zaman dan meng­hambat ­upaya pe­nanganan narkoba di negeri kita.
Sejarah akan mencatat mereka yang melahirkan ide, namun sejarah akan mengingat secara jelas mereka yang mewujudkan ide ter­sebut, dicatat atau tidak dicatat.
(Penulis, Perwira Siswa Sespimen Dikreg 54 Tahun 2014 Sespim Polri Lembang)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar