Berita ini menjadi salah satu dari sejumlah
rentetan kabar tewasnya para lelaki dalam beberapa hari terakhir ini
akibat menenggak miras oplosan. Di daerah Sumedang, Jawa Barat, tercatat
Tujuh Pria Tewas karena pesta miras oplosan, sedangkan pada 27 Agustus
lalu tiga pria tewas asal Garut, Jawa Barat lagi-lagi meregang nyawa dan
enam orang menyusul tewas di Bantul, Yogyakarta setelah pesta miras
oplosan pada 11 Desember lalu.
Akibat dari rentetan peristiwa tersebut,
pemerintah tidak tinggal diam. Pemerintah yang diwakilkan Satuan Polisi
Pamong Praja menyisir dan menciduk para pembuat miras oplosan. Beberapa
pabriknya sudah diamankan, tidak luput pula untuk merazia warung-warung
yang menjual miras yang berbahan dasar methanol tinggi ini. Miras
oplosan umumnya minuman beralkohol dengan kadungan ethanol atau methanol
yang dicampur spirtus. Spirtus, zat yang biasa dipakai dalam pembakaran
dalam industri, ketika dicampur dengan minuman methanol atau ethanol
yang berkadar alkohol yang tinggi 40%-60% sudah tentu membuat peminumnya
tewas dalam jangka waktu dua hari. Alkohol yang masuk ke tubuh,
mengalami dehidrogenase (ADH) berubah menjadi asam frostat
begitu diolah oleh hati. Hati akan bekerja keras mengolah zat ini, dan
asam frostat yang dihasilkan menyebabkan gangguan irama jantung, shocked hingga kehilangan kesadaran.
Dari penjabaran diatas, bisa kita lihat bahwa
meminum miras oplosan sama saja bunuh diri. Tetapi apakah mereka yang
meminumnya sadar betul resiko yang akan mereka hadapi ketika meneguk
minuman tersebut? Saya yakin sekali sesungguhnya, para peminum miras
oplosan ini sadar akan akibat yang ditimbulkan dari minuman ini. Tetapi
mereka tetap melakukan. Bagaimana peristiwa ini dimaknai dalam
prespektif feminisme?
Jika kita cermati seluruh korban tewas dari
tragedi miras oplosan ini adalah laki-laki. Laki-laki dituntut untuk
menjadi jantan dan perkasa. Patriarki menyematkan beban tanggung jawab
yang diluruhkan pada seluruh darah dan daging manusia biasa ini.
Ditambah, paradigma modern memperlombakan kejantanan pria. Lihat saja
iklan-iklan obat kuat yang bertebaran di pinggiran surat kabar ataupun
jalan raya. Berimpitan tempat dengan penjual batu nisan dan pasang
reklame. Laki-laki ini dipaksa untuk menjadi yang paling jantan nan
perkasa. Pemberani, memberangus emosi dan tak takut mati.
Laki-laki yang tewas karena miras ini adalah
korban dari praktek patriarki yang menuntut mereka untuk selalu perkasa
dan tak takut mati. Mereka sesungguhnya tau bahwa dampak miras oplosan
mampu memisahkan tubuh dengan ruh mereka tetapi tetap dilakukan atas
nama “tes kejantanan” barang siapa paling jantan, dia tidak mati bunuh
diri. Sama halnya dengan praktik merokok sebagai solidaritas peer group
laki-laki. Beberapa teman saya mengaku hanya merokok ketika sedang
berkumpul bersama teman-temannya. Rokok adlaah simbolisasi dari
maskulinitas dan kejantanan. Siapa yang enggan menolaknya dianggap
“tidak macho”.
Ketika kejantanan dan kelaki-lakian mereka
dipertanyakan, disini taruhan atas harga diri mereka juga di ujung
tanduk. Eksitensi pria diukur dari maskulinitasnya. Maka mereka berlomba
untuk menantang maut, membunuh emosi dan perasaan. Menjadi mesin yang
jauh dari sifat lemah lembut dan kasih sayang. Karena kedua sifat
tersebut tidak memiliki nilai maskulin. Benar jika lelaki berpikir
dengan rasio, tetapi rasio itu membawa mereka pada jurang perlombaan
maskulinitas yang tiada berujung bahkan setelah mereka menikah (maraknya
penjual obat kuat dan pengobatan alternatif penyakit lemah syahwat).
Feminism mengembalikan esensi manusia menjadi
manusia. Tidak peduli jenis kelaminperempuan, laki-laki, kelamin ganda,
transgender, transeksual, ataupun memilih tidak berkelamin/bergender.
Feminism menguliti dan melihat manusia menjadi seorang manusia dan
memperlakukannya sebagai manusia. Feminisme, melalui prespektif
pengetahuan pengalaman perempuan tumbuh bersama tubuhnya dengan
pendekatan ethics of care, mencoba melepaskan jubah tanggung
jawab dan keperkasaan pada diri laki-laki agar laki-laki bisa bangga
menjadi dirinya yang penuh cinta dan kasih saying tanpa merasa bersalah
atau malu.
Laki-laki diajarkan untuk berkasih dan tidak
tunduk pada pacuan hidup. Feminisme mengulurkan tangan pada laki-laki
untuk bersama-sama memproduksi cinta dan kasih pada sesama. Agar semua
manusia bisa dianggap dan diperlakukan sebagai manusia. Lelaki tidak
harus berlomba menjadi jantan, kami (perempuan) menerima lelaki yang
mampu bekerja sama dan membagi kasih, kami tidak melihat kejantananmu.
Perempuan melihat kasih dan sayangmu seutuhnya. Lomba Kejantanan yang
kalian lakukan hanya hal yang untuk saling dipamerkan pada sesama
laki-laki.
Dan yang tersisa dari tragedi miras ini
adalah para janda. Ditinggal suami yang tewas akibat menegak miras
oplosan. Mereka masih belum terbebas dari kemiskinan. Ditambah dengan
gelar janda yang kini mereka harus semat. Beban hidup luruh pada pundak
mereka. Ketika suami berlomba pesta kejantanan berujung maut, tinggalah
para janda dan anak-anak mereka yang meneruskan kemiskinan dan
kesengsaraan hidup mereka. (http://sosbud.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar