J. Sumardianta,
guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta
Sebanyak 36 orang mati konyol di Garut, Sumedang, dan Purwakarta, Jawa Barat akibat menenggak minuman keras (miras) oplosan. Bencana miras sebelumnya juga merajalela di Yogyakarta, Solo, Semarang, Medan, dan Manado.
Keterpurukan menuju alkoholisme murahan cenderung semakin menerpa kalangan masyarakat miskin di pedesaan ataupun perkotaan. Fenomena miras merupakan fatalisme (hampa norma) dan nihilisme (ketiadaan makna). Fatalisme pecandu miras sama absurdnya dengan perilaku lanun seorang lelaki yang membunuh pacarnya saat bercinta di Denpasar, Bali. Ada juga nihilisme seorang lelaki muda di Jakarta yang melacurkan pacarnya demi membayar cicilan sepeda motor.
Bencana miras murahan Indonesia hanya bisa ditandingi oleh bencana bangla di India. Bangla dijajakan di warung-warung di perkampungan kumuh serta dibuat dari limbah sayur dan buah-buahan yang dipulung dari tempat pembuangan sampah akhir, semacam TPA Bantar Gebang, Bekasi. Bangla difermentasi dalam tong dengan campuran segala macam bangkai hewan. Miras ini menjadi pelarian bagi kaum urban miskin buat membasuh penderitaan sosial-ekonomi mereka.
Masyarakat Eropa tidak mengenal istilah miras. Mereka menyebut minuman beralkohol dengan istilah spirit atau survival kit, semangat atau peranti untuk bertahan hidup. Ada beragam spirit yang mengandung alkohol dengan kadar 15-40 persen dijualbelikan di wine and spirit shop, dari yang paling mahal sampai termurah. Kadar alkoholnya bisa diurut dari yang tertinggi sampai terendah, yakni brendi, cognac, wiski, vodka, liquer, wine, sampanye, serta bir
Masyarakat kalangan bawah di kota ataupun desa di Indonesia menjadikan miras sebagai bagian dari strategi adaptasi untuk tetap bertahan hidup. Miras, seperti halnya judi dan prostitusi murahan, merupakan strategi orang susah agar bisa berdamai dengan penderitaan dan menerima kemiskinan. Miras-meminjam ungkapan antropolog James Scott-menjadi semacam weapon of the weak atau senjata terakhir bagi orang yang kalah.
Ini berbeda dengan orang Eropa, Amerika, Kanada, atau Australia yang mengkonsumsi berbagai jenis spirit dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan alam yang ganas pada musim dingin. Darah orang Rusia, yang dipaksa hidup pada suhu minus 50 derajat Celsius, bakal beku bila tidak mengkonsumsi vodka.
Kultur bangsa barat tidak bisa lepas dari alkohol. Di meja hidangan mereka bahkan selalu tersedia dua jenis anggur sebagai penjemput selera makan. Anggur merah buat pembuka santapan dengan menu daging ayam, kambing, dan sapi. Anggur putih untuk pendamping hidangan laut. Alkohol dalam kadar moderat menyehatkan jiwa dan raga.
Kepala Polda Jawa Barat merasa malu ditegur Kepala Polri karena di wilayahnya berjatuhan korban miras oplosan. Di Kabupaten Garut sampai ada deklarasi anti-miras. Secara substansial, miras merupakan strategi kaum miskin dalam bertahan hidup. Ia tidak bisa diperangi dengan gerakan deklarasi artifisial yang hanya menyelesaikan persoalan permukaan sesaat.
Wabah madat seolah selesai sudah dengan sendirinya setelah didramatisasi oleh aparat. Diakui ataupun tidak, gawat darurat miras juga tidak mempan diatasi lewat deklarasi atau atraksi pertunjukan menggilas ribuan botol sitaan dengan kendaraan berat di halaman Markas Polres. (www.tempo.co)
guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta
Sebanyak 36 orang mati konyol di Garut, Sumedang, dan Purwakarta, Jawa Barat akibat menenggak minuman keras (miras) oplosan. Bencana miras sebelumnya juga merajalela di Yogyakarta, Solo, Semarang, Medan, dan Manado.
Keterpurukan menuju alkoholisme murahan cenderung semakin menerpa kalangan masyarakat miskin di pedesaan ataupun perkotaan. Fenomena miras merupakan fatalisme (hampa norma) dan nihilisme (ketiadaan makna). Fatalisme pecandu miras sama absurdnya dengan perilaku lanun seorang lelaki yang membunuh pacarnya saat bercinta di Denpasar, Bali. Ada juga nihilisme seorang lelaki muda di Jakarta yang melacurkan pacarnya demi membayar cicilan sepeda motor.
Bencana miras murahan Indonesia hanya bisa ditandingi oleh bencana bangla di India. Bangla dijajakan di warung-warung di perkampungan kumuh serta dibuat dari limbah sayur dan buah-buahan yang dipulung dari tempat pembuangan sampah akhir, semacam TPA Bantar Gebang, Bekasi. Bangla difermentasi dalam tong dengan campuran segala macam bangkai hewan. Miras ini menjadi pelarian bagi kaum urban miskin buat membasuh penderitaan sosial-ekonomi mereka.
Masyarakat Eropa tidak mengenal istilah miras. Mereka menyebut minuman beralkohol dengan istilah spirit atau survival kit, semangat atau peranti untuk bertahan hidup. Ada beragam spirit yang mengandung alkohol dengan kadar 15-40 persen dijualbelikan di wine and spirit shop, dari yang paling mahal sampai termurah. Kadar alkoholnya bisa diurut dari yang tertinggi sampai terendah, yakni brendi, cognac, wiski, vodka, liquer, wine, sampanye, serta bir
Masyarakat kalangan bawah di kota ataupun desa di Indonesia menjadikan miras sebagai bagian dari strategi adaptasi untuk tetap bertahan hidup. Miras, seperti halnya judi dan prostitusi murahan, merupakan strategi orang susah agar bisa berdamai dengan penderitaan dan menerima kemiskinan. Miras-meminjam ungkapan antropolog James Scott-menjadi semacam weapon of the weak atau senjata terakhir bagi orang yang kalah.
Ini berbeda dengan orang Eropa, Amerika, Kanada, atau Australia yang mengkonsumsi berbagai jenis spirit dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan alam yang ganas pada musim dingin. Darah orang Rusia, yang dipaksa hidup pada suhu minus 50 derajat Celsius, bakal beku bila tidak mengkonsumsi vodka.
Kultur bangsa barat tidak bisa lepas dari alkohol. Di meja hidangan mereka bahkan selalu tersedia dua jenis anggur sebagai penjemput selera makan. Anggur merah buat pembuka santapan dengan menu daging ayam, kambing, dan sapi. Anggur putih untuk pendamping hidangan laut. Alkohol dalam kadar moderat menyehatkan jiwa dan raga.
Kepala Polda Jawa Barat merasa malu ditegur Kepala Polri karena di wilayahnya berjatuhan korban miras oplosan. Di Kabupaten Garut sampai ada deklarasi anti-miras. Secara substansial, miras merupakan strategi kaum miskin dalam bertahan hidup. Ia tidak bisa diperangi dengan gerakan deklarasi artifisial yang hanya menyelesaikan persoalan permukaan sesaat.
Wabah madat seolah selesai sudah dengan sendirinya setelah didramatisasi oleh aparat. Diakui ataupun tidak, gawat darurat miras juga tidak mempan diatasi lewat deklarasi atau atraksi pertunjukan menggilas ribuan botol sitaan dengan kendaraan berat di halaman Markas Polres. (www.tempo.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar