(LAPSE VS RELAPSE)
Walaupun mereka telah dikatakan recovery dari panti rehablitasi narkoba ,dorongan untuk menggunakan kembali masih merupakan pergumulan dalam alam pikiran pecandu. Ada situasi atau benda-benda tertentu yang dapat merangsang mereka untuk kembali menggunakan narkoba.Jika mereka tidak bisa melawannya kondisi relapse akan muncul.Apalagi di Indonesia angka relapse tinggi dimana 9 dari 10 manatan pecandu kemabali jadi pecandu.
Lapse’ vs ‘relapse’
Dalam dinamika kecanduan, harus dibedakan antara lapse dan relapse. Lapse (slip) adalah kembalinya pola tingkah laku pecandu yang sangat sulit terdeteksi. Diperlukan kepekaan melihat perubahan perilaku pecandu yang sedang dalam masa pemulihan. Pecandu sendiri biasanya mengalami pergumulan dalam mengantisipasi kembalinya perilaku adiksinya itu. Relapse adalah masa pengguna kembali memakai narkoba. Itu proses yang berkembang pada penggunaan kembali narkoba yang merupakan kejadian paling akhir dalam satu rangkaian panjang yang berupa respons kegagalan beradaptasi (maladaptive) terhadap stressor atau stimuli internal dan eksternal. Pada kondisi itu pecandu menjadi tidak mampu menghadapi kehidupan secara wajar. Relapse dapat timbul karena pecandu dipengaruhi kejadian masa lampau baik secara psikologis maupun fisik. Lapse dan relapse biasanya dipicu suatu dorongan yang demikian kuat (craving). Dalam bahasa pecandu keadaan itu disebut sebagai ‘sugesti’ sehingga pecandu sepertinya tidak kuasa menahan dorongan-dorongan tersebut.
Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya lapse dan relapse:
• Hal-hal yang mengingatkan pecandu pada narkoba yang biasa dipakainya (momen tertentu, situasi, suara, bau, pikiran tentang narkoba, atau mimpi tentang narkoba).
• Status emosi yang negatif atau mengalami stres.
• Status emosi yang riang gembira.
• Tidak adanya aktivitas.
• Perasaan rendah diri atau direndahkan.
• Bergaul karib dengan pecandu aktif.
• Pada saat craving terjadi, biasanya diperberat dengan aktifnya mekanisme pertahanan mental (denial, rasionalisasi, proyeksi) sehingga akhirnya pecandu memutuskan kembali berperilaku adiksi atau kembali menggunakan narkoba.
Tiga mekanisme pertahanan mental, yang biasa ada pada pikiran pecandu, sebagai berikut.
• Denial, atau penyangkalan. Dalam diri manusia sering timbul penyangkalan terhadap suatu keadaan atau fakta yang menimbulkan ketidaknyamanan dan pada pecandu denial timbul karena dia tidak mau melepaskan zat ‘kesayangannya’ atau menyangkal bahwa dia punya masalah mengatasi perilaku adiksinya.
• Rasionalisasi. Kalimat yang biasa keluar dari mulut pecandu ialah ” Nggak separah itu kok” atau “Saya akan segera berhenti, kan saya sudah ke dokter ahli itu”. Kalimat tersebut merupakan tanda dari aktifnya mekanisme rasionalisasi.
• Proyeksi, merupakan mekanisme yang paling sulit untuk dikenali, terutama bagi para pendamping atau konselor yang belum berpengalaman dalam mengenal perilaku adiksi. Biasanya kalimat yang muncul adalah “Ini gara-gara hal itu sih maka gue pake narkoba”; “Daripada gue dicurigain terus, sekalian aja gue pake”. Jadi proyeksi adalah suatu mekanisme yang biasa digunakan para pecandu untuk ‘menggeser’ persoalan atau kesalahan ke arah lain, orang lain.
Dapatkah lapse/relapse dideteksi? Mendeteksi kondisi itu merupakan hal yang sulit. Walaupun tanda-tanda perubahan dapat juga dideteksi.
Tindakan dalam menghadapi ‘lapse/relapse’
Jika memang terbukti bahwa pecandu belum kembali menggunakan narkoba (hanya dalam fase lapse), pecandu membutuhkan dampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku adiksinya dan sangat mungkin pendamping (konselor) akan berhadapan dengan ketiga mekanisme pertahanan mental (denial, rasionalisasi dan proyeksi) yang kembali aktif pada diri pecandu
Jika relapse telah terjadi, tindakan yang perlu bagi pecandu bergantung pada berat-ringannya relapse sehingga ada kemungkinan pecandu membutuhkan kembali penanganan dari awal, seperti detoksifikasi dan rehabilitasi nonmedis
Pencegahan ‘lapse-relaspe’
Dalam menolong pecandu yang sedang berada dalam proses pemulihan, program pencegahan relapse merupakan salah satu program yang penting, khususnya dalam proses bina lanjut (after care). Sebelum pecandu ikut serta dalam program bina lanjut, ada baiknya dilakukan dulu tes bakat dan minat sehingga aktivitas pecandu. Salah satu tes yang dapat digunakan ialah yang disebut sebagai tes kecerdasan majemuk (Dr Howard Gardner). Menurut Gardner, kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang memiliki nilai budaya. Ada delapan jenis kecerdasan yang dimiliki setiap manusia di dunia ini. Perinciannya sebagai berikut. Pecandu yang telah diketahui jenis kecerdasannya dapat dipilihkan aktivitas yang sesuai dengan hasil tes.
Relapse is a Part Recovery Process
Recovery adalah program sepanjang hidup yang akan dijalani oleh pecandu yang sedang pulih (recovering addict). Merupakan proses belajar untuk mencapai perubahan perilaku yang baru. Recovery sebagai sebuah proses mengalami dinamikanya sendiri. Relapse merupakan bagian dari dinamika belajar dalam recovery.
Kekambuhan bukan hal kegagalan total dari sebuah program recovery. Hanya clean-time yang hilang, bukan knowledge yang pernah didapat oleh seorang recovering addict. Artinya tidak harus memulai dari Nol lagi. Meskipun ada beberapa hal yang harus dikaji ulang dalam program belajar yang pernah dijalankan. Untuk itu perlu dibuat sebuah evaluasi untuk mencari pencetus terjadinya kekambuhan. dan mustahil mengulang cara yang sama untuk mengharapkan hasil yang berbeda tentunya.
Memberikan hukuman bagi seeorang recovering addict yang relapse justru hanya akan memunculkan rasa enggan untuk meminta pertolongan. Perasaan jera tidak membantu bagi addict, karena kita semua tahu bahwa umumnya addict adalah tipikal pengambil resiko (high risk taker). Tidak ada satupun addict yang dengan sadar merencanakan kekambuhannya. Saat kekambuhan (slip/initial lapse) terjadi biasa diikuti dengan perasaan menyesal, marah, gagal, dsb.Hal ini yang seringkali membuat serang addict gagal kembali bangkit pada program pemulihannya. Untuk itu diperlukan suatu resillience pada recovering addict dalam menjalani kehidupan nyata. Artinya recovering addict mampu segera bangkit dan keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya di kehidupan nyata. Dan jika terjadi kekambuhan ia akan segera mampu bangkit kepada program pemulihannya.
Penelitian tentang Relapse
Penyalahgunaan ulang opiat merupakan penyakit kronik yang berkali-kali muncul. Angka kambuh (relapse) pecandu narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Napza) secara umum tidak jauh berbeda dengan angka relapse pecandu opiat.
Tujuan penelitian untuk mengetahui berbagai faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian relapse opiat di RSKO Jakarta tahun 2003-2005. Penelitian dengan desain kasus kontrol ini dilakukan terhadap data sekunder rekam medik. Variabel yang diteliti meliputi faktor individu (jenis kelamin, tingkat pendidikan, golongan umur, status perkawinan, status pekerjaan, dan status infeksi hepatitis) serta faktor zat (pola penggunaan, lama pakai, cara pakai, frekuensi pakai, dan kadar zat). Sampel studi terdiri dari 72 kasus dan 84 kontrol.
Kasus adalah pasien ketergantungan opiat yang berkunjung berturut-turut 6 bulan tanpa menggunakan opiat dan kembali berkunjung dengan keluhan kembali menggunakan opiat. Kontrol adalah pasien ketergantungan opiat yang berkunjung berturut-turut 6 bulan tanpa menggunakan opiat dan tetap berkunjung tanpa keluhan menyalahgunakan opiat.
Penelitian ini menggunakan metode analisis multivariat logistik regresi ganda. Variabel berhubungan dengan relapse opiat adalah tingkat pendidikan, status perkawinan, status hepatitis, lama pakai, dan cara pakai. Variabel yang paling dominan adalah status hepatitis, penderita hepatitis beresiko relapse lebih besar daripada bukan penderita hepatitis.
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa secara multivariat variabel pendidikan, status perkawinan, status hepatisi, lama pakai, capa pakai berhubnngan dengan peningkatan kejadian relapse opiat.
(1) Tingkat pendidikan berinteraksi dengan variabel lama pakai. Pengaruh variabel pendidikan berinteraksi dengan pengaruh lama pemakaian. Pada pemakaian tidak lama, pasien pendidikan sedang, beresiko relapse 16,3 kali lebih besar daripada yang tidak berpendidikan tinggi. Sedangkan pada pemakaian lama, pasien dengan pendidikan sedang beresiko 121,5 kali lebih besar untuk mengalami relaps.
(2) Status perkawinan merupakan faktor risiko, pasien yang tidak kawin beresiko lebih besar untuk relaps daripada pasien yang kawin.
(3) Status hepatitis merupakan faktor risiko, pasien relaps dengan hepatitis beresiko lebih besar untuk relaps daripada penderita tanpa hepatitis.
(4) Cara pakai merupakan raktor risiko, pasien dengan cara suntikan beresiko lebih besar untuk relaps daripada pasien yang menggunakan pil. Sebaliknya, ditemukan enam variabel yang tidak berhubungan dengan terjadinya relapse. Pasien yang belum menikah beresiko jauh lebih besar untuk mengalami relapse karena tergantung pada orangtua. Orangtua tidak berperan dalam keluarga dapat menyebabkan remaja mengalami relapse.
.
Dikompilasi dari berbagai sumber.
(http://kampungbenar.wordpress.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar