6 Mei 2015

Pers Dinilai Membuat Bandar Narkoba Jadi Pahlawan

Pers Dinilai Membuat Bandar Narkoba Jadi Pahlawan
TRIBUN/DANY PERMANA
Aktivis pemerhati buruh melakukan aksi menolak hukuman mati bagi para terpidana mati di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (28/5/2015). Sejumlah terpidana mati kasus narkoba termasuk grup Bali Nine rencananya akan dieksekusi mati pada hari ini dimulai pukul 20.00 malam ini. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) 
 
Barisan Relawan Jokowi Presiden (BaraJP) mengajak pers Indonesia merenung, mengapa para bandar narkoba yang dieksekusi, secara tidak langsung dinobatkan menjadi (seakan-akan) 'pahlawan.' Ada sesuatu yang salah.
"Gencarnya pemberitaan hingga ke detail detik-detik terakhir, membuat mereka demikian penting. Tidak ada media menulis, pada saat bersamaan dengan eksekusi, terjadi sejumlah kematian korban narkoba," ujar Sihol Manullang, Ketua Umum BaraJP, Kamis (30/1/2015), seperti dalam rilisnya ke Tribunnews.com.
Sihol mengatakan, perbedaan pendapat apakah hukuman mati layak dilaksanakan atau tidak, bertentangan dengan kemanusiaan atau tidak, sah-sah saja. Sebab kedua pihak yang pro-kontra, sesungguhnya sama-sama tidak setuju peredaran narkoba.
"Pers menjadi lebih banyak menulis bandar narkoba ketimbang korban narkoba. Delapan orang dieksekusi, di hari yang sama sedikitnya 40 orang meninggal melalui eksekusi dalam bentuk racun narkoba. Kita pantas merenung," ujar Sihol.
Hanya dalam sebulan terakhir saja misalnya, ke-10 bandar yang akan dieksekusi (akhirnya hanya 8 yang dtembak), mendapat porsi pemberitaan yang sangat besar. Lalu bagaimana dengan 1.200 orang yang tewas akibat narkoba.
"Dalam sebulan saja, kita mempersoalkan 10 orang, disaksikan 1.200 jenasah, pada saat bersaman dengan derai air mata ribuan keluarga korban. Eksekusi berita bagus, tapi bagaimana dengan korban?" Sihol bertanya.
Sihol memahami, sebagai peristiwa kemanusiaan, kisah jungkir-balik manusia memang selalu menarik, selalu hijau, ever green. Penembakan 8 bandar memang mengerikan, tetapi, bukankah ribuan korban narkoba layak diberitakan? Kita perlu merenung.
Peristiwa kemanusiaan dan kehausan masyarakat terhadap berita, bisa menjadi tragedi, seperti yang terjadi dengan foto karya Kevin Carter. Seekor burung gagak sedang mengintai seorang anak yang kelaparan di Sudan, dimuat majalah New York Times, 26 Maret 1993.
Masyarakat pembacara bertanya, bagaimana nasib anak itu? Mengapa alih-alih mengambil foto dan bukannya menolong anak itu? Setahun kemudian, 2 April 1994, Kevin Carter menerima Pulitzer, penghargaan jurnalistik bergengsi di Amerika.
Mengapa mengutamakan ambil foto dan bukannya mendahulukan menolong si anak Sudan, membuat Kevin Carter stres sendiri. Ia bunuh diri 27 Juli 1994. "8 ditembak, bagaimana kematian 15 ribu orang per tahun? Kita harus merenung," pungkas Sihol. (http://www.tribunnews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar