28 Agustus 2015

Kebiasaan Minum Alkohol sebagai Salah Satu Tantangan yang Dihadapi oleh Sekolah Terpencil di Indonesia

Tarakan, Kalimantan Timur. Mendorong para siswa untuk masuk sekolah mungkin adalah tantangan yang kerapkali dihadapi oleh para guru, namun usaha untuk menghentikan anak murid SD dari kebiasaan minum alkohol adalah tantangan lain yang lebih rumit.
Tekanan budaya dan kurangnya fasilitas, serta kurangnya keahlian dan dukungan pemerintah adalah beberapa isu yang dirasakan oleh para guru dari daerah terpencil selama pelatihan yang diadakan di Tarakan oleh Tanoto Foundation pada hari Selasa.
Yuluis Labo, 52, Kepala Sekolah SD Sesayap 08 di daerah Tana Tidung –sekitar 3 jam perjalanan kapal motor dari Tarakan—mengatakan bahwa ia dan teman sejawatnya di sekolah telah berusaha untuk menghentikan murid-muridnya dari kebiasaan meminum pengasih, alkohol lokal yang dibuat dari singkong yang telah difermentasikan dan kadang dicampur dengan vodka.
“Ada banyak masalah yang terjadi di sekolah saya. Selain mendorong para guru untuk membuat silabus pelajaran harian, kami juga mengalami masalah dengan murid-murid yang kadang mengkonsumsi alcohol,” kata Yulis. “Mereka minum alkohol karena biasanya orang tua mereka mengatakan bahwa hal itu adalah tradisi dari suku Dayak Brusu, dan mayoritas muris-murid kami berasal dari suku tersebut.”
Ia juga mengatakan bahwa ada 68 murid di sekolahnya yang berumur antara 7 hingga 13 tahun yang berada dalam pengawasan 6 guru permanen. Ia juga mengatakan bahwa banyak murid-muridnya sering membolos karena mereka mabuk.
“Meminum pengasih adalah suatu tradisi, dan banyak murid kami yang mengatakan bahwa jika mereka tidak meminumnya akan dinilai tidak menghormati tradisi,” ujarnya.
Yulis mengatakan bahwa pengasih sering disajikan di berbagai acaram misalnya selama perayaan musim tanam dan musim panen, serta upacara pemakaman. Dia juga mengatakan bahwa orangtua murid meminta anak mereka untuk ikut serta dalam acara minum pengasih.
“Dapatkan Anda bayangkan? Mereka hanya murid SD. Setelah ikut pesta mereka kadang masuk sekolah dalam kondisi yang sangat buruk: agak mabuk, mengantuk dan tidak mampu berkonsentrasi,” ujarnya.
Yulius yang sudah menjabat sebagai Kepala Sekolah semenjak tahun 2004 mengatakan bahwa ia telah berusaha untuk berdiskusi dengan para murid, namun tidak mampu membujuk mereka untuk berhenti minum alkohol. Ia mengatakan bahwa para guru membutuhkan pendekatan yang lebih lembut dan persuasif kepada para murid dan juga bisa berdiskusi dengan para orangtua murid secara sopan.
Sekolah telah berusaha untuk mencari beberapa anggota suku yang cukup terpelajar, misalnya mereka yang sudah pernah lulus SMA, untuk menjelaskan bahwa kebiasaan minum alkohol tradisional bukanlah kebiasaan yang baik, terutama jika dilakukan oleh anak-anak.
“Namun hal ini tidaklah mudah, kami juga membutuhkan guru yang mampu memahami hal ini. Tidaklah mudah menjadi guru di daerah saya,” ujarnya.
Zulkifli, seorang guru di SMU Negeri Sekatak 01, berlokasi di 290 kilometer dari Tarakan, mengatakan bahwa ia dan rekan sejawatnya juga menghadapi dilema dan masalah yang sama.
Walau demikian, Zulkifli mengatakan bahwa di masa lalu masalahnya lebih buruk.
“Pada tahun 1998, keadaan jauh lebih buruk, para murid mabuk dan kami bahkan tidak sanggup untuk mengingatkan mereka,” ujarnya.
Zulkifli mengatakan bahwa ia dan para guru di sekolahnya sekarang dan sekolah sebelumnya, SMU Negeri Sekatak 01, telah melakukan berbagai cara untuk menyelesaikan masalah ini.
Dan menurutnya, pendekatan terhadap para orangtua murid adalah hal yang paling penting.
Menurut Zulkifli, mengundang orangtua murid untuk datang ke sekolah dan menerima buku raport semesteran anak mereka adalah kesempatan terbaik untuk berdiskusi.
“Namun hal tersebut terus terjadi, dan hal ini sangatlah sulit.”
Anita Lie, profesor dan Universitas Katolik Widya Mandala di Surabaya, Jawa Timur, yang juga merupakan fasilitator dalam sesi pelatihan, mengatakan bahwa menjadi guru di daerah terpencil tidaklah sama seperti bekerja di perkotaan.
Ia mengatakan bahwa para guru seringkali tidak hanya menghadapi tantangan pendidikan, namun juga tantangan budaya.
“Itu sebabnya memberikan pra-pelatihan kepada para guru sebelum dikirimkan ke daerah terpencil dianggap sangat penting. Pemerintah haruslah memberikan perhatian lebih kepada para guru di daerah terpencil.” ujar Anita.
Walau demikian, Anita mengatakan bahwa kebudayaan pun tidaklah bersifat statis dan dapat berubah. Ia mengatakan bawa yang harus dilakukan pertama oleh para guru adalah memahami kebudayaan lokal sebelum menyetujui atau menentangnya.
“Harus ada empati. Janganlah meminta para murid untuk menentang orangtua mereka atau tradisi mereka, sebaiknya gunakan pendekatan yang tepat,” ujarnya.
sumber: http://www.tanotofoundation.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar