Menyandera, acapkali dijadikan media untuk menuntut sebuah kepentingan
kelompok. Bisa untuk meminta pembebasan teman yang ditahan polisi, bisa pula
minta tebusan sejumlah uang.
===========
Bermula
dari tanggal 9 September 2015, dua Warga Negara Indonesia (WNI), Sudirman dan
Badar, menebang kayu di Kampung Skofro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua,
yang berbatasan langsung dengan wilayah Papua Nugini. Tiba-tiba sekelompok
orang yang mengaku dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyerang dan menembak
warga setempat. Kemudian Sudirman dan Badar langsung disandera.
Keduanya
kemudian dibawa ke Skouwtiau, Vanimo, Papua Nugini. Karena lokasi penyanderaan
tak lagi berada di wilayah Indonesia, Komando Daerah Militer (Kodam) TNI
mengontak Konsulat Jenderal RI di Vanimo dan meminta bantuan pemegang otoritas Vanimo
serta tentara Papua Nugini untuk membebaskan dua WNI yang disandera tersebut.
"Jadi
kan tanggal 9 September aksi gerakan separatis OPM atau gerakan separatis Papua
bersenjata telah menembak mati satu penebang kayu di Kampung Skofro, Distrik
Arso Timur, Kabupaten Keerom. Dari kasus itu dikembangkan ternyata yang kena
ada empat orang yang bekerja di situ, satu mati, satu melapor ke Polres dan dua
orang tidak diketahui. Pada tanggal 11 September ternyata dua orang itu dibawa
ke daerah Skowtiau, itu wilayah PNG," kata Kepala Pusat Penerangan Mabes
TNI Mayjen Endang Sondik kepada pers awal pekan lalu.
Mayjen
Endang Sondik mengungkapkan pelaku penyanderaan bernegosiasi dengan cara
menukarkan dua sandera tersebut dengan rekan mereka yang ditahan di Markas Polres
Keerom, Papua. Dua rekannya ditahan oleh aparat Kepolisian lantaran tersangkut
kasus narkoba.
"Hari
ini (14/9/2015 - red) ketika pihak Papua Nugini bernegosiasi, mereka
meminta pembebasan dua rekannya di Polres Keerom. Padahal, kasus ganja itu
sudah lama, tahun 2012. Makanya di tahun itu, kelompok separatis menyerang Polsek
setempat, itu yang dikenal dengan tragedi Abepura berdarah," kata Mayjen
Endang dalam keterangannya kepada pers awal pekan lalu.
Dia
menjelaskan, dua rekan mereka yang ditahan itu tidak termasuk pimpinan OPM.
Namun mereka meminta untuk dibebaskan. Hingga kini, Mabes TNI masih berkoordinasi
dengan Kodam Cendrawasih. "Masih belum ada perkembangan yang berarti, kami
monitor dari Kodam Cendrawasih," kata Endang Sondik.
Endang
mengatakan, TNI sudah meminta tentara PNG membebaskan kedua sandera tersebut
dengan mengutamakan keselamatan mereka. Namun hingga kini belum ada pernyataan
dari kelompok yang menyandera kedua WNI tersebut.
Pemerintah
tegas tidak akan membarter dua orang WNI yang disandera OPM di Papua Nugini. Menko
Polhukham Luhut Binsar Panjaitan menegaskan, pemerintah tidak akan melakukan
barter dengan OPM. "Sama sekali tidak ada rencana barter," tegas
Luhut di Jakarta, Rabu (16/9).
Luhut
juga menyatakan, pemerintah telah menyiapkan langkah khusus apabila tidak
tercapai kesepakatan antara pemerintah Papua Nugini dan OPM penyandera. "Kami
siapkan langkah-langkah. Tidak akan barter. Rencana paling buruk pun kami
siapkan. Ini semua demi kedaulatan bangsa," tegas Luhut.
Luhut
Panjaitan mengakui negosiasi militer Papua Nugini dengan Organisasi Papua
Merdeka yang menyandera WNI berlangsung alot. "Mengenai OPM, terakhir
berita negosiasi masih tertunda antara tentara PNG dan yang menyandera,"
katanya.
Luhut
mengatakan negosiasi berjalan alot karena ada sejumlah permintaan dari OPM yang
tidak bisa dipenuhi Pemerintah Indonesia. Tapi dia enggan merinci permintaan
yang diajukan OPM. "Ada permintaan mereka yang tidak bisa kami penuhi dan
kami tidak pernah mau kompromi terhadap masalah penyanderaan," katanya.
Pasukan
Kodam Cendrawasih pun siap mendukung apapun keputusan Pemerintah. Saat ini pasukan
Kodam Cendrawasih bersiaga menunggu perintah lanjut "Kami masih memonitor
proses upaya yang dilakukan pemerintah dengan PNG (Papua Nugini)," jelas
Kapendam XVII/Cendrawasih Letkol Teguh Puji Rahardjo, Rabu (16/9).
Dijelaskan
Teguh, pihaknya belum mengetahui seperti apa perkembangan terbaru negosiasi antara
pemerintah dan OPM yang melakukan penyanderaan dua orang WNI di wilayah
Skouwtiau, Papua Nugini.
"Kami
semua standby saja di perbatasan. Kami semua selama ini terus berlatih,
berlatih dan berlatih. Artinya siap dengan segala kemungkinan. Apapun perintah
dari pemerintah, sebagai prajurit kami siap menjalankan perintah apapun,"
jelas Teguh.
"Mudah-mudahan
proses pembicaraan pemerintah dengan PNG bisa baik-baik," imbuh Teguh.
TNI,
lanjut Teguh, terus berkoordinasi dengan angkatan bersenjata PNG dan pemerintah
setempat melalui Konsulat RI dan Atase Pertahanan (athan) di Vanimo, Papua
Nugini.
Menurut
Teguh, pihaknya terus memantau melalui Konsulat Indonesia yang ada di Vanimo. Dia
mengatakan Konsulat Indonesia di Vanimo dan TNI di Papua Nugini bekerja sama
dengan tentara Papua Nugini melakukan komunikasi dengan kelompok gerilya
perbatasan itu. "Agar sandera dibebaskan, Konsulat Indonesia minta kami
tidak buat gaduh," katanya.
Teguh
mengatakan tidak membuat gaduh artinya TNI diminta tidak mengeluarkan
pernyataan atau tuduhan-tuduhan sembarangan agar komunikasi kelompok gerilya
itu dengan pihak Indonesia dan tentara Papua Nugini dapat berjalan lancar.
Pemerintah
Indonesia terus membangun komunikasi dan koordinasi dengan Pemerintah Papua
Nugini untuk membebaskan kedua sandera tersebut. Guna membantu penyelamatan
sandera, pihak tentara PNG sudah menyiapkan kekuatan besar dari Port Moresby,
Ibu Kota PNG.
"Pihak
Army PNG sendiri menurut Konsulat PNG, sudah mempersiapkan kekuatan yang cukup
besar didatangkan dari Port Moresby untuk membantu pihak Army PNG yang ada di
Vanimo," kata Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw, usai melakukan
pertemuan dengan Kosulat Negara Papua Nugini untuk Provinsi Papua, Mr. Jack
Aly, Selasa (15/9).
Pertemuan
digelar tertutup. Pembahasan dalam pertemuan tersebut terkait koordinasi
pembebasan dua sandera yang ditahan OPM di Papua Nugini.
Langkah
ini dilakukan mengingat lokasi penyanderaan berada di negara tetangga. Sehingga
kewenangan penuh tindakan ada di tangan Pemerintah PNG. Saat ini semua pihak
masih menunggu upaya pihak Army PNG yang melakukan negosiasi dengan kelompok
Jefri Pagawak.
Selain
upaya dari pihak Army PNG, sebelumnya Polda Papua telah mengutus tiga orang
tokoh adat untuk bertemu pimpinan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB), Jefri
Pagawak, di Bewani, PNG, untuk melakukan negosiasi agar kedua WNI yang
disandera itu segera dibebaskan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar