Penggerebekan gudang narkoba diJepara, Rabu (27/1), makin menguatkan fakta bahwa peredaran narkoba di Indonesia sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Pintu masuk para bandar narkoba tidak hanya melalui kota-kota besar, juga merambah kota-kota kecil yang memungkinkan mereka untuk menemukan celah.
Teriakan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Budi Waseso alias Buwas sejak tahun lalu bahwa Indonesia seharusnya mengumumkan status darurata narkoba, harus menjadi perhatian serius. Penanggulangannya pun harus melalui cara-cara yang diterapkan dalam kondisi darurat.
Keadaan darurat atau dalam bahasa Belanda staat van oorlog en beleg (SOB) yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai state of emergency biasanya memang diawali suatu pernyataan resmi dari pemerintah pusat. Kondisi darurat bahkan bisa mengubah fungsi-fungsi pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktivitas, atau memerintahkan badan-badan negara untuk menggunakan rencana-rencana penanggulangan keadaan darurat.
Sudahkah Indonesia kini darurat narkoba?
Memang perlu kajian mendalam dari pihak-pihak terkait. Namun data-data yang disampaikan Buwas perlu menjadi pertimbangan serius, sehingga pemerintah nantinya tidak terlambat atau menyesal tanpa solusi.
Memang perlu kajian mendalam dari pihak-pihak terkait. Namun data-data yang disampaikan Buwas perlu menjadi pertimbangan serius, sehingga pemerintah nantinya tidak terlambat atau menyesal tanpa solusi.
Akhir tahun lalu, Buwas mengungkapkan data-data mencengangkan terkait peredaran narkoba di tanah air. Ia menyatakan BNN menyita sedikitnya 2,6 ton narkoba jenis sabu-sabu selama 2015.
Korban meninggal dunia akibat ketergantungan narkotika saat ini sekitar 30-40 orang dalam sehari. Dalam kurun waktu lima bulan saja terhitung sejak bulan Juni-November 2015, angka pengguna narkotika naik drastis dari 4,2 juta jiwa menjadi 5,9 juta.
Menurut Buwas, kalangan paling banyak menggunakan narkotika saat ini mulai dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Para bandar disebut piawai mendoktrin kawula muda untuk selalu menggunakan narkoba.
Hasil observasi BNN, banyak anak-anak yang duduk di bangku SMP dan SMA merasa keren kalau pernah mencicipi barang haram itu. Sebaliknya mereka dianggap tidak gaul jika tidak pernah menyentuh narkoba.
Di sisi lain, ancaman hukuman bagi pengguna narkotika di Indonesia terbilang ringan dibandingkan negara-negara lain. Di Malaysia dan Singapura, misalnya, sejak lama memberlakukan hukuman gantung bagi para pengedar narkoba.
Sedangkan, di Indonesia masih ada toleransi baik secara sadar maupun akibat permainan oknum aparat penegak hukum. Masih ada sejumlah oknum anggota BNN, Polri, Kejaksaan hingga oknum hakim bermain-main terhadap pengguna maupun pengedar narkoba. Mau pasal apa? Rehap atau pidana? Semua ada harganya.
Kondisi inilah yang harus menjadi perhatian ekstraserius, sehingga pemerintah bisa mengerem laju kasus narkoba yang trennya terus meningkat. Kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi mengeksekusi mati puluhan terpidana narkoba (Presiden berjanji akan terus melakukan), menunjukkan salah satu keseriusan pemerintah dalam pemberantasan narkoba.
Namun ternyata itu saja tidak cukup. Terbukti peredaran narkoba masih marak. Kemarin ratusan kilogram sabu-sabu ditemukan di sebuah gudang mebel di Jepara. Bisa dibayangkan berapa orang akan kecanduan jika semua barang haram itu berhasil lolos. Karena itu pemerintah harus menunjukkan langkah-langkah yang lebih keras terhadap peredaran narkoba tanpa atau dengan status darurat narkoba. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar