Slogan “Brenti jo Bagate” hanya akan Anda jumpai di Manado. Di sana bertaburan spanduk-spanduk (dan baliho) yang mengatakan supaya brenti jo bagate.
Slogan ini bukan sembaran slogan, bukan pula dalam rangka pilkada. Ini
adalah sebuah slogan ajakan. Sudah dua kali dalam waktu yang belum
begitu lama saya kembali ke Manado, dan melihat slogan-slogan seperti
itu, yang paling besar terpampang di depan kantor POLDA Sulut.
Brenti jo bagate, atau stop jo bagate
dalam dialek Manado diartikan sebagai ajakan untuk berhenti dari
kebiasaan meminum minuman beralkohol atau minuman keras (miras). Kata ‘bagate’ sendiri sebenarnya tidak ada dalam kamus bahasa Manado sebagai pengganti arti dari kalimat minum minuman keras. Kata bagate (kata dasar ‘gate’)
itu kalau dalam bahasa Indonesia sesungguhnya dapat diartikan sebagai
tarik, gaet, kait. Nah, entah dari mana asal muasalnya orang yang minum
minumar keras disebut sebagai ‘bagate’. Umpamanya pada kalimat ini, “Mari jo torang pi bagate di warong sablah” (Mari kita pergi minum minuman keras di warung sebelah).
Ajakan brenti jo bagate ini pertama kali dicetus oleh Kapolda Sulut
Brigjen Polisi Drs. Dicky Atotoy sejak bulan Pebruary 2012 lalu.
Gebrakannya dalam memberantas aksi minum-minuman keras yang sering
berujung pada mabuk-mabukan serta meningkatnya tindak kekerasan dan
kriminalisasi ini tentu saja menuai beragam pro dan kontra. Bagi
sebagian, aksi dan slogan ajakan ini dianggap sebagai alasan basa-basi,
karena toh banyak toko serta warung-warung kecil yang tetap menjual Cap Tikus (minuman
keras paling digemari di Manado dan Minahasa). Kemudian lagi, bagi
pemilik pohon seho – pohon dari mana cap tikus itu dibuat, dan juga bagi
warga yang berkecimpung dalam usaha pembuatan saguer serta Cap Tikus
(entah kenapa minuman satu ini dinamai cap tikus) hal ini merupakan
sebuah ‘ancaman’. Ya, karena dari sanalah mereka hidup dan mencari
sesuap nasi. Ancaman atas kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Ancaman
karena penghasilan akan menurun kalau sudah tidak ada lagi yang membeli
Cap Tikus.
Pembunuh Nomor Satu
Pernah
ada surat kabar yang sangat terkenal di Manado menurunkan berita HL
dengan judul menyeramkan. Di sana tertera kalimat ini, “Miras adalah pembunuh nomor 1 di Sulut.” Menyikapi tulisan tersebut, kita mustinya menengok sejarah jauh ke belakang. Cap
Tikus sudah ada di tanah Minahasa sejak lama, ia bahkan sudah seperti
membudaya dalam sendi kehidupan masyarakat Minahasa. Di warung-warung
kecil, kita dapat menemukan Cap Tikus dijual bebas. Minuman dengan kadar
alkohol bisa sampai 70% ini sudah menjadi semacam cap (brand)nya orang Minahasa. Katanya, “Kalo nintau bagate Cap Tikus sama deng bencong jo!”
(Kalau tidak bisa minum Cap Tikus berarti banci alias bukan laki-laki
sejati.) Tidak sepenuhnya benar. Tapi kenyataan di lapangan juga
berbicara, bahwa betapa banyak anak-anak muda dan para remaja minum Cap
Tikus hanya sebagai lambang gengsi, supaya tidak dicap banci, dan
alasan-alasan tidak jelas lainnya.
Padahal
orang-orang Minahasa jaman dulu meminum Cap Tikus hanya untuk
menghangatkan tubuh. Bukan supaya mabuk. Beberapa daerah di Minahasa
seperti Tondano, Tomohon, Sonder, Modoinding, dan daerah-daerah
pegunungan lainnya memang termasuk daerah bercuaca lumayan dingin. Tapi
sekarang, Cap Tikus tidak lagi dijadikan minuman penghangat tubuh, tapi
diminum sampai teler dan mabuk. Sekarang ‘budaya minum’ itu sudah
menjelma menjadi pendorong terjadinya sebuah kejahatan yang sangat
serius dan menakutkan, yaitu pembunuhan. Ini penyakit serius yang kalau
tidak diatas akan menggerogoti sendi kehidupan bermasyarakat, dan
melemahkan anak-anak muda kita.
Tahun
lalu saja, pernah terjadi beberapa kali tindak kejahatan pembunuhan
yang setelah ditelusuri pelakunya ternyata mabuk berat ketika membunuh.
Perkelahian antar pelajar tidak jarang melibatkan anak-anak remaja yang
mabuk-mabukkan. Bahkan saya sendiri punya pengalaman dihadang orang
mabuk jam 10 malam di Jalan Boulevard. ‘Budaya minum’ tanpa diiringi ‘budaya mabuk’
mungkin tidak mengapa. Kembali ke cerita jaman dulu di Minahasa,
sebagai penghangat tubuh. Tetapi, sayangnya kini, siapa yang tidak
bakalan mabuk kalau minum Cap Tikus lebih dari 3 sloki (sips)?
Dan kebanyakan peminum, tidak akan berhenti minum sebelum mabuk.
Mengonsumsi sampai 1 botol? Akan muncul dua kemungkinan; ia akan
menyerang orang lain sampai mati, atau mati sendiri karena kadar alkohol
yang melampaui batas normal.
Selain
merusak pikiran si peminum, Cap Tikus juga dapat mengakibatkan kematian
bila diminum terlalu banyak. Ini bukan cerita imaginasi belaka, sebab
Cap Tikus sudah membuktikan kehebatannya merenggut nyawa orang
yang meminumnya. Jadi berhati-hatilah terhadap minuman yang satu ini.
Kadar alkoholnya yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari yang
dijual di Amerika seperti Whisky, Vodka, Jack Daniels dan lainnya, itu
dapat membakar tubuh kita. Kawan saya orang Amerika yang biasa meminum
Vodka, harus menyerah takluk pada ‘keganasan’ Cap Tikus di satu sloki pertama.
Cap Tikus Minuman Ciptaan Dewa?
Menurut sejarawan Jessy Wenas, konon ada seorang dewa bernama Dewa Makawiley (banyak warga Manado/Minahasa memakai nama ini) yang dikenal sebagai dewa saguer pertama. Selain itu ada juga dewa saguer yang bernama Dewa Kiri Waerong yang dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak. Dewa saguer yang ketiga adalah Dewa Parengkuan (banyak marga Manado/Minahasa memakai nama ini) yang dihubungkan dengan air saguer yang menghasilkan Cap Tikus. Nah si Parengkuan ini mempunyai kata asal “rengku” artinya, minum sekali teguk ditempat minum yang kecil (mungkin maksdunya sloki).
Dari arti kata tersebut maka orang Minahasa menyakini bahwa Parengkuan
adalah orang Minahasa pertama yang membuat minuman Cap Tikus.
Dalam upacara naik rumah baru, para penari Maengket menyanyi lagu Marambak untuk menghormati dewa pembuat rumah, leluhur Tingkulendeng. Pada kegiataan seperti itu, maka sang tuan rumah harus menyodorkan atau menyiapkan minuman Cap Tikus kepada Tonaas pemimpin upacara adat naik rumah baru tersebut, sambil para penari menyanyikan “tuasan e sopi e maka wale”, yang artinya kurang lebih adalah tuangkan Cap Tikus wahai tuan rumah.
Brenti Jo Bagate
Apa yang sudah dicanangkan oleh Kapolda Sulut sudah sangat tepat. Tapi ajakan brenti jo bagate,
sudah semestinya diikuti juga tindakan tegas bagi para pemabuk,
termasuk mereka yang menjual Cap Tikus pada para remaja dan anak-anak
sekolah. Kalau di Amerika, ada batasan umur yang sangat jelas bagi
siapa-siapa saja yang dapat membeli minuman beralkohol. Dan tidak akan
Anda jumpai alkohol dijual bebas di warung-warung, dan supermarket besar
sekalipun.
Betul bahwa persoalan ‘orang yang hobi bagate’ tidak sekedar dan
terbatas pada potensinya melanggar hukum, dengan berbuat berbagai
tindak kejahatan. Tapi sudah kait-mengkait dengan kebiasaan dan atau
budaya orang Manado/Minahasa yang ‘suka baminung’ itu. Bahkan
jamak ditemui di acara-acara pesta hari ulang tahun, perkawinan, bahkan
acara kematian (kedukaan) akan tersedia berbagai minuman keras untuk
diminum, utamanya Cap Tikus, Bir, dan Kasegaran. Jadi tidak gampang
memang membereskan sebuah persoalan yang sudah mengakar.
Lantas kalau begitu apakah program brenti jo bagate
bisa diwujudkan atau tidak? Jawabannya susah-susah gampang, sebab pada
kenyataannya pro dan kontra terus berlanjut. Yang paling penting adalah
sosialisasi tentang dampak buruk dari meminum Cap Tikus itu sendiri.
Apapun alasan si peminum, fakta membuktikan bahwa minum Cap Tikus itu
lebih banyak jeleknya daripada manfaatnya. Jadi ngana mo brenti bagate ato nyanda? Terserah masing-masing pribadi. Cheers…! —Michael Sendow (sosbud.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar