26 Mei 2014

Ciu Dinikmati Bangsawan Hingga Rakyat Jelata

Ciu Dinikmati Bangsawan Hingga Rakyat Jelata
Miras Brem Bali. Wikimedia.org
 Minuman keras khas Kota Solo, ciu, telah dikenal sejak zaman kolonial. Komoditas tersebut banyak diproduksi di sebuah kawedanan di timur Bengawan Solo yang saat ini dikenal dengan nama daerah Bekonang, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo.

"Ciu banyak diproduksi lantaran bahan bakunya mudah diperoleh," kata pemerhati sejarah dari komunitas Solo Tempo Doeloe, Heri Priyatmoko, Jumat, 17 Januari 2014.

Bahan baku ciu berupa tetes tebu bisa didapatkan dengan mudah dari Perusahaan Gula Tasikmadu yang berada tidak jauh dari Bekonang.

Minuman berbau menyengat itu menjadi komoditas yang dinikmati oleh kaum pribumi. "Jika penjajah punya anggur dan jenewer, masyarakat pribumi punya ciu," kata Heri. Bukan hanya rakyat jelata, kaum bangsawan juga banyak yang menggemari minuman alkohol tersebut.

Kala itu, warga Eropa yang tinggal di Solo gemar menggelar pesta minuman keras di gedung-gedung Societeit. "Salah satu gedung Societeit adalah bangunan yang saat ini menjadi Monumen Pers," katanya. Sedangkan masyarakat pribumi pesta ciu saat menonton pertunjukan tayub maupun perayaan panen raya. Selain diminum, ciu sering dicampur param untuk digunakan sebagai obat gosok.

Pemerintah kerajaan pada waktu itu juga terkesan melegalkan ciu untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Kebiasaan minum ciu itu dianggap lebih baik daripada masyarakat menjadi gerakan radikal yang membahayakan keamanan negara. "Solo memang menjadi salah satu pusat gerakan radikal," katanya.

Ketua Paguyuban Pengrajin Alkohol Bekonang, Sabariyono justru tidak tahu pasti sejak kapan ciu diproduksi di daerah tersebut. "Yang jelas sudah turun temurun," katanya. Dia sendiri mulai membuat alkohol sejak tahun 1970.

Pada saat itu, jumlah perajin alkohol di Bekonang hanya berkisar 20 orang. "Saat ini berkembang cukup pesat hingga 130 perajin," katanya. Kerajinan ini juga berkembang hingga ke kecamatan lain di sekitarnya. Industri ini cukup menjanjikan lantaran banyak pabrik bahan kimia yang menampung hasil produksi para perajin.(www.tempo.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar