Ancaman minuman keras/miras atas integritas orang asli Papua bukan hal baru. Minuman keras yang bernuansa ancaman ini diedarkan secara sistematis oleh pemerintah RI bagi orang asli Papua. Minumannya selalu dikonsumsi tidak hanya oleh orang asli Papua tetapi juga oleh kaum pendatang. Namun persoalannya adalah kematian yang diakibatkan oleh miras lebih banyak terjadi atas orang asli Papua. Realitas kematian ini justru melahirkan aksi dan reaksi bagi rakyat Papua kepada pemerintah RI di ketiga Kabupaten di Meeuwo. Pertanyaannya kenapa mereka beraksi secara terus menerus di atas tanah Papua.
Sejarah (ruang dan waktu) Produksi Miras di Papua Ada bahasa gaul sudah dan sedang beredar adalah “miras itu budaya bagi orang Papua. Atau miras adalah orang Papuwa dorang puu budaya”. Bahasa gaul ini digunakan oleh pemerintah RI ketika mereka menguasai eksistensi manusia Papua pada lima decade yang zilam. Eksistensi rakyat Papua dipukau dan dikecimpungkan oleh para penguasa melalui dan dalam dunia miras demi memperoleh uang yang melimpah, menghancurkan jati diri dan tetesan darah orang Papua dan menjaga keutuhan NKRI di Papua. Demi tujuan inilah miras sudah harus menjadi budaya bagi orang asli Papua. ini sudah menjadi ingatan bersama dalam sepanjang sejarah (ruang-waktu). Kitong sudah tahu dan sadar bahwa, orang Papua dapat dibentuk oleh berbagai budaya termasuk budaya miras itu. Orang Papua dengan segala otonominya ini terus-menerus dicerna, dibiarkan secara lebih dalam untuk dapat lahir, beranak-cucu dan berpulang dalam dunia kegelapan yang sedemikian itu.
Dalam proses selanjutnya, eksistensi orang Papua dengan budaya miras ini dapat diperketat lagi oleh pemerintah RI secara sistematis dan tersusun rapih. Mereka menyediakan tempat distribusi miras tersebut bagi orang Papua. Tempat distribusi ini diperketat mereka dengan tenaga kerja yang aktif agar miras ini dapat dikonsumsi oleh rakyat Papua. Sejumlah tempat yang disiapkan itu antara lain: Supermarket, Bar, Restauran, Panti Pijak dan took di Jayapura-Papua. Dari sejumlah tempat ini, yang menjadi distributor utama adalah toko Sumber Makmur di Kota Jayapura-Abepura-Papua. Tempat ini juga diperkuat lagi oleh mereka dengan berbagai macam UU seperti keputusan Menteri No. 15 dan 16 tahun 2006 tentang wewenang pemberian izin penjualan Miras bagi orang asli Papua. Ini masih berlaku kepada masing-masing daerah tingkat I dan II untuk mengaturnya secara khusus sesuai dengan kewenangan para pemerintah setempat. Di sini rakyat Papua selalu rame-rame menghayati budaya miras.
Kaum hitam yang mengkonsumsi miras ini kita bisa menjumpai kapan dan di mana saja di Papua ini. Mereka minum tiada henti, tanpa mengenal waktu baik pagi, siang maupun pada sepanjang malam hari. Minumannya seakan menjadi raja di alam Papua. Minuman dihiasi orang-orang hitam dari hutan Papua, kampung-kampung, Distrik samapai di kota kabupaten dan propinsi Papua. Memang kitong jadi jago mengkonsumsi miras seperti yang terjadi pada selasa 22/1/2013 di jalan Auri Nabire.
Pada saat itu, beberapa anak Papua mengkonsumsi miras. Setelah dorang minum sampai mabuk, dong mulai memalang jalan. Kemudian dong mulai berteriak sembarangan: “saya ini jagoo….saa ini jago..kamu mau apa, saaa…ini yang jagoo….di sini”. Tidak hanya itu, tetapi juga dong pun mulai menahan orang-orang yang sedang melewati jalan raya baik dengan jalan kaki maupun dengan kendaraan bermotor dan mobil dan meminta uang yang tidak sedikit kepada setiap orang yang melewatinya. Dari sekian banyak uang yang dikasih itu kemudian dong lagi pula kembali membeli miras di salah satu tempat yang dibeli tadi. Ini terjadi dari jam 11.00;-12 malam WPB. Jadi tentunya dong minum sampai pagi, bahkan siang hari. Sementara kaum besar sudah mulai berbaring di kasur yang empuk.
Suangguh kondisinya sangat mencemaskan. Ini persoalan konkret yang mengingatkan kita akan sejarah minuman di Papua. Ada keributan ombak miras karena ada sejarah (ruang-waktu). Lebih jauh, identitasnya menjadi semakin hancur ketika pemerintah menguasai manusia dan alam Papua pada lima abat yang lalu. Sejarah ini tentunya menjadi hal yang sulit terselesaikan di Papua.
Dengan merenungkan sekilas sejarah miras di atas, ternyata dunia miras ini bukan lahir dari budaya orang asli Papua, melainkan diciptakan oleh orang luar sesuai dengan budaya dan sejarah hidup mereka. Orang Papua tentunya tidak pernah memiliki budaya miras seperti di atas. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan tentang tidak baik seperti miras yang mengandung kadar beralkohol atau racun yang mematikan nyawa manusia ini. Jika mereka tidak mengetahui tentang miras, maka miras tentu tidak pernah mendapat tempat dalam kehidupan konkret mereka. Maka mereka pun tentunya tidak pernah juga dikonsumsikannya. Ini sudah pernah berada sejak mereka berada sebagai berada yang seharusnya. Karena itu, yang ada tetap ada, yang tidak ada tetap tidak ada bagi orang hitam di Papua.
Ancaman Atas Integritas Orang Asli Papua
Meskipun orang Papua tidak pernah memiliki budaya racun yang mematikan nyawa seperti miras, akan tetapi mereka selalu dipengaruhi dengan berbagai budaya, termasuk budaya miras dari luar yang mematikan nyawa manusia ini. Orang Papua kini masih dapat dibingkai dengan budaya miras yang mengandung bau kematian ini. Bahkan orang Papua dilahirkan dalam kandungan budaya miras; dan kemudian dibiarkan untuk hidup dan mati demi mempertahankan atau menyelematkan budaya miras. Padahal miras sendiri adalah minuman beracun yang sangat mematikan seluruh kekuatan tubuh. Bahkan juga nyawanya pun tidak akan pernah mendapat tempat secara layak.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia arti kata miras adalah minuman beralkohol atau racun yang sangat berbahaya (Jhon, Kanisius, Yogyakarta, 1999). Apabila orang mengonsumsi miras, maka kadar alkohol atau racun itu memiliki potensi yang sangat kuat untuk mematikan sistem kekebalan tubuh. Hal ini bukan hanya berdampak negative pada hal-hal badaniah saja, melainkan juga berdampak buruk pada psikis/jiwa dan Roh. Sebab tubuh, jiwa dan Roh adalah satu integritas yang melekat pada setiap pribadi manusia. Jiwa dan roh justru berada karena ada tubuh yang sehat. Sebaliknya pun demikian bahwa dalam tubuh yang sehat, maka jiwa dan roh tentunya mendapat tempat di sana. Jadi ketiga aspek dasar ini memiliki hubungan yang sangat intim antara satu sama lain. Ketiganya tentu selalu saling berada dalam diri yang satu dengan yang lain.
Namun, ketika tubuh dikuasai oleh minuman racun/miras, maka jiwa dan Roh pun ikut teracuni. Di sinilah kita disadarkan bahwa orang Papua tentu berada dalam racun miras secara mendalam. Integritasnya sebagai manusia Papua tentu semakin menjadi terpisah antara satu sama lain karena budaya konsumsi miras. Karena dengan adanya miras, mereka malahan kehilangan hidup sebagai apa adanya. Ketiga aspek jiwa ini telah lama dihancurkan oleh budaya miras yang mematikan ini. Sekalipun nilai manusia itu jauh lebih bernilai dari budaya miras. Pemerintah RI menganggap budaya miras sebagai tujuan awal dan akhir dari kehidupan manusia di Papua. Ini namanya sudah cerita mati. Salah diberi alamat bagi orang Papua. Karena miras tidak sama dengan nilai manusia dan kemanusiaan. Hanya manusia sajalah yang amat penting bukan miras. Miras kan sungguh sudah tra penting bahkan sungguh tra baik; tapi para penguasa RI sengaja mengadakannya sebagai budaya yang amat baik bagi rakyat Papua di negeri ini.
Akibatnya orang Papua tidak hanya kehilangan ketiga integritas ini saja, tetapi juga kehilangan masa depan bangsa Papua. Ini sudah terbukti bagi kehidupan nyata di daerah Tagee MEEUWO-Papua. Ada banyak anak mudah yang telah mati mudah karena mengkonsumsi miras. Mereka itu antara lain: Otuma Tatogo, Yan Tekege, Amandus Tekege, Herman Adii, Ruben Tatogo, Hendrikus Dimi, Matius Keiya, Ismail You, Silvester Tekege, Lamber Tekege, Gergorius You, Puley Tekege, Yulianus Pekei, dan Jhon Dogomo. Mereka ini telah meninggal pada usia muda dalam bulan Agustus hingga Desember 2012. Tapi mereka yang dibelenggu oleh tali-temali miras ini merupakan sebagian dari sejuta manusia MEE-Papua yang telah meninggal karena selalu mengkonsumsi miras. Dan kini orang Mee-Papua masih berpotensi untuk menguburkan dirinya dalam perut bumi Papua bersama gadis Kemirasan.
Jika realitas masalah mirasnya itu mengeringkan sumber kehidupan seperti matahari yang selalu menyinari di tanah tandus dan padang pasir, maka orang asli Papua tidak akan pernah menikmati Papua baru yang didambakan mereka selama ini. Mereka tentu akan habis dalam waktu singkat; sebagaimana yang dikatakan oleh para peneliti dari universitas Sydney Autralia, melalui media Internasional, 2011. Bahkan mereka dan alam Papua tidak akan pernah diceritakan oleh semua orang dari dunia lain. Model sejarah dan dunia semacam ini, namanya sia-sia belaka. Bahkan pula cerita kering tanpa udara dan bayangan. Itu sudah inti kesia-siaan yang terus-menerus dinyatakan NKRI untuk Papua. Karena itu, kita tidak perlu heran bahwa budaya miras adalah pedang bermata dua yang digunakan pemerintah RI untuk menghabisi etnis Melanesia-Papua. Tujuannya agar mereka akan terus-menerus menikmati alam Papua.
Dialog Penentu Konflik Papua
Realitas masalah Papua tidak hanya soal miras, tetapi juga pembunuhan, penjajahan, penindasan, penolakkan dan ketidakhormatan terhadap martabat manusia Papua dan sejarahnya serta rasisme, kegagalan pembangunan dalam segala aspek. Semua persoalan ini tidak perlu dituntaskan oleh orang Papua dan pemerintah RI melalui aksi demo, janji-janji palsu alis abuti, dan tindakan refesif dan kekerasan sejanta, peluru bedil serta pemenjaraan. Tetapi konflik Papua harus diselesaikan melalui dialog karena dialog adalah penentu konflik Papua. Jika dialog adalah penentu konflik Papua, maka dalam dialog manusia dan kemanusia tentu akan mendapat tempat yang istimewa. Martabat manusia tentu akan dimuliakan sebagai apa adanya. Nilai kehidupan juga tentu akan ditemukan di sana. Itu tandanya kitorang mau menghargai setiap martabat manusia sebagai manusia Papua.
Jika martabat manusia itu dimuliakan dalam dialog, maka berbagai konflik Papua pun dapat dibicarakan di sana. Dalam pembicaraan itu, berbagai konflik Papua harus dikritisi, dianalis, dan dicari solusinya secara substansial oleh orang Papua dan pemerintah RI. Pembicaraan akan konflik Papua perlu dihadiri juga oleh salah satu pemerintah dari luar sebagai pihak netral. Pihak ketiga ini harus ada karena tanpa pihak luar yang netral, maka kapan pun konflik Papua itu tidak akan pernah terselaikan. Dialog akan menjadi tempat konflik jika kedua belah pihak yang bermaslah dan berkonflik ini tidak pernah dimediasi oleh pihak ketiga dari luar negeri. Jadi kedua pihak yang berkonflik ini seharusnya segara menciptakan ruang dan waktu untuk berdialog.
Bagi orang Papua dialog seperti ini tidak pernah asing di alam hitam ini. Orang Papua dibikin oleh dialog, karena orang Papua itu adalah makhluk relasional. Mereka selalu saja punya ruang dan waktu dialog secara layak. Seperti owadaa-emawaa (rumah dialog baik dengan komonitas manusia, alam semesta dan seisinya maupun dengan komonitas Sang Pengada). Setiap persolannya tentunya dapat diselesaikan mereka dengan dialog yang sedemikian ini. Tentunya barang ini sudah ada sejak mereka berada sebagai berada yang berdialog di awal alam Papua.
Dialog yang sedemikian ini tidak perlu juga dilakukan dalam negeri baik Papua maupun Jakarta. Dialog harus dilakukan di luar Papua seperti Amerika, Panwatu, Australia, Belanda dan Roma. Asalkan ada kesepakatan yang jelas terkait dengan tempat dialog antara kedua bela pihak yang bermasalah yakni pemerintah-Jakarata-rakayat Papua. Kesepakatan menyangkut tempat dialog memang harus dianggap penting, mendasar karena yang bermasalah adalah dorang dua ini. Jika dialog dilakukan di Jakarta, maka timbul kekawatiran bahwa pemerintah Jakarta pasti akan membunuh rakyat Papua secara habis-habisan. Demikian juga orang Jakarta, Jika dialog dilakukan di Papua, maka akan timbul kekawatiran dengan kematiannya sendiri. Orang Jakarta tentu akan gelisa dan kawatir terhadap kekerasan anak panah dari orang hitam jika dialog akan dilakukan di Papua. Jadi pemerintah RI dan rakyat Papua segera membuka ruang dan waktu di luar negeri untuk berdialog dengan pihak ketiga dalam menuntaskan konflik Papua secara menyeluruh. Jika tidak tempo berdialog, orang Papualah yang lebih tempo ke lian kubur. Bahkan dorang akan tertinggal kehampaam udara ke-Papuaan.
(Penulis adalah SMA YPPK “Aweidabi” Epouto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar