22 Juni 2014

Cap Tikus: Pembawa Berkah, Penyebab Bencana


Setiap daerah di Tanah Air memiliki nama bagi minuman keras yang dibuat secara tradisional. Di Minahasa, Sulawesi Utara, minuman ini disebut Cap Tikus. Minuman yang berasal dari air pohon aren yakni suling, menjadi penghasilan banyak orang. Tapi disisi lain, angka kejahatan di Sulawesi Utara, sebagian besar pemicunya akibat pelakunya minum Cap Tikus.
Cap Tikus. Itulah sebutan akrab bagi minuman keras khas Sulawesi Utara. Tidak jauh berbeda dengan jenis minuman keras lainnya, Cap Tikus lahir dari sebuah kebiasaan, yang akhirnya menjadi khazanah budaya masyarakat setempat. Di Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, tradisi membuat minuman Cap Tikus dilakukan secara turun-temurun. Para petani mendirikan gubuk penyulingan di hutan disela-sela rimbunan pohon Aren, atau oleh masyarakat setempat dikenal sebagai pohon Seho.
Pohon Seho atau aren yang menjadi bahan baku Cap Tikus biasanya dipanen ketika usianya diatas 7 tahun, dengan ketinggian antara 15 hingga 20 meter. Masa produktifitasnya berakhir setelah menginjak umur 15 tahun. Air yang disadap dari pohon Aren diperoleh dengan cara memotong tongkol bunga Aren yang disebut juga mayang. Mayang baru digotong bila sudah menebarkan aroma harum. Ditandai dengan banyaknya serangga yang merubung diseputar mayang.
Batang mayang yang sudah dipotong dibiarkan hingga keesokan harinya. Setelah 24 jam, sebuah bambu dilangkapi pipa dan penyaringan, yang dihubungkan kegalon, dipasang. Dari proses inilah, petani mendapat saguer alias cairan putih yang menetes dari mayang. Dari pohon aren yang masih produktif biasa dihasilkan saguer 40 botol hingga 50 botol perhari. Sementara pohon aren yang sudah tua hanya mampu menghasilkan 10 botol sehari.
Sejauh ini para pengrajin masih menggunakan teknologi tradisional. Yakni saguer dimasak diatas tungku, kemudian uapnya disalurkan melalui pipa bambu ketempat penampungan. Proses penyulingan tergantung dari pembakaran. semakin besar api ditungku semakin cepat pula tetesan-tetesan Cap Tikus mengalir dari bambu. Rata-rata petani membutuhkan waktu 4 jam untuk melakukan proses penyulingan ini.
Kualitas penyulingan jugalah yang menentukan tinggi rendahnya kadar alkohol Cap Tikus. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar alkoholnya. Misalnya untuk mendapatkan kadar alkohol 57 persen, presentase penyulingan diperketat. Yakni dari 150 botol saguer, petani hanya akan menyuling 10 botol Cap Tikus. Sulingan berikutnya, sekitar 20 botol, kadar alkoholnya mulai menurun, tidak lebih dari 40 persen. Begitu seterusnya, semakin banyak sulingannya, semakin kecil pula kadar alkoholnya.
Walaupun minuman Cap Tikus sudah dikenal lama di Tanah Minahasa, namun sejauh ini belum ada catatan pasti, atau penelitian mulai kapan Cap Tikus mulai hadir dalam khazanah budaya Minahasa. Dan mengapa dinamai Cap Tikus, sampai hari ini belum ada pula jawaban yang pasti. Diduga nama itu dipakai karena ada tikus yang ikut menggigit batang mayang, yang sedang diambil saguernya.
Begitu melekat Cap Tikus dalam kehidupan sebagian masyarakat Minahasa tergambar dari kebiasaan kalangan petani setempat. Sebelum mulai bekerja, mereka akan minum dulu Cap Tikus.
Permintaan minuman tradisional ini tidak pernah menyusut. Menurut Data Produksi Cap Tikus di Minahasa, sebulan bisa mencapai sekitar 800 ribu liter. Kini harga perliternya, bisa mencapai 4000 rupiah Cap Tikus yang memiliki kadar 57 persen. Sedangkan yang 40 persen hanya seharga 2000 rupiah seliternya. Di Desa Tumaluntung, pengrajin Cap Tikus rata-rata bisa memperoleh hasil 40 ribu rupiah setiap harinya.
Tetapi ada dilema. Cap Tikus dituduh sebagai pemicu keresahan masyarakat. Menurut catatan Polda Sulawesi Utara lebih dari 50 persen tindak pidana di daerah ini disebabkan pelaku mabuk akibat minum cap tikus. Bagai mata uang yang memiliki 2 sisi, itulah Cap Tikus. Satu sisi dianggap mampu menopang ekonomi ribuan pengrajin dan keluarganya. Di sisi lain, menjadi pelarian. Minuman sarana mabuk-mabukan yang kemudian menjadi sumber malapetaka. (www.indosiar.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar