6 Juni 2014

Hapus Tradisi Miras di Daerah, Perlu Revolusi Budaya Secara Total



Salah satu penyebab peredaran minuman keras (miras) marak di berbagai daerah di Indonesia adalah karena miras dianggap sebagai bagian dari tradisi dan budaya masyarakat setempat (lokal). Ulama dan umaro sepertinya mengalami kesulitan untuk membendung budaya miras yang sudah mendarah daging ini. Bagaimana pun, ulama dan umaro secara bertahap dan perlahan harus menghilangkan budaya yang sangat merusak ini.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin kepada Voa-Islam mengakui, betapa miras sudah dianggap tradisi dan budaya lokal. Sebut saja seperti di Bali dan di Papua. MUI sendiri mengaku kesulitan untuk menghilangkan budaya miras yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di wilayah Nusantara. Itulah sebabnya diperlukan Peraturan Daerah untuk melarang peredaran miras dan yang menkonsumsinya, setidaknya membatasi di tempat-tempat tertentu.

Di Papua, seperti di Monokwari, misalnya, setelah menerapkan Perda Anti Miras, hasilnya menjadi semakin baik. MUI mengakui, dirinya bukan instansi atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melarang miras, apalagi melarangnya secara total. Peran MUI hanya sebatas menghimbau dan mengusulkan. “Akibat miras dianggap budaya itulah, MUI sulit membendung miras secara total. Saya kita jangan dulu dibuka lebar-lebar, harus bertahap, apalagi jika miras dianggap budaya,” ujar KH. Maruf.  

Suatu ketika, Bali sempat dihebohkan oleh banyak jatuhnya korban yang tewas akibat menenggak miras oplosan. Korban tewas mencapai belasan orang, puluhan lainnya mendapat perawatan di rumah sakit. Seperti diketahui, miras dalam masyarakat Bali merupakan bagian dari tradisi yang sudah menyatu cukup lama. Bahkan miras seperti Arak dan Berem termasuk Tuak wajib ada dalam setiap ritual agama Hindu meski jumlahnya tidak banyak.

Bahkan, sejak dahulu tradisi minum miras ditengah kehidupan masyarakat Bali memang sudah ada. Misalnya saja istilah metuakan yang merujuk pada aktivitas minum tuak di sudut-sudut atau warung-warung tuak di desa. Lama kelamaan, kebiasaan remaja-remaja Bali menenggak miras menjadi sebuah kewajaran yang diterima begitu saja oleh masyarakat Bali. Tidak ada lagi orang tua yang bisa melarang tegas anaknya yang nongkrong di pinggir jalan sambil pesta miras.  Kalaupun melarang dan marah-marah, sang remaja tidak begitu menggubris, lalu mereka tetap saja larut dengan mirasnya, bahkan bisa hampir setiap malam.

Budaya Miras Di Tuban

Sementara itu, di Kabupaten Tuban, salah satu wilayah Indonesia ini juga memiliki tradisi yang berlangsung dari zaman nenek moyang hingga saat ini, yaitu tradisi minum tuak bersama yang dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari serta dalam tiap acara sedekah bumi, pernikahan, sunatan serta acara-acara lain yang menyuguhkan hiburan Langen Tayub ataupun acara-acara hiburan masyarakat yang lain.

Meski tradisi minum tuak tersebut bertentangan dengan pasal 539 KUHP; yaitu Barang siapa pada waktu orang mengadakan pesta keramaian bagi umum atau permainan rakyat atau arak-arakan bagi umum, menyediakan minuman keras atau tuak keras dengan percuma atau menyediakan minuman keras atau tuak keras sebagai hadiah, dihukum kurungan selama-lamanya dua belas hari atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 375,-, namun pihak berwajib kesulitan untuk membendungnya, karena lagi-lagi dianggap sebagai budaya.

Menurut Kepolisian Resort Tuban, diperoleh data bahwa Polres Tuban tidak pernah menangani perkara pelanggaran tentang minuman keras, khususnya minuman keras tradisional (tuak), sebagai bentuk pelanggaran pasal 539 KUHP. Karena terhadap miras tersebut terdapat aturan tersendiri, yaitu Perda Kabupaten Tuban Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pengawasan Pengendalian Minuman Beralkohol, yang tidak mengatur tentang minuman keras tradisional. Jadi dalam penertiban masalah minuman keras di Tuban Polres Tuban hanya berdasarkan Perda.

Dikarenakan, tradisi minum tuak merupakan kebiasaan masyarakat Tuban sejak zaman nenek moyang mereka secara turun-temurun, maka pihak kepolisian tidak dapat menerapkan pasal 539 KUHP di Kabupaten Tuban.

Budaya Miras di Ponorogo

Tak berbeda dengan Tuban, di Kabupaten Ponorogo, miras juga bagian dari budaya. Sebuah penelitian mengenai pesta miras dalam tradisi pementasan seni Reog Ponorogo (Studi di Desa Sawoo Kecamatan sawoo Kabupaten Ponorogo), menyebutkan, dimana pesta minuman keras ini sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun dan melekat kuat dalam tradisi pementasan seni Reog Ponorogo.

Dalam kajian hukum positif Indonesia minuman keras merupakan sesuatu yang dilarang keras, hal tersebut tertuang dalam pasal 300 (1e), pasal 492 (3), dan pasal 536 (1) KUHP. Dalam kajian Hukum Islam minuman keras adalah haram hukumnya begitu pula dalam kajian Hukum Adat pesta miras merupakan suatu perilaku yang menyimpang dari norma kesusilaan yang hidup dimasyarakat. Namun hal tersebut ironis sekali dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa pesta miras seolah menjadi kebiasaan yang halal dan sah dalam sebuah tradisi adat pementasan kesenian Reog didaerah Ponorogo.

Faktor-faktor penyebab berlangsungnya pesta miras dalam pementasan kesenian Reog Ponorogo di Desa Sawoo Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo adalah: kebiasaan mabuk yang turun temurun, kurangnya pengarahan dari pihak Kepolisian, minuman keras berfungsi untuk menambah kemeriahan, kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak, pengaruh lingkungan masyarakat yang gemar mabuk, dan lemahnya kontrol sosial masyarakat.

Pihak Kepolisian Sektor Sawoo sebenarnya telah memberikan berbagai upaya penanggulangan melalui upaya preventif maupun represif. Upaya preventif misalnya, diarahkan pada usaha memberikan pengarahan kepada seniman-seniman Reog untuk tidak mengkonsumsi miras berkadar alkohol tinggi dalam pementasannya, dan melakukan pengawasan dan pengamanan dilokasi pementasan reog Ponorogo. 

Adapun upaya represif dilakukan antara lain dengan: melakukan razia terhadap para penjual minuman keras ilegal, melarang dan memberikan sanksi kepada aparat Kepolisian Sektor Sawoo yang ikut dalam pesta minuman keras tersebut. Kepolisian Sektor Sawoo telah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi keberadaan pesta miras tersebut, akan tetapi upaya-upaya penanggulangan tersebut belum dapat menghapuskan pesta miras dari pementasan kesenian Reog Ponorogo, dikarenakan dianggap bagian dari budaya.

Persoalannya, siapakah yang bisa menghentikan pergeseran nilai budaya ini? Seharusnya ulama, pemerintah dan masyarakat lah yang harus lebih cepat merubah dirinya, melakukan revolusi total budaya. (sumber: http://www.voa-islam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar