Salah satu penyebab peredaran minuman
keras (miras) marak di berbagai daerah di Indonesia adalah karena miras
dianggap sebagai bagian dari tradisi dan budaya masyarakat setempat (lokal).
Ulama dan umaro sepertinya mengalami kesulitan untuk membendung budaya miras
yang sudah mendarah daging ini. Bagaimana pun, ulama dan umaro secara bertahap
dan perlahan harus menghilangkan budaya yang sangat merusak ini.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin kepada
Voa-Islam mengakui, betapa miras sudah dianggap tradisi dan budaya lokal. Sebut
saja seperti di Bali dan di Papua. MUI sendiri mengaku kesulitan untuk
menghilangkan budaya miras yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di wilayah
Nusantara. Itulah sebabnya diperlukan Peraturan Daerah untuk melarang peredaran
miras dan yang menkonsumsinya, setidaknya membatasi di tempat-tempat tertentu.
Di Papua, seperti di Monokwari, misalnya, setelah menerapkan
Perda Anti Miras, hasilnya menjadi semakin baik. MUI mengakui, dirinya bukan
instansi atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melarang miras, apalagi
melarangnya secara total. Peran MUI hanya sebatas menghimbau dan mengusulkan.
“Akibat miras dianggap budaya itulah, MUI sulit membendung miras secara total.
Saya kita jangan dulu dibuka lebar-lebar, harus bertahap, apalagi jika miras
dianggap budaya,” ujar KH. Maruf.
Suatu ketika, Bali sempat dihebohkan oleh banyak jatuhnya
korban yang tewas akibat menenggak miras oplosan. Korban tewas mencapai belasan
orang, puluhan lainnya mendapat perawatan di rumah sakit. Seperti diketahui,
miras dalam masyarakat Bali merupakan bagian dari tradisi yang sudah menyatu
cukup lama. Bahkan miras seperti Arak dan Berem termasuk Tuak wajib ada dalam
setiap ritual agama Hindu meski jumlahnya tidak banyak.
Bahkan, sejak dahulu tradisi minum miras ditengah kehidupan
masyarakat Bali memang sudah ada. Misalnya saja istilah metuakan yang merujuk
pada aktivitas minum tuak di sudut-sudut atau warung-warung tuak di desa. Lama
kelamaan, kebiasaan remaja-remaja Bali menenggak miras menjadi sebuah kewajaran
yang diterima begitu saja oleh masyarakat Bali. Tidak ada lagi orang tua yang
bisa melarang tegas anaknya yang nongkrong di pinggir jalan sambil pesta
miras. Kalaupun melarang dan
marah-marah, sang remaja tidak begitu menggubris, lalu mereka tetap saja larut
dengan mirasnya, bahkan bisa hampir setiap malam.
Budaya Miras Di Tuban
Sementara itu, di Kabupaten Tuban, salah satu wilayah
Indonesia ini juga memiliki tradisi yang berlangsung dari zaman nenek moyang
hingga saat ini, yaitu tradisi minum tuak bersama yang dapat dijumpai dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari serta dalam tiap acara sedekah bumi,
pernikahan, sunatan serta acara-acara lain yang menyuguhkan hiburan Langen
Tayub ataupun acara-acara hiburan masyarakat yang lain.
Meski tradisi minum tuak tersebut bertentangan dengan pasal
539 KUHP; yaitu Barang siapa pada waktu orang mengadakan pesta keramaian bagi
umum atau permainan rakyat atau arak-arakan bagi umum, menyediakan minuman
keras atau tuak keras dengan percuma atau menyediakan minuman keras atau tuak
keras sebagai hadiah, dihukum kurungan selama-lamanya dua belas hari atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 375,-, namun pihak berwajib kesulitan untuk
membendungnya, karena lagi-lagi dianggap sebagai budaya.
Menurut Kepolisian Resort Tuban, diperoleh data bahwa Polres
Tuban tidak pernah menangani perkara pelanggaran tentang minuman keras,
khususnya minuman keras tradisional (tuak), sebagai bentuk pelanggaran pasal
539 KUHP. Karena terhadap miras tersebut terdapat aturan tersendiri, yaitu
Perda Kabupaten Tuban Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pengawasan Pengendalian
Minuman Beralkohol, yang tidak mengatur tentang minuman keras tradisional. Jadi
dalam penertiban masalah minuman keras di Tuban Polres Tuban hanya berdasarkan
Perda.
Dikarenakan, tradisi minum tuak merupakan kebiasaan
masyarakat Tuban sejak zaman nenek moyang mereka secara turun-temurun, maka
pihak kepolisian tidak dapat menerapkan pasal 539 KUHP di Kabupaten Tuban.
Budaya Miras di Ponorogo
Tak berbeda dengan Tuban, di Kabupaten Ponorogo, miras juga
bagian dari budaya. Sebuah penelitian mengenai pesta miras dalam tradisi
pementasan seni Reog Ponorogo (Studi di Desa Sawoo Kecamatan sawoo Kabupaten
Ponorogo), menyebutkan, dimana pesta minuman keras ini sudah menjadi kebiasaan
yang turun temurun dan melekat kuat dalam tradisi pementasan seni Reog
Ponorogo.
Dalam kajian hukum positif Indonesia minuman keras merupakan
sesuatu yang dilarang keras, hal tersebut tertuang dalam pasal 300 (1e), pasal
492 (3), dan pasal 536 (1) KUHP. Dalam kajian Hukum Islam minuman keras adalah
haram hukumnya begitu pula dalam kajian Hukum Adat pesta miras merupakan suatu
perilaku yang menyimpang dari norma kesusilaan yang hidup dimasyarakat. Namun
hal tersebut ironis sekali dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa pesta
miras seolah menjadi kebiasaan yang halal dan sah dalam sebuah tradisi adat
pementasan kesenian Reog didaerah Ponorogo.
Faktor-faktor penyebab berlangsungnya pesta miras dalam
pementasan kesenian Reog Ponorogo di Desa Sawoo Kecamatan Sawoo Kabupaten
Ponorogo adalah: kebiasaan mabuk yang turun temurun, kurangnya pengarahan dari
pihak Kepolisian, minuman keras berfungsi untuk menambah kemeriahan, kurangnya
pengawasan orang tua terhadap anak, pengaruh lingkungan masyarakat yang gemar
mabuk, dan lemahnya kontrol sosial masyarakat.
Pihak Kepolisian Sektor Sawoo sebenarnya telah memberikan
berbagai upaya penanggulangan melalui upaya preventif maupun represif. Upaya
preventif misalnya, diarahkan pada usaha memberikan pengarahan kepada
seniman-seniman Reog untuk tidak mengkonsumsi miras berkadar alkohol tinggi
dalam pementasannya, dan melakukan pengawasan dan pengamanan dilokasi
pementasan reog Ponorogo.
Adapun upaya represif dilakukan antara lain dengan:
melakukan razia terhadap para penjual minuman keras ilegal, melarang dan
memberikan sanksi kepada aparat Kepolisian Sektor Sawoo yang ikut dalam pesta
minuman keras tersebut. Kepolisian Sektor Sawoo telah melakukan upaya-upaya
untuk menanggulangi keberadaan pesta miras tersebut, akan tetapi upaya-upaya
penanggulangan tersebut belum dapat menghapuskan pesta miras dari pementasan
kesenian Reog Ponorogo, dikarenakan dianggap bagian dari budaya.
Persoalannya, siapakah yang bisa menghentikan pergeseran
nilai budaya ini? Seharusnya ulama, pemerintah dan masyarakat lah yang harus
lebih cepat merubah dirinya, melakukan revolusi total budaya. (sumber: http://www.voa-islam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar