Tradisi minum minuman tertentu di suatu negara merupakan suatu jenis kebudayaan, yang patut dilestarikan, di antaranya tuak nira dari Indonesia.
Cerita proses ekstraksi dan konsumsi
tuak nira dikaji secara ilmiah di Museum Etnografi, Zurich, kata
kurator Musem Etnografi Zurich, Andreas Isler, pada pembukaan pameran
kebudayaan minum Trinkkultur sekaligus perayaan hari jadi ke-125 dan pembukaan kembali Museum Etnografi Zurich.
Pejabat Penerangan dan Sosial-Budaya KBRI di Bern, Oktavia Maludin, Sabtu, mengatakan Trinkkultur merupakan pameran berbagai minuman tradisional dunia.
Tuak
nira dari Indonesia, susu Alpen Swiss, bir beras dari China, kawa dari
Vanuatu, bir singkong dari Amazona, serta teh hijau dari Jepang, yang
diadakan dari 19 Juni-19 Oktober mendatang.
Pada
pembukaan pameran, yang dihadiri sekitar 200 undangan, diperdengarkan
alunan musik dari Indonesia, alunan musik yang digunakan pada saat
proses ekstrasi tuak nira.
Proses ekstrasi dan
budaya minum tuak nira ini juga dijadikan bahan kuliah umum di Museum
Etnografi, Universitas Zurich. Produksi tuak nira dari berbagai jenis
pohon palem telah dikenal di Indonesia sejak 1.000 tahun lalu.
Pada
kuliah umum Prof Kozok dari Universitas Hawaii ini,selain dipaparkan
proses ekstraksi, penyimpanan, dan konsumsi tuak nira juga diceritakan
peranan pohom palem bagi kehidupan masyarakat.
Dia juga memperkenalkan dimensi mitologis dari ekstraksi tuak.
Museum
Etnografi Zurich memamerkan alat yang dipergunakan pada proses ekstrasi
dan penyimpanan tuak nira, yang menarik perhatian pengunjung.
Alat-alat itu berasal dari 1875-1880, koleksi Museum Etnografi Zurich.
Museum
ini juga menyimpan dokumentasi foto dari 1921-1927, warisan ahli
geologi Swiss, Wolfgang Leupold, yang pernah tinggal di Indonesia pada
saat itu.
Sebelumnya, Museum Etnografi Zurich juga pernah mengadakan pameran bertajuk Aufschlussreiches Borneo (mengungkapkan Borneo), yang memajang koleksi foto Wolfgang Leupold.
Pameran ini mempertunjukkan artefak dan dokumentasi foto dari berbagai kelompok etnik di Kalimantan Timur.
Pameran serupa juga diadakan di Universitas Indonesia pada 2013, dan pada 2014 di Erasmus Huis, Jakarta.
Foto
dan dokumentasi itu, ditransfer ke Indonesia melalui proyek kerja sama
antara antropolog dari Universitas Indonesia dan Paola von Wyss-Giacosa
serta Andreas Isler kurator Museum Etnografi Zurich.
Prof
Dr Mareile Flitsch, Direktur Museum Etnografi Zurich berharap warisan
sejarah pengetahuan ini dapat menjadi kontribusi dalam upaya
melestarikan sejarah budaya Indonesia.
KBRI di
Bern berharap kerja sama antara museum dan antropolog Indonesia dan
Swiss dapat berkembang dan terus ditingkatkan, mengingat tingginya minat
masyarakat Swiss terhadap warisan budaya Indonesia. (www.antaranews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar